Sudah beberapa hari ini ada yang berbeda di Fakultas Hukum UGM.
Jika teman-teman (yang duduk di semester tua atas alias tahun-tahun terakhir) sudah jarang terlihat lagi di kampus, tidak demikian halnya dengan saya dan rekan Chandrawulan Hardita. Kami masih sering menampakkan batang hidung untuk mampir di perpustakaan atau sekedar berdialog kecil-kecilan tentang musik, infotainment, buku, atau apapun yang kebetulan menyelinap di kepala.
Hari senin lalu, saya sedang duduk-duduk di bangku Mahkamah bersama Chandra ketika Arif Foranto (junior kami, angkatan 2010) yang baru saja pulang dari Hong Kong untuk mengikuti perlombaan peradilan semu internasional mewujudkan dirinya. Sambil menunggu kelas, mereka berdua menemani saya yang sedang rehat dari kerjaan part-time di Kantor Urusan Internasional UGM dengan bercerita ngalor-ngidul tentang apa saja. Saat itulah saya tiba-tiba kepikiran untuk sharing terkait masalah budaya kepada kedua kolega saya ini. Ada begitu banyak hal yang saya dengar, saya baca, dan saya lihat; sayang sekali jika hal-hal berupa fakta menarik mengenai Nusantara itu hanya mengendap di dalam kepala saya tanpa dapat saya bagi dengan teman-teman lainnya.
So, kisah pun dimulai dengan cerita saya kepada Chandra dan Arif tentang Suku Toraja di Sulawesi Selatan. Kebudayaan suku tua (Proto-Melayu) yang unik ini dapat kita telusuri dari Tongkonan (rumah adat Toraja yang atapnya berbentuk seperti perahu), passuraq alias ukiran-ukiran di dinding Tongkonan yang ternyata merupakan tulisan ala hieroglif khas nusantara, serta tradisi "membangunkan mayat" yang mengundang decak-kagum Arif. Nah, dari cerita-cerita tersebut, Arif sempat kepikiran untuk membuat semacam film petualangan fantasi yang mengambil adegan-adegan dari tradisi Suku Toraja yang mistis itu. Pembicaraan jadi semakin asyik dan mengalir, apalagi saat kami membahas keterkaitan budaya yang ada di Nusantara antara satu dengan yang lainnya.
Sayangnya pembicaraan hari itu berakhir karena Arif dan Chandra harus masuk ke kelas jam 11.00. Secara tidak tertulis kami bertiga sepakat untuk berkumpul lagi di bangku Mahkamah di dekat kantin itu esok hari pukul 10.00 untuk melanjutkan diskusi soal budaya. Dengan penuh semangat, saya menyebut diskusi kecil kami bertiga itu dengan nama "Kelas Serbaserbi Nusantara."
Esok harinya, selasa, jam 10.00 pagi Arif dan Chandra sudah duduk manis di bangku Mahkamah, bahkan sebelum saya datang. Kali ini saya membawa "hadiah" untuk saudari Chandra yang sedang getol-getolnya belajar aksara Lontaraq: buku bertajuk "Worong Mporong, Lipu KupotanraE Arajang Bone". Buku ini sebenarnya adalah pinjaman dari kakanda Fery Afrisal yang sudah mengendap dua tahun di tangan saya hehe. Buku tersebut berisi banyak sekali pappasang (nasihat) dan pau-pau (cerita) dari Tanah Bone. Buku tersebut cocok untuk Chandra yang baru mengenal huruf-huruf Lontaraq, karena di setiap halaman ada tulisan lontaraq beserta Bahasa Bugisnya (dan juga arti dalam Bahasa Indonesianya).
Chandra yang sebenarnya sedang fokus belajar Bahasa Korea dan huruf-huruf Hanggeul berhasil saya buat terkagum-kagum oleh La Galigo. Setelah mendengar riwayat kondisi epos terpanjang di dunia ini sekarang, Ia jadi "gatal" ingin menekuni Lontaraq dengan harapan suatu saat nanti bisa membantu proses penerjemahan naskah La Galigo di Leiden. Arif pun demikian. Diskusi hari kedua mengenai "Sosok-Sosok Misterius" di Nusantara mulai dari Kanjeng Ratu Kidul, Supriyadi, dan bahkan para Tomanurung membuatnya yang tergila-gila dengan game dan film-film Barat merasa bahwa Indonesian culture is awesome! Kemarin si Arif bahkan nyeletuk kalau La Galigo is the Indonesian Lord of The Rings. Selain sosok-sosok misterius yang ada di Nusantara, hari kedua ini kami juga saling berdiskusi mengenai makhluk-makhluk gaib yang hidup dalam imajinasi masyarakat Barat. Percaya nggak teman-teman kalau sebenarnya imajinasi mereka tentang burung api phoenix, manusia kate alias hobbit, kuda bertanduk satu unicorn, serta naga sebenarnya berasal dari bayangan mereka akan fauna-fauna khas Nusantara? Yep, informasi mengenai hewan gaib yang hidup di Timur, di sekitar Kepulauan Rempah-Rempah yang samar-samar mereka dapat informasinya dari para pedagang Cina inilah yang menurut Blair bersaudara di dalam buku "The Ring of Fire" memperkaya imajinasi bangsa Barat!
Hari rabu, seperti biasa kami berkumpul di bangku Mahkamah jam 10.00 pagi. Kali ini kami kedatangan "siswi" baru yaitu Nadia Tedianto, junior 2012 yang juga merupakan teman satu kosan Chandra. Ternyata semalam Chandra berhasil membuat Nadia penasaran dengan diskusi kami tentang betapa menakjubkannya Nusantara. Di sela-sela kuliah ia rela meluangkan waktu untuk ikutan kelas Serbaserbi Nusantara. Tidak hanya Nadia, kami juga kedatangan "siswa" baru lainnya yaitu Jacko. Jacko yang sepemahaman saya begitu cintanya sama budaya Jepang ternyata bisa juga kami buat tertarik dengan budaya Nusantara. Supaakawaii!
Tema diskusi di hari ketiga adalah "Aksara Nusantara". Saya share sedikit kepada mereka materi-materi yang pernah dibawakan oleh teteh Sinta Ridwan di Heritage Camp kemarin. Pengalaman teh Sinta keliling Nusantara untuk ngumpulin data mengenai naskah kuno, pengalamannya berhadapan dengan pustaha Batak berisi racun, hingga gempa bumi yang mendadak melanda Jakarta setelah pembacaan sebuah naskah kuno berhasil mengundang decak kagum peserta Kelas Serbaserbi Nusantara. Pengetahuan dari ibunda Nurhayati Rahman mengenai "kekerabatan" aksara-aksara tradisional di Indonesia pun saya paparkan secara singkat kepada teman-teman. Bentuk aksara Sunda Kuno yang mirip dengan aksara Lontaraq (bahkan dari susunan abjadnya, 'ka-ga-nga') sekali lagi membuat teman-teman tercengang. Dari 750 lebih suku bangsa di Indonesia hanya 12 saja yang memiliki aksara sebagai alat rekam sejarah sekaligus transfer ilmu. Kekayaan budaya seperti ini seharusnya menjadi kebanggaan dan dilestarikan, eh malah oleh pemerintah, pendidikan Bahasa Daerah justru akan dihilangkan! Nyebelin nggak tuh?
Hari ini, hari keempat Kelas Serbaserbi Nusantara. Jam 10.00 di bangku Mahkamah saya dan Arif menunggu Chandra. Tapi ternyata Ia datang terlambat karena mesti meminta tanda tangan ke dosen pembimbing skripsi. Akhirnya kami pun mulai tanpa Chandra karena Nadia yang terburu-buru hendak masuk kelas pun juga sudah datang. Tema hari ini adalah "Arsitektur Nusantara". Kebetulan saya baru saja membeli buku berjudul "The Living House An Anthropology Study of Architecture in Southeast Asia", sebuah buku karangan Roxana Waterson yang berisi gambar-gambar menakjubkan serta informasi bermanfaat tentang keragaman tradisi arsitektur lokal di Indonesia. Waduh, kok bisa ya di abad 20 pun masih saja sarjana Barat yang kepikiran mengumpulkan data dan membuat penemuan menarik mengenai budaya Nusantara?
Hari ini kami membahas fakta-fakta menakjubkan tentang betapa majunya pemikiran nenek moyang kita dulu sehingga membuat rumah yang eco-friendly dari kayu. Bentuk rumah adat suku-suku di Indonesia kebanyakan berupa rumah panggung, inipun karena kejeniusan nenek moyang kita dulu dalam membaca alam sekaligus memahami pemanfaatan ruang. Kami menemukan banyak hal menarik, seperti: bahwa dulu sebelum berbentuk joglo rumah adat di Pulau Jawa pun juga berbentuk seperti rumah panggung berdasarkan sebuah relief di Candi Borobudur; bahwa dulunya simbol "tanduk kerbau" memiliki makna penting pada rumah-rumah tradisional bangsa Austronesia bahkan hingga ke Thailand dan Kamboja; serta bagaimana ragam hias sulur tanaman mendominasi ornamen-ornamen rumah-rumah kayu tersebut. Hari ini begitu menyenangkan karena teman-teman dari Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Mahkamah pun ikutan nimbrung di Kelas Eksotisme Nusantara. Di akhir kelas, kami sempat membahas singkat tentang danau purba di sekeliling Borobudur berdasarkan temuan terbaru para ahli serta pseudo-pelayaran Marcopolo ke Sumatera.
Saya bangga sekali dengan teman-teman saya ini. Meskipun kami semua berasal dari latar belakang etnis yang berbeda-beda tetapi kami sama-sama merasa terikat sebagai generasi pelestari budaya bangsa. Menjamurnya trend mempelajari budaya serta bahasa asing tidak selantasnya kemudian membuat kami melupakan khazanah peradaban nenek moyang sendiri, bukan? Justru dengan menjadi anak muda yang berwawasan internasional namun memiliki akar budaya yang kuat, kita mampu menghadapi kejamnya pertarungan di ajang globalisasi.
Siapa bilang Indonesia nggak keren? Yuk ikutan kelas Serbaserbi Nusantara kami dan buktikan sendiri ;)
Chandra says: "Dad aku gak tau lagi deh kayaknya bakal jadi pemerhati budaya bgt. Krn after I heard lots bout it makin keranjingan!"Arif says: "Can't hardly wait for another awesome tales!"
28 Maret 2013
Yogyakarta
2 comments:
Wah, menarik banget! Kapan-kapan ikuan jelajah heritage yang diadain Indonesian Heritage Inventory (IHI) yuk! http://indonesianheritagetrail.wordpress.com/
Post a Comment