Pada film Soekarno
garapan Hanung Bramantyo yang dirilis Desember 2013 lalu, ada sebuah adegan
yang menarik perhatian saya. Dikisahkan, Sukarno yang tengah hidup dalam
pengasingan terakhirnya di Bengkulu mengisi hari-hari sebagai seorang guru di
sebuah Sekolah Rakyat. Di sanalah ia bertemu dengan siswi Fatmawati, seorang
gadis remaja yang kelak akan menjadi istri keduanya. Sukarno, dengan
semangatnya yang berapi-api, menularkan ambisi kepada pemuda-pemuda Melayu muda
di kelasnya untuk optimis dalam pembentukan sebuah negara bernama Indonesia
yang merdeka dari jajahan Belanda. Hal ini mengundang tanya dari salah seorang
gadis kritis yang duduk di bangku bahagian depan: bagaimana mungkin Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak
ini dapat berdiri menjadi SATU buah negara? Dengan senyum flamboyannya
Sukarno menjawab: negara yang berdaulat atas pulau-pulau di Nusantara bukanlah
hal yang baru, karena dulu kerajaan Majapahit telah melakukan hal yang sama.
Mahapatih Gadjah Mada dengan Sumpah Palapa-nya bertekad untuk menyatukan
seluruh Nusantara ini ke dalam satu pemerintahan.
Sampai di sini, mungkin
hal itu terdengar familiar di telinga kita, sesuai dengan doktrin yang
diajarkan di kelas Sejarah atau PPKN saat kita masih duduk di bangku SD. Majapahit dijadikan sebagai negara maritim
kedua Nusantara (setelah Sriwijaya) sekaligus kerajaan nasional pertama karena
mencangkup beragam pulau di luar Jawa. Sumpah Palapa lah yang kemudian
dijadikan sebagai dalil persatuan Nusantara. Gadjah Mada juga jadi ikon
pemersatu bangsa, itulah sebabnya universitas nasional pertama di Indonesia
(yang dengan bangganya saya katakan, adalah kampus saya sendiri) diberi nama
Universitas Gadjah Mada. Sekarang pertanyaannya, dari mana kah Sukarno
mengetahui isi Sumpah Palapa?
Negarakertagama
merupakan sebuah kitab karangan Mpu Prapanca –seorang mantan pejabat agama
Buddha di kraton Majapahit yang dikeluarkan dari istana karena merasa difitnah
oleh salah seorang bangsawan tinggi– yang berdasarkan kolofonnya ditulis pada
tahun 1365 M atau 1287 Saka. Naskah ini berjenis kakawin, termasuk salah satu
koleksi naskah kuno terlangka dan terunik karena isinya tidak berkisah mengenai
pewayangan atau ajaran-ajaran agama (sebagaimana lazimnya isi naskah-naskah
kuno Jawa dari era Majapahit lainnya) melainkan sebuah reportase dari sudut
pandang orang pertama. Naskah ini berisi ulasan perjalanan Prabu Hayam Wuruk
keliling daerah kekuasaannya di Jawa Timur serta deskripsi mengenai kondisi
ibukota Majapahit. Sejak kemunduran Majapahit di awal abad ke-15, naskah ini
baru muncul ke permukaan pada tahun 1894. Itupun tidak ditemukan di Jawa,
melainkan di perpustakaan Puri Cakranegara di Lombok. Alkisah, saat tentara
KNIL merangsek masuk dan membakar istana sang raja Lombok, seorang filolog
Belanda bernama J.L.A. Brandes menyelamatkan beberapa naskah kuno termasuk di
antaranya ialah Negarakertagama. Nah, jangan pula dibayangkan bahwa naskah yang
diselamatkan oleh Pak Brandes merupakan naskah lontar kuno yang benar-benar
berasal dari era Majapahit. Naskah Negarakertagama di Puri Cakranegara
merupakan salinan entah dari naskah Negarakertagama zaman kapan. Oleh Pak
Brandes, naskah ini diterbitkan pertama kalinya ke hadapan publik dalam bentuk
edisi sementara pada tahun 1902. Lontar
asli Negarakertagama sendiri disimpan di Leiden selama berpuluh-puluh tahun,
hingga akhirnya dikembalikan ke Indonesia saat kunjungan Ratu Juliana pada
tahun 1973. Pada tahun 2008 UNESCO mengakui Negarakertagama sebagai Memory of The World.
Balik ke Sumpah Palapa
ya. Sayangnya, teks Sumpah Palapa tidak pernah diukir di atas batu prasasti.
Sumpah Palapa tidak ditemukan di relief candi-candi. Sumpah Palapa juga
ternyata TIDAK termuat di dalam naskah Negarakertagama yang sudah saya uraikan
panjang lebar di atas (ups!). Isi otentik Sumpah Palapa ternyata hanya dapat
ditemukan di dalam Kitab Pararaton.
Sukarno, lahir di tahun
yang sama dengan publikasi pertama naskah Negarakertagama. Sampai abad ke-21,
Negarakertagama masih menjadi kakawin Jawa yang paling banyak dikaji, tidak
hanya oleh filolog, namun juga oleh para sastrawan, sejarawan dan arkeolog. Meski
demikian, saya sangsi jika Sukarno pernah benar-benar membaca terjemahan Negarakertagama.
Apalagi Sumpah Palapa yang termaktub di dalam Pararaton. Apa sebabnya?
Pararaton pertama kali di-publish
oleh Pak Brandes pada tahun 1897. Edisi keduanya yang disempurnakan muncul di
tahun 1920. Nah, edisi inilah yang kemudian beredar luas. Sukarno lulus HBS
(kira-kira setingkat SMA) pada bulan Juli 1921, dan langsung mendaftar ke
Technise Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Ia lulus pada tahun 1926.
Sepanjang tahun tersebut tidak ada tulisan atau indikasi Sukarno pernah membaca
tentang Pararaton maupun membahas Gadjah Mada. Ia memang aktif di organisasi
yang sifatnya kejawen seperti Tri Koro Dharmo (bagian dari Budi Utomo), akan
tetapi saya sangsi di sana ia mendengarkan pengajian Pararaton. Ibunya memang
orang Bali dan tetap beragama Hindu, akan tetapi saya juga sangsi jika Ida Ayu Nyoman
Rai mengetahui isi Sumpah Palapa. Ingat, Sumpah Palapa hanya ada di dalam
Pararaton yang baru terbit belakangan. Sumpah Palapa dan bahkan nama-nama asli
raja-ratu Majapahit lenyap dari ingatan masyarakat Jawa ketika memasuki era
Demak dan Mataram. Babad-babad dan serat-serat yang tumbuh subur pada era
Mataraman hanya mengingat Gadjah Mada sebagai seorang patih nan gagah perkasa
lagi sakti mandraguna, ayah tiri dari Adaningkung atau Angkawijaya, raja
Majapahit setelah Brawijaya II. Di Babad
Tanah Jawi, Gadjah Mada diingat sebagai seorang patih nan setia, ia berlayar hingga
ke negeri Cempa untuk melamar seorang putri atas permintaan Prabu Brawijaya. Ia
lalu kembali ke Majapahit sambil membawa sang putri disertai oleh gong bernama
Kyai Sekar Delima dan tandu bernama Kyai Jebat Bedri.
Bersama sepupu di depan Makam Bung Karno, Blitar 2009 |
Ada satu sosok sahabat
perjuangan Sukarno yang cocok untuk melengkapi figur “orang yang pernah membaca
Pararaton” dan memberitahukan konsep Sumpah Palapa kepada Sukarno. Sosok ini
juga adalah orang yang membisikkan kata “Pancasila” (yang diadopsi dari kitab
Tipitaka Buddha) ke telinga Sukarno saat rapat BPUPKI sebagai nama dari 5
konsep dasar negara. Namanya Mohammad Yamin. Mohammad Yamin pernah menjabat
sebagai Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan
(1953–1955), serta Ketua Dewan Perancang Nasional (1962). Ia dilahirkan di
Sumatera Barat, bersekolah di Palembang, Bogor, Jogja dan Jakarta, serta
belajar Bahasa Yunani, Bahasa Latin, Bahasa Koine dan sejarah purbakala. Ia
menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmojo, seorang gadis berdarah biru
keturunan bangsawan Demak. Mohammad Yamin pernah menjadi pemimpin Jong Sumatranen
Bond (1926-1928). Ia juga merupakan tokoh
yang berandil besar dalam menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Selain sebagai seorang
aktivis, sastrawan dan sejarawan, Mohammad Yamin pun memiliki gelar di bidang
hukum. Ia adalah orang yang mendorong agar poin-poin terkait Hak Azazi Manusia
(HAM) dimasukkan ke dalam konstitusi Indonesia. Wah, dalam banyak hal saya dan
Pak Yamin punya kemiripan ya, sama-sama pelajar hukum yang suka budaya dan
sastra hehehe.
Mengapa harus Mohammad
Yamin? Nah, ternyata saat belajar sastra-sastra kuno, Mohammad Yamin dimentori
oleh beberapa orang filolog Belanda, di antaranya Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Prof. H. Kraemer ini selain ahli Bahasa
Latin juga merupakan salah seorang anggota dari tim penerjemah Kitab Pararaton
edisi kedua bersama dengan Pak N.J. Krom, Pak J.C. Jonker dan Pak
Poerbatjaraka. Kemungkinan besar dari sang guru inilah Mohammad Yamin
menyerap banyak khazanah tentang sejarah Majapahit. Di kemudian hari, tepatnya
pada tahun 1945 Mohammad Yamin menerbitkan sebuah buku berjudul “Gadjah Mada”
yang merupakan buku sejarah pertama di Indonesia yang mencitrakan sang Mahapatih
sebagai pahlawan pemersatu. Sukarno mulai menggempitakan kejayaan Majapahit
yang konon meliputi seluruh Nusantara pasca Indonesia merdeka. Menurut saya
pribadi ini termasuk salah satu dari “politik mitos”-nya, yang berusaha
merangkul ratusan suku di Indonesia ke dalam latar sejarah yang sama. Hari ini,
sudah ada banyak temuan yang membantah anggapan tersebut.
Lalu, mengapa kemudian
apakah Sukarno pernah membaca teks Sumpah Palapa ini dibahas? Well, jika ingin jujur maka kita harus
mengakui bahwa makna kalimat yang
diterakan di dalam sumpah yang konon diucapkan oleh Mahapatih Gadjah Mada itu
bernada penaklukkan terhadap hampir seluruh wilayah di Nusantara. Majapahit, yang pada periode-periode Raden
Wijaya dan Jayanegara dipenuhi oleh konflik internal berupa pengkhianatan dan
pemberontakan, memasuki masa-masa damai di era Tribhuwana Tunggadewi. Hal
inilah yang kemudian menurut Slamet Muljana memotivasi Gadjah Mada untuk
melebarkan wilayah Majapahit yang telah settle
ke berbagai penjuru Nusantara.
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, TaƱjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".Terjemahannya,Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Malaysia dan Singapura
pernah menolak mentah-mentah ketika dikonfrontasi oleh Sukarno dengan klaim
Sumpah Palapa ini. Konon,
Majapahit telah berhasil menguasai Pahang (Malaysia) dan juga Tumasik
(Singapura), sehingga ketika kedua negara tersebut dianugerahi kemerdekaan oleh
Inggris seharusnya masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia pula. Malaysia juga punya dalil tersendiri untuk menangkis klaim ini: dalam Hikayat Hang Tuah dikisahkan
bagaimana utusan raja Malaka yang bernama Hang Tuah memporak-porandakan ibukota
Majapahit yang mengancam akan menaklukkan kerajaannya.
Ada yang miss dengan pembacaan Sumpah Palapa ini
sehingga dikemudian hari membuatnya menjadi ikon sakti persatuan Nusantara di
masa lalu. Padahal, berdasarkan
data-data sejarah ter-update hari ini sendiri, luas Majapahit tidaklah sebesar yang kita bayangkan, hanya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan Bali.
Prof. Dr. C. C. Berg menulis di dalam “De
geschiedenis van pril Majapahit” dan “De
Sadeng-Oorlog en de mythe van goot Majapahit”:
Majapahit tidak pernah memiliki wilayah yang luasnya kurang lebih sama dengan luas wilayah Indonesia sekarang. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa tersebut hanya merupakan suatu cita-cita saja dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit
.
Yup, jadi inti dari Sumpah Palapa itu baru sebuah cita-cita atau angan-angan, bukan kenangan beneran bahwa Majapahit pernah menaklukkan seluruh Nusantara. Di dalam buku “Menuju
Puncak Kejayaan Majapahit” oleh Slamet Muljana, penaklukkan yang dilakukan oleh
Mahapatih Gadjah Mada sendiri hanya tercatat dua kali dilakukan: Padompo dan
Pasunda alias penaklukkan Dompo serta penaklukkan Sunda. Yang terakhir itu pun
amat tragis, berakhir dengan peristiwa Bubat. Bali juga benar pernah ditaklukkan, namun kemudian tidak berada di bawah kontrol langsung pemerintah Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Sumatera? Nope, bahkan Negarakertagama tidak menyebut-nyebut penaklukkan Sumatera sama sekali. Masih menurut Slamet Muljana, penguasaan Majapahit terhadap Nusantara tidak terletak pada aspek militernya, melainkan pada aspek perdagangan. Saat itu bangsa Jawa masih merupakan pelaut ulung yang punya jung-jung atau kapal-kapal raksasa untuk berlayar mengitari seluruh pelosok kepulauan timur. Majapahit juga tampil sebagai primadona di Nusantara sebab mutu barang-barangnya yang amat high class, menjadikannya kiblat seni saat itu. Ini diperkuat oleh pernyataan Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N Miksic yang menyatakan:
Nah. Mari kita berpikir jernih. Majapahit dan juga ratusan kerajaan lainnya di Nusantara ini adalah bahagian dari sejarah Indonesia. Saya mencintai, mengagumi dan tak henti-hentinya terkesima dengan peradaban kerajaan Majapahit. Dan juga Sriwijaya, Aceh, Gowa, Banten, Banjar, Ternate, dan lain sebagainya. Menjadi Indonesia tidak berarti lantas hanya mencintai sejarah sukunya sendiri. Coba tengok Mohammad Yamin yang Minangkabau totok tapi segitu getolnya mengangkat nama Gadjah Mada di panggung nasional.
Di wilayah Melayu ditemukan artefak berupa kesenian bermotif Jawa. Bentuknya adalah arca Kala Makara dan Dewi Prajnaparamita yang memperlihatkan ciri kesenian khas Jawa Majapahit. Selain itu, juga banyak ditemukan gerabah yang lebih berciri Trowulan. Ada kesinambungan yang terjadi antara hubungan Melayu dengan kerajaan Jawa (Majapahit)
Nah. Mari kita berpikir jernih. Majapahit dan juga ratusan kerajaan lainnya di Nusantara ini adalah bahagian dari sejarah Indonesia. Saya mencintai, mengagumi dan tak henti-hentinya terkesima dengan peradaban kerajaan Majapahit. Dan juga Sriwijaya, Aceh, Gowa, Banten, Banjar, Ternate, dan lain sebagainya. Menjadi Indonesia tidak berarti lantas hanya mencintai sejarah sukunya sendiri. Coba tengok Mohammad Yamin yang Minangkabau totok tapi segitu getolnya mengangkat nama Gadjah Mada di panggung nasional.
Kesimpulannya: sejarah,
mungkin tidak semanis kenyataan. Akan tetapi hari ini kita harus berbangga hati
dan berlapang dada. Kita adalah bagian dari sebuah bangsa yang untuk ukuran
bangsa-bangsa lain di luar negeri lumayan gila: ribuan pulau serta ratusan suku
dalam 1 pemerintahan! Yup, biarlah jargon “Bhinneka Tunggal Ika” yang
menjelaskan semuanya. Karena dengan atau
tanpa Sumpah Palapa, Nusantara yang secara genetis, linguistik dan geografis
ini berkerabat satu sama lain memang ditakdirkan untuk menjadi satu.
Salam dari kamar saya
di Makassar,
24 Januari 2014