Saturday, November 1, 2014

Tentang Nama Belakang di Belanda

Jika seorang Indonesia ditanya siapa nama belakangnya, kira-kira pertanyaan tersebut tergolong sebagai pertanyaan yang sulit atau gampang menurut teman-teman?

Sebagian mungkin ada yang dengan sigap langsung menjawab dengan kata yang terletak terakhir di nama panjangnya. Ada juga yang kemudian menjawab dengan nama ayahnya. Sebagian lagi bingung, mikir-mikir lama. Setiap kali pergi untuk mengurus paspor atau visa, saya sering sekali menyaksikan orang-orang yang celingak-celinguk bertanya perihal nama belakang ini saat tengah mengisi formulir. Apakah nama belakang itu identik dengan nama keluarga? Apakah nama belakang itu ialah nama yang letaknya di ekor nama panjang atau nama yang menjelaskan hubungan kita dengan jaringan yang lebih kompleks?

Sebenarnya nama belakang itu tidak ada di dalam kebudayaan bangsa kita. Di Jawa, kita mengenal apa yang disebut dengan nama trah. Nama trah ini tentunya tidak dimiliki oleh semua orang. Hanya beberapa keluarga yang memiliki hubungan dekat dengan kraton (ningrat), pernah berjasa terhadap masyarakat luas, atau keturunan golongan priyayi (orang biasa yang atas tingginya pendidikan maupun atas harta yang dimiliki lalu terangkat harkatnya di tengah masyarakat) yang kemudian menerima kehormatan untuk dijatuhi gelar hingga bisa diwariskan ke generasi-generasi berikutnya. Akan tetapi nama trah ini beda dengan nama belakang. Normalnya, nama trah tidak disertakan di dalam akte kelahiran, ijazah atau bahkan paspor. Meskipun beberapa kasus kita menemukan beberapa orang menyematkan nama trah sebagai nama belakang, hal ini tidak lazim. Lebih banyak orang yang menyematkan nama ayah mereka sebagai nama belakang ketimbang nama trah. Penyematan nama ayah sebagai nama belakang ini ada hubungannya dengan tradisi Islam yang merujuk hubungan darah (nasab) melalui jalur ayah (bin, binti). Ini yang kemudian diterima secara luas di tanah air mengingat Islam adalah agama mayoritas.

Lalu bagaimana halnya dengan marga? Wah, ini beda lagi dengan trah. Nama marga sebenarnya bukan nama belakang, meskipun secara jelas itu mengindikasikan asal keluarga yang bersangkutan. Marga adalah nama klan dimana seseorang menjadi anggotanya. Pada umumnya marga diturunkan secara patrilineal alias lewat jalur ayah. Mungkin nama marga adalah nama yang paling mendekati dengan definisi Barat untuk "nama belakang" jika ia diletakkan di akhir sebuah nama.

Lukisan Napoleon di Rijksmuseum Amsterdam. I'm a big fan of him, by the way :P

Di Belanda, cerita dosen Bahasa Belanda saya, sebelum tahun 1811 pun orang-orang juga tidak punya nama belakang. Nama belakang baru muncul pasca Belanda dijajah oleh Kaisar Napoleon Bonaparte. Saat itu Prancis mewajibkan bagi setiap orang di Belanda untuk memiliki nama belakang yang mengindikasikan asal keluarganya. Hal ini lalu membuat orang-orang Belanda garuk-garuk kepala karena mereka tidak familiar dengan konsep tersebut. Alhasil saat pendaftaran, banyak warga Belanda yang memilih nama dari kata yang menggambarkan profesi, daerah, situasi, maupun hal-hal yang mereka sukai. Ada yang memilih nama "Bakker" karena ia berprofesi sebagai tukang roti. Ada yang memilih nama "Visser" karena berprofesi sebagai nelayan. Ada yang memilih nama "de Vries" untuk menggambarkan asalnya di provinsi Frisian. Bahkan ada yang dengan randomnya memilih nama "Naaktgeboren" yang secara harfiah berarti terlahir telanjang. Lantas, nama apa yang dipakai sebagai nama belakang oleh orang-orang Belanda sebelum itu? Well, mereka ternyata penganut sistem patronimik yang mengambil nama ayah sebagai indikator identitas, seperti halnya dalam tradisi Islam. Jika membuka kembali dokumen-dokumen Belanda sebelum dijajah Prancis, niscaya kita akan menemukan banyak sekali Jacobszoon, Janssen, Peterszoon, Willemsen, yang kurang lebih senada dengan ibnu Jacob, ibnu Jans, ibnu Peter, dan ibnu Willem.

Kejadian unik terkait nama belakang juga terjadi di Filipina saat dijajah oleh Spanyol. Teman saya, Ariel Lopez yang saat ini tengah merampungkan PhD-nya di jurusan Sejarah Leiden University bercerita begini. Hatta, pada tahun 1849 Gubernur Narciso Calveria y Zaldua pernah memaksa seluruh rakyat Filipina untuk mengadopsi nama belakang Spanyol demi kepentingan pencatatan pembayaran pajak. Simsalabim, maka semua orang diberi nama belakang secara alfabetis oleh sang gubernur. Bagaimana nama-nama belakang itu dipilih, itu bergantung pada petugas pajaknya. Di sebuah desa, karena di sana ada seorang pejabat pemerintah yang bernama Ramos, maka bisa saja seluruh orang dianugerahi nama belakang Ramos. Ada desa dengan seluruh penduduknya diberi nama belakang Javier, dan adapula desa dengan seluruh penduduknya diberi nama belakang Gonzales. Itulah mengapa sebabnya menurut Ariel, asal leluhur seseorang di Filipina bisa dirunut berdasarkan nama belakangnya dengan mengecek data dari era Spanyol.

Hari ini, kita tidak butuh dijajah untuk kemudian menciptakan nama belakang atau nama keluarga. Tuntutan administrasi yang muncul dari negara-negara Barat secara halus berhasil memaksa kita untuk mengadopsi tradisi mereka. Yah, saya pun salah satu di antaranya yang kemudian menciptakan nama belakang. Buana, yang saya embrace sebagai nama belakang, sejatinya hanyalah nama biasa dari kedua orang tua saya. Semua untuk kepentingan menjadi global semata, agar tak perlu ribet urus-urus dokumen ini dan itu. Tanpa disadari, ini pun adalah salah satu efek dari globalisasi atau internasionalisasi. Perubahan cara pandang dan leburnya kultur membuat sesuatu yang sebenarnya asing menjadi tak asing lagi. Benar atau salah, positif atau negatif, ya itu tergantung dari sudut pandang mana kita ingin melihatnya.

Salam dari Leiden yang mendingin,
1 November 2014
19:57

No comments: