Pertanyaannya, mengapa Aachen?
Dua minggu lalu saya mengajak teman-teman kuliah di Leiden University untuk membeli dagkaart. Dagkaart merupakan sebuah kartu sakti dimana dengan kartu seharga 17,50 euro itu anda mendapatkan akses bus, kereta maupun tram untuk keliling Belanda selama 24 jam. Saya mengajak mereka untuk jalan-jalan ke Maastricht, sebuah kota cantik di ujung Belanda paling selatan yang berbatasan dengan Belgia dan Jerman. Dari Maastricht, kami akan melanjutkan perjalanan ke kota Aachen yang jaraknya hanya 50 menit dengan bus. Hujan dingin merintik, membasahi bumi Belanda saat kami mulai mengayuh sepeda dari apartemen kami di Smaragdlaan. Kami berangkat subuh buta, saat matahari pun masih enggan untuk menampakkan wajahnya. Kereta kami melaju kencang dari stasiun Leiden Centraal, singgah di Utrecht Centraal untuk berganti arah, kemudian tanpa ampun mengejar waktu ke kota Maastricht. Rombongan kami terdiri atas 2 orang Indonesia, seorang Thailand, seorang Sri Lanka, dua orang India, dan seorang Bangladesh. Kami bunuh waktu dengan berbincang panjang lebar mengenai sejarah, politik, ekonomi, budaya, hingga kehidupan artis dari jazirah-jazirah tempat kami masing-masing berasal. Ada seorang ibu-ibu keturunan Maluku yang menyimak cerita kami dengan seksama di bangku belakang. Ketika akhirnya kereta berhenti, ia menyapa saya dan berkata dengan Bahasa Indonesia yang lancar: "Terima kasih ya, saya dengar terus cerita kalian dan jadi banyak tahu keadaan di Indonesia." Wah, meskipun lahir dan besar di Belanda, si ibu tetap diwarisi kemampuan Bahasa Indonesia yang baik.
Di tengah Centrum Maastricht |
Singkat cerita, kami tiba di tempat tujuan. Maastricht adalah sebuah kota tua, beraroma Burgundy, berjalan lebar, Katolik, dan sangat cantik. Ia bagaikan seorang putri bertubuh sempurna yang mengenakan mahkota tiara berwarna putih. Maastricht begitu anggun. Nah, setelah puas melihat-lihat centrum serta gereja-gereja paling tua di Belanda, kami meneruskan perjalanan kami menembus gerimis. Kami melintasi keindahan alam yang disembunyikan tengkuk Belanda sebelah timur, menyaksikan betapa indahnya bukit-bukit kecil saling susul-menyusul membentuk punuk-punuk hijau nan (meskipun tidak sesubur areal persawahan di tanah air) menyegarkan pandangan. Kami yang terlena oleh keindahan alam di perbatasan kedua negara baru sadar bahwa Belanda sudah lewat saat toko-toko di sepanjang jalan mulai banyak yang menggunakan tanda baca umlaut. Ah, Jerman! Akhirnya. Setelah sekian tahun hanya mendengar dan membaca tentangnya, setelah 3 tahun belajar bahasanya di SMA Neg. 05 Makassar, saya diberi kesempatan oleh-Nya untuk menginjak langsung tanah dan menghirup segar udara negerinya.
Tibalah kami akhirnya di bumi Aachen. Masih disambut oleh rintik hujan, kami berjalan menuju ke Zentrum alias pusat kota. Di sana ada sebuah katedral besar berkubah yang membuat bulu roma saya berdiri. Katedral itu, yang lazim disebut "Dom" atau "Kaiserdom" oleh warga Aachen, ialah monumen keagungan Charlemagne, Kaisar Kerajaan Romawi Suci (Holy Roman Empire) pertama. Istananya, yang kini telah disulap menjadi balaikota Aachen terletak tepat di seberang Dom. Ternganga saya ketika sekali lagi dikejutkan oleh fakta bahwa dulu Aachen, kota kecil di pinggiran barat Belanda ini dulunya adalah ibukota Kekaisaran Romawi Suci. Charlemagne membangkitkan kembali Eropa pasca kehancuran Romawi. Ia menyalakan lilin kecil yang menerangi kelamnya abad-abad kegelapan. Charlemagne mendukung gerakan penerjemahan buku-buku Yunani, Latin dan Arab; memerangi suku-suku barbar; menciptakan standar penulisan Latin agar bisa kita nikmati hari ini; serta menjalin hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan lain yang lebih maju. Ia tidak takut untuk meminta ilmu, karena ia yakin kerajaannya takkan dapat menjadi besar tanpa hal itu. Tercatat oleh sejarah, ia bersahabat dengan Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad. Sang khalifah mengiriminya seekor gajah albino bernama Abul Abbas dan sebuah jam mekanik bertenaga air sebagai hadiah diplomatik. Belulang gajah itu masih bisa kita lihat hari ini di kota Luneburg Heath, Jerman.
Kaiserdom, Aachen |
Tergetar hati ini membayangkan bagaimana seluruh Eropa saat itu dikontrol oleh sang kaisar dari tempat saya menegakkan tungkai kaki sekarang. Hujan masih belum berhenti turun. Kami jelas butuh tempat berteduh. Kami lalu masuk ke dalam Dom, menikmati keindahan dari abad ke-8 Masehi yang terperangkap di antara tiang-tiang dan kubah agungnya. Pelengkung-pelengkung Dom sepintas mengingatkan saya akan arsitektur La Mezquita Cordova (meskipun belum pernah ke Spanyol sih) di Andalusia. Jujur, tempat ini mirip mesjid (tentu saja minus lilin dan ikonografinya). Di tempat ini tersimpan jasad sang raja serta takhtanya yang terlihat amat sederhana. Charlemagne adalah seorang panglima militer yang amat relijius, mencintai ilmu pengetahuan dan juga kebudayaan. Hal itu terefleksikan dengan jelas bahkan hingga hari ini, di kota yang amat ia cintai ini, Aachen.
Interior Kaiserdom |
Hujan musim dingin masih saja tak mau berhenti. Saya menggigil menahan udara yang menggigit-gigit ganas, tapi saya tetap tak mampu menahan bibir ini untuk mengulas senyum. Sambil menyusuri jalanan berbatu Aachen yang fondasinya ditanam oleh Charlemagne, saya membayangkan saat-saat ketika Habibie dan Ainun berjalan di setapak yang sama, di tengah guyuran hujan. Mereka berdua mungkin berbagi payung sambil saling merapatkan tubuh. Cekikikan bersama karena saling melontar guyon. Maklum, dua-duanya masih sama-sama muda. Jiwanya penuh keinginan untuk bertualang, kepalanya penuh dijejali oleh ide-ide besar, hatinya penuh dengan kasih sayang. Seketika, kota ini bagi saya tak lagi hanya tentang keagungan Charlemagne atau tempat akademisi kondang RWTH berkumpul. Sore gerimis itu, Aachen berubah menjadi sebuah kota kecil yang di udaranya penuh dengan cinta.
Leiden,
29 November 2014
17:10