Pagi itu aku terbangun dengan perasaan
kaget dan bingung.
Dimana ini?
Kepalaku masih terasa berat dan pusing,
berdenyut-denyut seperti habis dihajar sesuatu. Badan pun rasanya terombang-ambing,
bagai berdiri di atas gelombang air. Ah, sensasi jetlag.
Suara kentut nyaring bak bunyi piccolo yang
tiba-tiba menyobek renungan pagi segera menyadarkan diriku. Juli! Dasar
kampret, batinku sambil melotot ke seberang ruangan. Si tersangka yang tidur di
dalam sleeping bag hitam punyaku itu
(dia ternyata bangun lebih awal daripada kami semua. Ritual paginya adalah
mencari-cari makanan apa yang tersisa di atas meja makan untuk disantap,
sebelum menyikat gigi dan mandi pagi) tersenyum (senyumnya menyiratkan campuran
antara perasaan bersalah dan puas karena telah mengentuti seisi ruangan) sambil
berkata,”Maaf mas!”, lalu kembali bermain handphone Nokia Lumia berwarna kuning
kesayangannya.
Ah, aku ingat dimana ini. Prinsenstraat
No. 90. Kamar Honorine.
Aku mengedarkan mata ke sekeliling
ruangan. Kak Daus selalu bangun paling pagi, turun ke dapur dan memulai siklus
pembuatan sarapan untuk bocah-bocah pengungsi yang ia tampung. Disusul oleh
Ulil, yang sehabis sholat subuh jam 08.00 pagi segera turun ke bawah untuk
membantu kak Daus di dapur. Hari ini katanya dia mau masak sup ubi, kebetulan
kami dapat banyak sekali singkong sisa pesta kak Narti kemarin malam. Faizt
masih asyik bersembunyi di balik selimut, menanti dibangunkan oleh Mbak Ia
(baca: Mandira) untuk sholat subuh, lalu turun ke dapur demi membuat sarapannya
sendiri: Indomie goreng. Himawan? Mana Himawan? Oh rupanya ia masih asyik
berbulan madu di Eindhoven. Menikmati kehangatan Belanda selatan dalam pelukan yang
terkasih di antara sapi-sapi ternak penghasil keju dan susu kualitas dunia. Hmmm...
ngapain aja ya dia semalam?
Di kamar perempuan, Ran yang sudah
bangun memutuskan untuk tidur-tiduran manja lagi di balik selimutnya. Ina masih
pulas dibuai mimpi sementara mbak Puspa sibuk memandangi langit-langit kamar
kak Daus untuk mencari mimpi. Kasihan, rekaman video klip Worong Mporongnya
bersama Lucas hilang. Padahal ibu mbak Puspa sudah nitip untuk dibawakan anak
bule yang lucu. Ah, tante #kodekeras. Aku? Aku memutuskan untuk bangun,
menaikkan kembali kasur ke dipan Honorine yang kami buat patah berkeping-keping,
merapikan bantal, memaksa Juli menyerahkan selimutnya untuk dilipat, lalu
mandi.
Pagi itu menu makan kami meriah sekali,
ada rendang kacang yang dibawa Mandira, rendang dari Juli (yang diklaim sebagai
rendang yang lebih enak daripada rendang yang dimasak oleh orang Minang sendiri),
telur-kornet, mie goreng serta kue ulang tahun kak Daus. Tuan rumah kami ini
memang berulang tahun yang ke-36 beberapa hari lalu. Luarbiasa ya, sudah uzur
ternyata (meskipun masih hobi menganggu bocah-bocah kecil seperti kami). Anak-anak
ada janji untuk jalan-jalan bersama kak Dodo ke Amsterdam jam 10.00. Akan
tetapi sekarang sudah jam sembilan lewat dan belum ada satupun yang mandi.
Dasar kebiasaan. Kasihan kak Dodo tuh udah nelfonin Ulil dari tadi memastikan
jangan sampai telat. Tapi yakinlah, kak Dodo yang punya hobi bilang “aku cakep
yak” setiap habis berfoto ini pasti akan menunggu anak-anaknya dengan setia.
Hari ini aku dan Ran punya agenda
sendiri. Kami mau ke Madurodam. Itu tuh, taman miniatur Belanda yang ada di Den
Haag. Kebetulan kami dapat tiket potongan masing-masing 5 Euro untuk satu orang
dari mbak Dhani Astuti, mahasiswi Institute of Social Science yang juga adalah
seniorku di AFS Bina Antarbudaya Chapter Yogyakarta. Hihihi, jarang ketemu di
Jogja malah ketemunya di Belanda sama mbak Dhani! Matahari yang malas-malasan
mengeluarkan cahayanya di musim dingin yang beku ini mulai meninggi. Cuaca
mending dan angin dingin menerpa tubuh kami yang berkulit tipis ala tropis.
Tapi aku dan Ran tak gentar untuk berjalan menuju Leiden Centraal. Leiden
Centraal, sejak pertama kali turun di sini hampir dua minggu yang lalu, telah
membuatku jatuh cinta. Dekorasi pohon Natal serta lampu-lampu putihnya yang
gemerlap membuatku merasa disambut oleh kota pelajar yang punya kanal-kanal
indah ini.
Kami naik kereta menuju Den Haag
Centraal. Kereta di jalur Spoor 3. Perjalananku dan Ran hari itu ditemani oleh
si Comel, nama panggilan yang kulekatkan pada sebuah produk minuman coklat
bermerek Chocomel. Rasanya si Comel ini beda dengan produk susu yang ada di
Indonesia. Pokoknya benar-benar coklat deh (meskipun ternyata coklat-coklat di
Eropa pun sebenarnya diimpor dari Indonesia juga). Sampai di Den Haag Centraal
kami segera mengejar tram9 dengan tujuan Madurodam. Wah, ternyata jika
dirunut-runut tram ini dapat mengantarkan kami ke kak Narti. Apartemennya ada
di Leyweg, di ujung perjalanan tram 9.
Setelah menghabiskan setengah hari di
Madurodam, aku dan Ran pun memutuskan untuk mengunjungi tim kami di Delft. Ada
Ucup yang telah siap menunggu di stasiun Delft. Ternyata kota Delft memang
tidak sebesar Den Haag atau Leiden. Stasiun Delft yang sedang direnovasi sempat
membuat kami kebingungan untuk mencari pintu keluarnya. Sekitar pukul 04.00 PM
kami bertemu Ucup dan langsung diajak ke Centrum. Selain Ucup, di Delft ada
Gendon, Jody dan Fahmi. Fahmi saat ini tengah menikmati gigitan beku Stockholm di
utara. Dasar, padahal udah tahu dirinya “tinggal tulang berbalut kulit” tapi
Fahmi tetap menantang udara dingin Skandinavia untuk Euro Trip-nya kali ini. Si
Gendon abis ngeborong coklat. Coklat buat oleh-olehnya aja nyampe 20 kg! Gile
bener. Si Jody yang punya suara ngorok ala rocker 80-an yang paling sering jadi
penunggu kamar. Ya, gimana ya, untuk jalan-jalan ke kota lain dia harus
naik-turun tangga biru stasiun Delft yang setelah kami hitung berjumlah hampir
50 anak tangga! Sebelum hari semakin gelap, saya dan Ran memutuskan untuk
pulang ke Leiden. Akan tapi kami ditahan dulu oleh Ucup untuk makan malam.
Ternyata selain main gitar Ucup, juga juga menjadi tenaga ahli dalam bidang
masak-memasak di Delft, mengingat anggota lainnya lebih jago dalam hal mencuci
piring.
Dalam perjalanan pulang ke Leiden, kubuka
instagram. Ya ampun... penuh dengan selfie-nya Mandira. Mulai dari yang senyum
imut sampai ketawa gede banget. Dan setiap kali foto sama Faizt, pasti muka
sang adek cemberut. Hihihi dasar kakak-adek ini! Jadi ingat kakak-adek lainnya
di tim ini. Mbak Chandri dan Diva yang sedang asyik bersua dengan keluarga jauh
mereka di Jerman. Setelah itu akan dilanjutkan dengan bertemu hostfamily Diva
pas zaman AFS dulu di Belgia. Yah, semoga saja kakak-adek yang sedang di Jerman
itu kembali dalam keadaan utuh, tidak saling memotong anggota tubuh satu sama
lain hihi.
Sesampainya di rumah, sudah larut malam.
Tadi aku dan Ran hampir ketinggalan kereta. Tapi itu cerita untuk kesempatan
lain. Begitu memasuki kamar Honorine, kami langsung ditodong untuk bermain
Werewolf oleh si Faizt. Ia menjadi misionaris untuk permainan ini di tim kami.
Aku yang baru pertama kali main dikerjai habis-habisan. Berulang kali dibunuh
oleh si Werewolf dan tidak diselamatkan oleh si Queen! Setelah mengucapkan tagline
paling legendaris: “Desa ini dikutuk!” kami berhenti bermain. Perut terisi
penuh dan jiwa tertawa-tawa riang. Sekarang saatnya untuk tidur, karena sudah
jam 01.00 AM.
Pagi
itu aku terbangun dengan perasaan kaget dan bingung.
Dimana
ini?
Kepalaku
masih terasa berat dan pusing, berdenyut-denyut seperti habis dihajar sesuatu.
Badan pun rasanya terombang-ambing, bagai berdiri di atas gelombang air. Ah,
sensasi jetlag.
Tidak ada suara kentut Juli yang
menyobek renungan pagiku. Tidak ada dentang suara sama sekali dari dapur. Tidak
ada bunyi ngorok yang saling sahut-menyahut dari sebelahku. Aku terbangun dan
sadar, ini sudah bukan di Prinsenstraat 90 lagi. Aku telah kembali, ke kasur
lamaku di Perumahan Dosen UGM, Bulaksumur E7, di Yogyakarta, Indonesia.
Aku terkulai lemas. Kali ini bukan oleh
jetlag. Atau karena masuk angin yang disebabkan oleh gigitan musim dingin. Dadaku
bergetar dan mataku memerah. Air mata yang hangat menetes jatuh perlahan-lahan.
Aku kangen. Kangen dengan suasana di Belanda. Suasana di Belanda yang penuh
kebersamaan. Kebersamaan yang mewarnai hari-hari kami selama 17 hari berada di
sana.
Handphone-ku berdering. Siapa itu?
Apakah dari kak Daus yang menanyakan “Dek, lagi dimana ki? Pulang mi, sudah
malam!”, atau dari kak Dodo yang menanyakan, “Ahlul, masih ada tiket ke
Madurodam-mu dek? Anak-anak mau ke sana besok,” atau dari Azzam yang menanyakan
“Mas Ahlul, besok pagi jadi ke Amsterdam?”, atau bisa jadi dari salah satu anak
Delft yang tiba di Leiden Centraal dan meminta untuk dijemput di sana.
Bukan, itu telpon dari mamaku.
Mama :
Assalamu’alaikum, halo lagi dimana?
Aku :
Walaikum salam. Di kosan mah.
Mama :
Lho, habis menangis ya?
Aku :
(Berdehem) nggak.
Mama :
Itu suaranya bergetar gitu. Masih sakit kepalanya?
Aku :
Udah nggak.
Mama :
Dek, jangan mi terus bersedih. Kangen sih boleh, tapi kalau terus-terusan larut
dalam kesedihan nanti ndak bisa ki bersyukur.
Aku :
Lha, kenapa mah?
Mama :
Iya lah, coba pikir kalau tiap hari bawaannya kangen terus sama Belanda. Kapan kita
bisa bersyukur? Bersyukur bisa berangkat sama teman-teman semuanya ke sana,
bersyukur bisa ketemu sama kakak-kakak yang baik, bersyukur acaranya bisa
sukses, bersyukur bisa kembali pulang ke tanah air dalam keadaan selamat. Kalau
sedih terus kan tandanya kita tidak mencerna anugerah yang Allah berikan dengan
bijaksana.
Aku :
Tapi mah...
Mama :
Insya Allah, jika Tuhan yang mengizinkan, pasti kalian semua bisa bertemu
kembali atau momen yang sama terulang kembali. Kesedihan itu wajar dalam
perpisahan. Tapi jangan takut, selama masih diberi oleh Allah kesempatan untuk
menjalani kehidupan, akan ada banyak pintu dan jalan yang tidak terduga. Karena
itu bersyukur, bersyukur... Jangan sampai berhenti berkarya hanya karena
menangis di atas kasur ji.
Aku :
Iya mah, alhamdulillah...
Pembicaraan pun berakhir. Aku menyeka
air mata sambil tersenyum. Aku tak ingin bersedih lagi. Aku harus move on. Aku saat ini bersyukur. Aku
bersyukur karena telah bertemu dengan kalian semua. Aku bersyukur karena telah
menjadi bagian dari hidup kalian. Ya, terima kasih Allah atas anugerah yang
Engkau curahkan atas kami di apartemen kecil penuh kenangan di Prinsenstraat
90, Leiden.
Geng Prinsenstraat 90 di Volendam |
No comments:
Post a Comment