Sunday, September 7, 2014

Tuhan di Belanda

Pada suatu jumat yang mendung dan berangin (cuaca khas Belanda), Renate menutup kelas kami lebih cepat setengah jam dari biasanya. Ia berkata bahwa karena hari ini kaum muslim diwajibkan untuk beribadah ke masjid, dan karena mengetahui bahwa saya adalah seorang muslim, jadi kelas dibubarkan lebih cepat. Tahun lalu, ada seorang siswanya di kelas bahasa yang menjelaskan kepada Renate akan kewajiban untuk sholat Jumat. Sejak saat itulah Renate selalu bertanya di kelas yang ia ajar jika ada muslim yang menginginkan waktu untuk beribadah. Ah, perhatian sekali dosen Bahasa Belanda saya ini. Tidak hanya itu, ia juga bahkan membantu mencari informasi tentang lokasi masjid-masjid yang ada di Leiden sebagai referensi saya.

Ketika itu saya bertanya kepadanya, apa sih terjemahan atas "Thank God It's Friday" (TGIF) yang populer diserukan oleh remaja-remaja high school di Amerika Serikat untuk menyambut weekend di dalam Bahasa Belanda? Renate terlihat bingung. Ia berkata bahwa kalimat tersebut mungkin tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Di Belanda, ada istilah "fijne weekend" untuk menyambut akhir pekan yang menggembirakan. Di sini Tuhan memang jarang dibawa-bawa ke tengah pergaulan sehari-hari. Renate menjelaskan bahwa bahkan kata "Dank God" (puji syukur kepada Tuhan) udah cukup membuat anda terlihat "sangat" relijius di tengah penduduk yang mayoritas agnostik dan atheis ini. Segitunya ya, padahal untuk ukuran Amerika pun thank God itu biasa aja :D

Tahun 2011 CNN pernah mengeluarkan sebuah survey yang isinya cukup mencengangkan. Sekitar 40% penduduk Belanda menyatakan bahwa diri mereka tidak menganut suatu agama tertentu. Diprediksi pada tahun 2050 sekitar 70% dari total jumlah penduduknya tidak akan memeluk agama. Koordinator program saya yaitu mommy Marijke van Wissen bahkan pernah nyeletuk bahwa agama telah lama ditinggalkan oleh orang Belanda karena dianggap tidak penting lagi. Sifatnya hanya seremonial, untuk kepentingan pernikahan, kelahiran maupun perkuburan semata. Marijke yang waktu kecil dibesarkan dengan tradisi Katolik Roma hari ini merasa tidak memiliki ikatan apa-apa lagi dengan agamanya. Pun, berdasarkan pengamatan saya di sekeliling Leiden, gereja-gereja besar yang indah di sini hanya sekedar dijadikan sebagai monumen sejarah.

Temuan-temuan di atas tetiba mengingatkan saya akan sesuatu. Di Indonesia, belakangan marak bermunculan buku-buku di toko-toko buku yang berisi kisah-kisah mengenai muslim di negara-negara Barat. Kebanyakan buku-buku itu menggambarkan bagaimana komunitas muslim tumbuh dengan pesat di Eropa dan Amerika pasca 9/11. Ketika membaca kisah-kisah tersebut kita mendapatkan impresi seakan-akan orang-orang Barat itulah yang menjadi mualaf berbondong-bondong dalam jumlah yang amat besar. Hampir seperti mukjizat, itulah yang dikesankan oleh buku-buku tersebut. Pada kenyataannya, seperti yang saya saksikan setidaknya di negeri Belanda ini, sebenarnya jumlah pemeluk agama Islam yang membludak dengan tiba-tiba itu disebabkan oleh arus migrasi, bukan atas perpindahan agama secara massal. Penduduk-penduduk yang berasal dari negara-negara dengan mayoritas muslim seperti Bosnia, Turki, Maroko, Mesir dan lain sebagainya lah yang meramaikan kehidupan beragama di Belanda melalui kedatangan mereka, mengingat penduduk asli negeri ini sendiri memiliki kecenderungan untuk tidak mengasosiasikan diri mereka dengan agama apapun. Non-asosiasi penduduk lokal terhadap agama tidak hanya berlaku bagi Kekristenan yang telah mengakar selama ratusan tahun di tanah mereka tetapi juga terhadap agama-agama yang berasal dari Timur Tengah seperti Islam dan Yahudi.

Budget Bike, Leiden
Ada sebuah kasus menarik terkait kisah agama yang dibawa oleh kaum migran di Belanda. Di minggu pertama saya di sini, saya pergi ke sebuah toko sepeda yang cukup terkenal bernama Budget Bike. Pemiliknya ialah seorang muslim asal Chechnya bernama Yakub. Ketika ia mengetahui bahwa saya adalah seorang: (1) muslim, (2) warga Indonesia, (3) pelajar, maka dengan senang hati ia memberikan diskon. Tidak hanya saya ternyata, teman-teman pelajar muslim dari negara lain pun sering kali ia berikan potongan harga yang cukup besar. Sungguh, saya amat terharu. Yakub membawa serta keluarga besarnya hijrah ke Belanda 15 tahun yang lalu. Setelah berhasil merintis bisnis, ia memanggil kawan-kawannya di kampung untuk menjadi pekerjanya. Hari ini ia telah berhasil membangun bisnis toko sepeda terbesar di Leiden, dengan seluruh karyawannya muslim yang berasal dari Chechnya, Albania maupun Bosnia. Bagi saya, Yakub adalah contoh bagaimana nilai-nilai agama sebenarnya tidak perlu ditunjukkan melalui simbol-simbol (di bengkel sepedanya saya tidak melihat kaligrafi atau untaian tasbih sama sekali) namun melalui nilai-nilai moral dalam interaksi sosial. Ia berbicara Bahasa Belanda dengan lancar dan terlihat amat akrab dengan pelanggan-pelanggannya yang kebanyakan kulit putih itu. Ia adalah muslim yang menjadi bagian dari negara ini, bukan yang menolak integrasi dan bersikeras untuk tampil berbeda tanpa logika.

Tuhan di Belanda, tidak kita temukan dalam rumah-rumah ibadah atau jubah-jubah seremonial. Kita tidak akan mendengarkan azan di sini, atau melihat ramenya pemandangan umat Nasrani berangkat menuju gereja setiap minggu pagi. Seharusnya, tidak perlu kisah ribuan orang berpindah agama ke agama yang kita anut dieksploitasi secara berlebihan. Apalagi kemudian difiksikan sedemikian rupa sehingga kita dibuat terlena oleh yang mana nyata dan yang mana sastra. Ketimbang memamer-mamerkan angka atau data kuantitas konversi kepercayaan seorang manusia, saya lebih condong melihat ke kualitas iman dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, Ia (Tuhan) menjadi urusan pribadi masing-masing individu. Namun entah mengapa, saya justru merasa tidak asing dengan-Nya ketika Ia hadir di antara manusia dalam senyum, sapa, tolong-menolong, keikhlasan, kerja keras dan ketepatan waktu.
 
Groetjes van Leiden,
7 September 2014
22:29

No comments: