Monday, January 6, 2014

Suatu Hari di Prinsenstraat 90...

Pagi itu aku terbangun dengan perasaan kaget dan bingung.
Dimana ini?

Kepalaku masih terasa berat dan pusing, berdenyut-denyut seperti habis dihajar sesuatu. Badan pun rasanya terombang-ambing, bagai berdiri di atas gelombang air. Ah, sensasi jetlag.

Suara kentut nyaring bak bunyi piccolo yang tiba-tiba menyobek renungan pagi segera menyadarkan diriku. Juli! Dasar kampret, batinku sambil melotot ke seberang ruangan. Si tersangka yang tidur di dalam sleeping bag hitam punyaku itu (dia ternyata bangun lebih awal daripada kami semua. Ritual paginya adalah mencari-cari makanan apa yang tersisa di atas meja makan untuk disantap, sebelum menyikat gigi dan mandi pagi) tersenyum (senyumnya menyiratkan campuran antara perasaan bersalah dan puas karena telah mengentuti seisi ruangan) sambil berkata,”Maaf mas!”, lalu kembali bermain handphone Nokia Lumia berwarna kuning kesayangannya.

Ah, aku ingat dimana ini. Prinsenstraat No. 90. Kamar Honorine.

Aku mengedarkan mata ke sekeliling ruangan. Kak Daus selalu bangun paling pagi, turun ke dapur dan memulai siklus pembuatan sarapan untuk bocah-bocah pengungsi yang ia tampung. Disusul oleh Ulil, yang sehabis sholat subuh jam 08.00 pagi segera turun ke bawah untuk membantu kak Daus di dapur. Hari ini katanya dia mau masak sup ubi, kebetulan kami dapat banyak sekali singkong sisa pesta kak Narti kemarin malam. Faizt masih asyik bersembunyi di balik selimut, menanti dibangunkan oleh Mbak Ia (baca: Mandira) untuk sholat subuh, lalu turun ke dapur demi membuat sarapannya sendiri: Indomie goreng. Himawan? Mana Himawan? Oh rupanya ia masih asyik berbulan madu di Eindhoven. Menikmati kehangatan Belanda selatan dalam pelukan yang terkasih di antara sapi-sapi ternak penghasil keju dan susu kualitas dunia. Hmmm... ngapain aja ya dia semalam?
Jalan Prinsenstraat

Perempatan di ujung Prinsenstraat. Tepat di depan kediaman Dr. Firdaus.
Di kamar perempuan, Ran yang sudah bangun memutuskan untuk tidur-tiduran manja lagi di balik selimutnya. Ina masih pulas dibuai mimpi sementara mbak Puspa sibuk memandangi langit-langit kamar kak Daus untuk mencari mimpi. Kasihan, rekaman video klip Worong Mporongnya bersama Lucas hilang. Padahal ibu mbak Puspa sudah nitip untuk dibawakan anak bule yang lucu. Ah, tante #kodekeras. Aku? Aku memutuskan untuk bangun, menaikkan kembali kasur ke dipan Honorine yang kami buat patah berkeping-keping, merapikan bantal, memaksa Juli menyerahkan selimutnya untuk dilipat, lalu mandi.

Pagi itu menu makan kami meriah sekali, ada rendang kacang yang dibawa Mandira, rendang dari Juli (yang diklaim sebagai rendang yang lebih enak daripada rendang yang dimasak oleh orang Minang sendiri), telur-kornet, mie goreng serta kue ulang tahun kak Daus. Tuan rumah kami ini memang berulang tahun yang ke-36 beberapa hari lalu. Luarbiasa ya, sudah uzur ternyata (meskipun masih hobi menganggu bocah-bocah kecil seperti kami). Anak-anak ada janji untuk jalan-jalan bersama kak Dodo ke Amsterdam jam 10.00. Akan tetapi sekarang sudah jam sembilan lewat dan belum ada satupun yang mandi. Dasar kebiasaan. Kasihan kak Dodo tuh udah nelfonin Ulil dari tadi memastikan jangan sampai telat. Tapi yakinlah, kak Dodo yang punya hobi bilang “aku cakep yak” setiap habis berfoto ini pasti akan menunggu anak-anaknya dengan setia.

Hari ini aku dan Ran punya agenda sendiri. Kami mau ke Madurodam. Itu tuh, taman miniatur Belanda yang ada di Den Haag. Kebetulan kami dapat tiket potongan masing-masing 5 Euro untuk satu orang dari mbak Dhani Astuti, mahasiswi Institute of Social Science yang juga adalah seniorku di AFS Bina Antarbudaya Chapter Yogyakarta. Hihihi, jarang ketemu di Jogja malah ketemunya di Belanda sama mbak Dhani! Matahari yang malas-malasan mengeluarkan cahayanya di musim dingin yang beku ini mulai meninggi. Cuaca mending dan angin dingin menerpa tubuh kami yang berkulit tipis ala tropis. Tapi aku dan Ran tak gentar untuk berjalan menuju Leiden Centraal. Leiden Centraal, sejak pertama kali turun di sini hampir dua minggu yang lalu, telah membuatku jatuh cinta. Dekorasi pohon Natal serta lampu-lampu putihnya yang gemerlap membuatku merasa disambut oleh kota pelajar yang punya kanal-kanal indah ini.

Kami naik kereta menuju Den Haag Centraal. Kereta di jalur Spoor 3. Perjalananku dan Ran hari itu ditemani oleh si Comel, nama panggilan yang kulekatkan pada sebuah produk minuman coklat bermerek Chocomel. Rasanya si Comel ini beda dengan produk susu yang ada di Indonesia. Pokoknya benar-benar coklat deh (meskipun ternyata coklat-coklat di Eropa pun sebenarnya diimpor dari Indonesia juga). Sampai di Den Haag Centraal kami segera mengejar tram9 dengan tujuan Madurodam. Wah, ternyata jika dirunut-runut tram ini dapat mengantarkan kami ke kak Narti. Apartemennya ada di Leyweg, di ujung perjalanan tram 9.

Setelah menghabiskan setengah hari di Madurodam, aku dan Ran pun memutuskan untuk mengunjungi tim kami di Delft. Ada Ucup yang telah siap menunggu di stasiun Delft. Ternyata kota Delft memang tidak sebesar Den Haag atau Leiden. Stasiun Delft yang sedang direnovasi sempat membuat kami kebingungan untuk mencari pintu keluarnya. Sekitar pukul 04.00 PM kami bertemu Ucup dan langsung diajak ke Centrum. Selain Ucup, di Delft ada Gendon, Jody dan Fahmi. Fahmi saat ini tengah menikmati gigitan beku Stockholm di utara. Dasar, padahal udah tahu dirinya “tinggal tulang berbalut kulit” tapi Fahmi tetap menantang udara dingin Skandinavia untuk Euro Trip-nya kali ini. Si Gendon abis ngeborong coklat. Coklat buat oleh-olehnya aja nyampe 20 kg! Gile bener. Si Jody yang punya suara ngorok ala rocker 80-an yang paling sering jadi penunggu kamar. Ya, gimana ya, untuk jalan-jalan ke kota lain dia harus naik-turun tangga biru stasiun Delft yang setelah kami hitung berjumlah hampir 50 anak tangga! Sebelum hari semakin gelap, saya dan Ran memutuskan untuk pulang ke Leiden. Akan tapi kami ditahan dulu oleh Ucup untuk makan malam. Ternyata selain main gitar Ucup, juga juga menjadi tenaga ahli dalam bidang masak-memasak di Delft, mengingat anggota lainnya lebih jago dalam hal mencuci piring.

Dalam perjalanan pulang ke Leiden, kubuka instagram. Ya ampun... penuh dengan selfie-nya Mandira. Mulai dari yang senyum imut sampai ketawa gede banget. Dan setiap kali foto sama Faizt, pasti muka sang adek cemberut. Hihihi dasar kakak-adek ini! Jadi ingat kakak-adek lainnya di tim ini. Mbak Chandri dan Diva yang sedang asyik bersua dengan keluarga jauh mereka di Jerman. Setelah itu akan dilanjutkan dengan bertemu hostfamily Diva pas zaman AFS dulu di Belgia. Yah, semoga saja kakak-adek yang sedang di Jerman itu kembali dalam keadaan utuh, tidak saling memotong anggota tubuh satu sama lain hihi.

Sesampainya di rumah, sudah larut malam. Tadi aku dan Ran hampir ketinggalan kereta. Tapi itu cerita untuk kesempatan lain. Begitu memasuki kamar Honorine, kami langsung ditodong untuk bermain Werewolf oleh si Faizt. Ia menjadi misionaris untuk permainan ini di tim kami. Aku yang baru pertama kali main dikerjai habis-habisan. Berulang kali dibunuh oleh si Werewolf dan tidak diselamatkan oleh si Queen! Setelah mengucapkan tagline paling legendaris: “Desa ini dikutuk!” kami berhenti bermain. Perut terisi penuh dan jiwa tertawa-tawa riang. Sekarang saatnya untuk tidur, karena sudah jam 01.00 AM.

Pagi itu aku terbangun dengan perasaan kaget dan bingung.
Dimana ini?

Kepalaku masih terasa berat dan pusing, berdenyut-denyut seperti habis dihajar sesuatu. Badan pun rasanya terombang-ambing, bagai berdiri di atas gelombang air. Ah, sensasi jetlag.

Tidak ada suara kentut Juli yang menyobek renungan pagiku. Tidak ada dentang suara sama sekali dari dapur. Tidak ada bunyi ngorok yang saling sahut-menyahut dari sebelahku. Aku terbangun dan sadar, ini sudah bukan di Prinsenstraat 90 lagi. Aku telah kembali, ke kasur lamaku di Perumahan Dosen UGM, Bulaksumur E7, di Yogyakarta, Indonesia.

Aku terkulai lemas. Kali ini bukan oleh jetlag. Atau karena masuk angin yang disebabkan oleh gigitan musim dingin. Dadaku bergetar dan mataku memerah. Air mata yang hangat menetes jatuh perlahan-lahan. Aku kangen. Kangen dengan suasana di Belanda. Suasana di Belanda yang penuh kebersamaan. Kebersamaan yang mewarnai hari-hari kami selama 17 hari berada di sana.

Handphone-ku berdering. Siapa itu? Apakah dari kak Daus yang menanyakan “Dek, lagi dimana ki? Pulang mi, sudah malam!”, atau dari kak Dodo yang menanyakan, “Ahlul, masih ada tiket ke Madurodam-mu dek? Anak-anak mau ke sana besok,” atau dari Azzam yang menanyakan “Mas Ahlul, besok pagi jadi ke Amsterdam?”, atau bisa jadi dari salah satu anak Delft yang tiba di Leiden Centraal dan meminta untuk dijemput di sana.

Bukan, itu telpon dari mamaku.
Mama  : Assalamu’alaikum, halo lagi dimana?
Aku     : Walaikum salam. Di kosan mah.
Mama  : Lho, habis menangis ya?
Aku     : (Berdehem) nggak.
Mama  : Itu suaranya bergetar gitu. Masih sakit kepalanya?
Aku     : Udah nggak.
Mama  : Dek, jangan mi terus bersedih. Kangen sih boleh, tapi kalau terus-terusan larut dalam kesedihan nanti ndak bisa ki bersyukur.
Aku     : Lha, kenapa mah?
Mama  : Iya lah, coba pikir kalau tiap hari bawaannya kangen terus sama Belanda. Kapan kita bisa bersyukur? Bersyukur bisa berangkat sama teman-teman semuanya ke sana, bersyukur bisa ketemu sama kakak-kakak yang baik, bersyukur acaranya bisa sukses, bersyukur bisa kembali pulang ke tanah air dalam keadaan selamat. Kalau sedih terus kan tandanya kita tidak mencerna anugerah yang Allah berikan dengan bijaksana.
Aku     : Tapi mah...
Mama  : Insya Allah, jika Tuhan yang mengizinkan, pasti kalian semua bisa bertemu kembali atau momen yang sama terulang kembali. Kesedihan itu wajar dalam perpisahan. Tapi jangan takut, selama masih diberi oleh Allah kesempatan untuk menjalani kehidupan, akan ada banyak pintu dan jalan yang tidak terduga. Karena itu bersyukur, bersyukur... Jangan sampai berhenti berkarya hanya karena menangis di atas kasur ji.
Aku     : Iya mah, alhamdulillah...


Pembicaraan pun berakhir. Aku menyeka air mata sambil tersenyum. Aku tak ingin bersedih lagi. Aku harus move on. Aku saat ini bersyukur. Aku bersyukur karena telah bertemu dengan kalian semua. Aku bersyukur karena telah menjadi bagian dari hidup kalian. Ya, terima kasih Allah atas anugerah yang Engkau curahkan atas kami di apartemen kecil penuh kenangan di Prinsenstraat 90, Leiden. 


Geng Prinsenstraat 90 di Volendam

No comments: