Friday, July 8, 2011

GENERASI BERDEMOKRASI DAN BERKEADILAN


            Memilih untuk menjadi seorang mahasiswa yang mempelajari ilmu hukum di tengah ribut-ribut masalah penjualan iPad tanpa manual berbahasa Indonesia, berita TKW yang dihukum pancung oleh pengadilan Arab Saudi, serta kaburnya Nunun Nurbaeti dari pengawasan KPK adalah sebuah pilihan yang amat besar. Pandangan skeptis masyarakat awam terhadap hukum dan segala sesuatu yang melekat padanya sudah tidak tanggung-tanggung. Mahasiswa fakultas hukum yang dulu dicap sebagai tukang demo sekarang sudah digadang-gadang sebagai calon-calon mafia peradilan. Miris menyaksikan hukum yang dijadikan sebagai alat mainan politik dewasa ini. Namun yang lebih menyesakkan hati adalah hilangnya kredibilitas para penegak hukum di mata rakyatnya sendiri.

            Negara kesatuan seperti Indonesia yang menganut sistem republik dalam pemerintahannya membutuhkan hukum sebagai fondasi sekaligus atap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang dicuplik dari pernyataan Abraham Lincoln dan kemudian dituangkan ke dalam pasal... UUD 1945 menggarisbawahi perlunya aturan-aturan untuk menggerakkan roda-roda demokrasi. Kaitan antara demokrasi dan hukum amatlah erat. Hukum merupakan sumber sekaligus sebagai penjaga agar dalam prakteknya demokrasi tetap berjalan sesuai ketentuan.

            Demokrasi adalah apa yang dicita-citakan oleh rakyat. “Vox Populi Vox Dei” merupakan sebuah adagium dalam Bahasa Latin yang berarti “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”. Dorongan dari rakyat untuk mengambil alih kepimpinan dengan mekanisme yang mereka ciptakan sendiri telah memberikan sebuah akhir pada bentuk pemerintahan monarki absolut. Tidak ada lagi yang bertahta, dimahkotai, serta digelari raja. Tidak ada lagi hak-hak kaum istimewa kaum bangsawan. Semua orang adalah sama di mata hukum, itulah yang menjadi aturan main di dalam kehidupan negara berdemokrasi. Penyerbuan penduduk sipil Prancis ke Penjara Bastille di awal abad ke-18 membuka mata benua Eropa akan pemerintahan yang baru dengan kedaulatan berada di tangan rakyatnya. Yang jadi soal sekarang adalah, apakah demokrasi merupakan tiket khusus untuk memperlancar urusan golongan mayoritas?



            Idealnya, demokrasi terlahir dari kesepakatan masyarakat yang bebas serta berpikiran terbuka. Dengan saling mengikatkan diri pada kesepakatan tersebut, maka lahirlah apa yang oleh John Locke disebut sebagai “kontrak sosial” tiga abad yang lalu. Kepentingan individu dilebur bersama dengan kepentingan masyarakat umum demi mewujudkan kepentingan bersama, kepentingan negara. Melalui peraturan perundang-undangan, hukum diwujudkan. Ada pula hukum yang hidup di dalam praktek sehari-hari, seperti misalnya adat-istiadat atau kebiasaan. Ciri masyakarat demokrasi tidak jauh dari kesadaran untuk patuh dan tunduk terhadap hukum yang telah mereka sepakati tersebut.  



            Aristoteles pernah berkata, yang intinya; seorang warganegara pada sebuah sistem demokrasi konstitusional dituntut dalam kondisi apapun selalu patuh terhadap hukum dan keputusan yang ditetapkan oleh perjanjian masyarakat, sekalipun ia tidak menyetujuinya. Pandangan ini menegaskan bahwa demokrasi menjunjung tinggi justisia distributiva atau memberikan keadilan secara merata kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Menilik teori itu, apakah lantas kemudian seluruh pelaku pencurian (entah itu pencuri beberapa biji kakao di kebun tetangganya atau pencuri milyaran rupiah uang rakyat) akan dikenakan sanksi yang sama? Ternyata hukum tidak bekerja dengan jalan yang demikian.

Keadilan bersifat relatif, belum ada seorang pun ahli di muka bumi ini yang dapat memformulasikan keadilan. Akan tetapi, Aristoteles menawarkan sebuah ide akan keadilan dengan bentuk yang berbeda; justisia kommutativa atau menjatuhkan hukum kepada setiap orang sesuai porsinya. Dengan demikian seseorang yang membunuh karena terancam nyawanya dan seseorang yang membunuh dengan sengaja akan berbeda posisinya di mata hukum. Dari teori keadilan menurut Aristoteles itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa demokrasi tidak dapat diterjemahkan sebagai alat golongan mayoritas untuk mewujudkan kepentingan mereka. Demokrasi dalam pergerakannya harus memainkan kedua tuas justicia distributiva serta justicia kommutativa secara bersamaan. 

Generasi yang muncul belakangan di alam demokrasi adalah generasi yang “terima jadi”. Ketika terlahir ke dunia mereka sudah dibebani tanggung jawab untuk tunduk terhadap peraturan perundang-undangan. Hak-hak mereka sudah diatur, bahkan sudah dilindungi negara. Namun, apakah generasi-generasi ini paham akan makna demokrasi dan nilai-nilai ideal keadilan dalam masyarakat? Indonesia masih punya PR besar untuk menyejahterakan 200 juta jiwa lebih rakyatnya. Indonesia juga masih harus berbenah demi melindungi ke-17.000 pulau yang berada di wilayah yurisdiksinya. Konflik antargolongan, diskriminasi hak-hak minoritas, nasib pengungsi Timor Leste, tidak meratanya pendidikan, dan lain sebagainya adalah beban yang tidak hanya wajib dientaskan oleh pemerintah sekarang ini namun juga oleh generasi mendatang. Apakah Anda termasuk generasi yang berdemokrasi dan berkeadilan atau generasi yang hidup di bawah semburat kabur demokrasi dan keadilan? Pilihan untuk berkecimpung di dalam dunia hukum Indonesia akan menentukan nasib bangsa ini.


Makassar, 2011


No comments: