Monday, August 31, 2009
Eksistensi Negara dan Keberadaan Para Pemikir
note: ini bukan tulisan ilmiah.
Minggu lalu untuk pertama kalinya saya kuliah di kelas Bapak Soehino, seorang guru besar di Universitas Gadjah Mada. Beliau telah cukup berumur, mengingat karirnya mengajar di Universitas Kerakyatan ini dimulai sejak tahun 1959. Beliau mengajarkan Ilmu Negara, salah satu mata kuliah wajib bagi seluruh mahasiswa Fakultas Hukum.
Dipikir-pikir, materi yang disajikan oleh kelas ini tak ubahnya seperti materi pada pelajaran Kewarganegaraan di bangku SMA, namun dielaborasikan dengan sedikit muatan Sosiologi dan Sejarah. Perbedaannya, objek utama pembelajaran ilmu ini adalah mengenai negara dan segala tetek-bengeknya. AKan tetapi tetap saja kita tak dapat menyamakan Ilmu Negara dengan PKN; di fakultas Hukum ada juga mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang wajib kami ikuti. Sekali lagi, Ilmu Negara itu berbeda dengan PKN. Ilmu Negara adalah sesuatu yang sebenarnya telah amat familiar dengan kita semua akan tetapi di saat yang bersamaan terasa asing pula. Yah, kalau dianalogikan sih seperti ketika kita bertemu dengan teman masa kecil setelah 10 tahun tidak bertatap muka; meskipun telah menghabiskan waktu bersama di masa lalu, jika kita bertemu setelah dewasa ada sedikit kesan canggung dan asing. Seakan-akan telah banyak hal penting yang kita lewatkan dengannya, walaupun dulunya teman sepermainan.
Ok, back to the track.
Jadi, saya telah membeli sebuah buku berjudul Ilmu Negara hasil karya dosen sepuh saya itu. Karena sehabis buka puasa hari ini kebetulan saya sedang tidak ada kerjaan (dikarenakan tiadanya hiburan di kosan) maka saya memutuskan untuk membuka-buka buku tersebut. Yah, sekalian untuk mendapatkan gambaran sebelum kelas esok hari.
Disebutkan bahwa teori mengenai negara itu sendiri lahir ketika manusia memasuki zaman sejarah (abad-abad setelah abad kelima masehi). Awalnya dirintis dari pemikiran-pemikiran filsuf Yunani Klasik serupa Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ketika itu kondisi Yunani sangat memungkinkan untuk terciptanya ide-ide mengenai bentuk negara yang ideal. Di Athena, sebuah polis atau negara-kota, pemerintahan purba mengambil bentuk demokrasi pertama di dunia. Setiap warga negara diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan (meskipun pada kenyataannya golongan kecil hanya diwakili oleh para pemuka masyarakat atau pedagang yang memiliki kekuasaan di kota. Wanita dan anak-anak tidak memiliki rights to vote, by the way). Prototipe pemerintahan seperti inilah yang kemudian dianut oleh kebanyakan negara di dunia yang merdeka dr penjajahan. Suara rakyat mempunyai andil dalam proses pengambilan keputusan.
Memasuki era Romawi, salah seorang perintis ilmu kenegaraan yang terkenal adalah Cicero. Zaman kejayaan Romawi dipenuhi oleh praktek langsung dari pelaksanaan pemerintahan dalam beragam versi; mulanya republik lalu bertransformasi menjadi kekaisaran dunia (Imperium). Pada era Kekristenan (abad pertengahan), ide-ide dari tokoh seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinas melandasi pemahaman teokrasi, Tuhan yang menjadi pucuk dari kekuasaan suatu negara melalui perantara Raja.
Perkembangan yang selanjutnya terjadi selama masa Renaissance dan Enlightenment adalah bermunculannya para filsuf yang mencoba merumuskan bentuk ideal dari sebuah negara. Kebanyakan dari mereka muncul karena rasa ketidaksukaan terhadap pihak kerajaan yang memiliki kekuasaan absolut terhadap kehidupan rakyatnya. Para pemikir serupa Montesquieu, J.J. Rousseau, Hobbes, Groot, dan lainnya muncul sambil membawa solusi berupa bentuk-bentuk negara maupun pemerintahan yang mampu menciptakan kondisi masyarakat yang adil dan makmur. Dengan merdekanya Amerika Serikat dari Kerajaan Inggris pada tahun 1776 dunia untuk pertama kalinya melihat sebuah negara hasil produk pemikiran filsuf-filsuf era reformasi.
Bentuk negara kita merupakan perwujudan dari nilai-nilai demokrasi yang dulunya dianut oleh bangsa Yunani. Dipelopori oleh Amerika Serikat yang mendeklarasikan sebuah bentuk negara baru yang berdaulat serta mandiri, janin-janin negara modern terlahir ke muka bumi. Beberapa abad kemudian bangsa-bangsa lain menyusul. Mereka menentang penjajahan lalu mendeklarasikan kemerdekaan negara mereka dengan sendi yang mirip oleh apa yang dimiliki oleh Amerika Serikat; jabatan kepresidenan, pembagian kekuasaan, serta sistem republik demoratik.
Sebenarnya, eksistensi sebuah negara itu amat bergantung kepada para pemikir-pemikir terdahulu. Bentuk serta sistem sebuah negara itu merupakan hasil dari buah pikiran mereka. Dengan mengambil unsur-unsur dari peradaban lain yang telah lebih maju maka dibentuklah sebuah sistem pemerintahan yang dianggap dapat memenuhi format ideal dari sebuah negara yang bermasyarakat. Begitu simpel, tapi prosesnya memakan waktu hingga ribuan tahun. Negara yang sekarang berdiri secara sah di planet bumi dengan segala macam perkembangan serta konflik internal maupun eksternalnya itu sebenarnya hanyalah hasil pemikiran manusia biasa. Betapa jeniusnya para pemikir serta filsuf-filsuf lama yang sejak zaman dahulu telah memupuk ide akan keberadaan 'wadah' besar tempat masyarakat bermukim pada sebuah wilayah serta dinaungi oleh pemerintahan yang berdaulat.
Pak Soehino mengakhiri kuliahnya dengan kalimat seperti ini; "Objek Ilmu Negara yang kita pelajari ini bukanlah negara seperti Indonesia, Amerika, Inggris, Palestina atau Vatikan. Anda tidak akan dapat menemukannya di dalam peta atau dimanapun di muka bumi ini. Jadi, negara yang manakah yang sejatinya dibahas dalam kelas ini? Pejamkan mata Anda sekarang dan lihat, negara yang Anda pelajari itu ada di dalam kepala kita masing-masing."
Apakah di masa mendatang nanti pengertian serta bentuk negara itu sendiri akan berkembang atau hanya berhenti sampai di sini saja?
Kita tidak pernah tahu.
Yang jelas, selama kita masih dapat membayangkan akan keberadaan negara beserta segala kelengkapannya di dalam kepala ini, masih terbuka peluang bagi para pemikir muda untuk meluaskan filosofi negara.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment