Monday, May 2, 2011

Perlindungan Privasi v. Baggage Inspection

Pasca 11 September 2001, arah kebijakan keamanan dan pertahanan dalam negri Amerika Serikat mengalami perubahan yang amat drastis. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan yang ketat di bidang pengangkutan barang dan transportasi orang dengan alasan perlindungan terhadap serangan teroris. Hal ini berimbas kepada masuk-keluarnya barang maupun mobilisasi masyarakat dari maupun ke Amerika Serikat.

Posisi Amerika Serikat sebagai sentra perniagaan dunia, trendsetter musik dan fashion, serta pusat politik global membuat pihak jasa transportasi dan pengangkutan lokal mengalami dampak atas pemberlakuan kebijakan pertahanan tersebut. Paranoia terhadap terorisme membuat pemerintah Amerika Serikat memberikan perhatian extra di bidang transportasi, garda terdepan yang menjadi celah masuknya kekuatan asing.

Awalnya, Amerika mengadopsi sistem keamanan airport milik Israel yang dibentuk segera setelah peristiwa peledakan di bandara Ben Gurion pada tahun 1990. Bandara Gurion pasca serangan tersebut memang menjadi terkenal sebagai bandara paling aman di dunia. Seiring dengan berjalannya waktu, Amerika mengembangkan sendiri teknologi serta bentuk-bentuk pertahanan khusus untuk kasus-kasus yang menjadi precedence mereka dalam kurun belakangan ini. Bentuknya tidak hanya berupa usaha penanggulangan, namun ada juga yang sifatnya "political-preventive action". Di bidang imigrasi sebagai contoh, kesempatan untuk mendapatkan visa Amerika Serikat menjadi semakin sulit jika track record seseorang disinyalir berhubungan dengan sebuah gerakan kegamaan radikal, berperawakan Timur Tengah, atau bernama Islami. Adapula metode pengawasan yang dilaksanakan dengan berdasar tanda-tanda fisik maupun psikis dari pihak-pihak yang diduga teroris atau membawa benda mencurigakan.[1]


Kebijakan yang banyak menuai kontroversi serta tudingan diskriminasif ini pun sebenarnya telah direview oleh pemerintah Amerika Serikat. Akan tetapi, menengok asas perlindungan terhadap kedaulatan negara, serta asas nasional pasif, ketentuan tersebut tidak diubah. Bahkan pada kenyataannya justru terus dikembangkan dengan beberapa penyesuaian. Pada tahun 2004 (beberapa bulan setelah terjadinya ledakan bom di sebuah kereta api umum di Madrid sebagai aksi terorisme) pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk memberlakukan sistem PSI (Passenger Security Inspection) yang lazim pada airport-airport di stasiun kereta api bawah tanah Boston.[2] Pemeriksaan barang bawaan secara acak maupun pengecekan ID penumpang yang dianggap mencurigakan menjadi hal yang lumrah dengan diputuskannya peraturan tersebut.

Isu terorisme yang hangat di media Barat telah menciptakan epidemi bagi sistem pertahanan negri Paman Sam. Jika pemeriksaan barang dianggap sebagai usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, maka isu lain seperti perlindungan terhadap privasi masyarakat sipil maupun masyarakat internasional yang berkecimpung di Amerika Serikat pun tidak kalah hebatnya mencuat di permukaan. Semenjak diberlakukannya baggage inspectionatas setiap barang yang masuk ke dalam kategori checked baggage, penyedia jasa pengangkutan udara mengalami dampak negatif atas pelaksanaan kewenangan tanpa pertanggung jawaban yang jelas.

Lembaga TSA yang diberi kewenangan oleh Aviation and Transportation Security Act2001 untuk melaksanakan baggage inspection ternyata menyimpangi ketentuan yang ada dalam peraturan hukum pengangkutan udara internasional maupun lokal. Jika berdasarkan Protokol Guatemala dan Konvensi Warsawa pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan, kehilangan, maupun keterlambatan bagasi adalah air carrier, maka kekuasaan TSA atas barang yang belum beralih ke pemilik haknya jelas-jelas menyimpang. Dasar hukumnya menjadi absurd, karena TSA sudah secara eksplisit menyatakan tidak bertanggung jawab atas kerusakan maupun kehilangan barang dalam bagasi. Kesalahan akan dilimpahkan kepada perusahaan air carrier.

Protokol Guatemala Art. 17 ayat 2 menjelaskan; the carrier is liable for damage sustained in case of destruction or loss of, or of damage to, baggage upon condition only that the event which caused the destruction, loss, or damage took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking during any period within which the baggage was in charge of the baggage. Jika berpatokan pada ketentuan tersebut maka seharusnya penyedia jasa pengangkutan udara tidak dapat dijatuhi tanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan yang terjadi selama proses baggage inspection. Pihak pengangkut hanya dapat dituntut atas ganti rugi jika kejadian yang menyebabkan kerugian tersebut terjadi selama angkutan udara.



Pada tanggal 18 Juni 2009, American Civil Liberties Union melaporkan kasus mengenai TSA yang dinilai telah melanggar hak-hak sipil melalui unreasonable searches and body screening terhadap seorang pria dan barang bawaannya. Kasus yang kemudian dikenal dengan nama Bierfeldt v. Napolitano ini menjadi perbincangan yang hangat karena mempertanyakan tindakan TSA serta kaitannya dengan perusahaan pengangkut udara. Hukum di Amerika Serikat secara jelas memastikan setiap kasus kehilangan atau rusaknya checked baggage sebagai tanggung jawab pengangkut udara, namun pada kasus ini yang menjadi perdebatan adalah TSA yang melakukan pemeriksaan, bukan perusahaan penerbangan. Lantas, dapatkah pemilik barang menuntut pertanggung jawaban dari pihak penyedia jasa pengangkutan udara?


Situs website resmi TSA secara halus menolak tanggung jawab atas kehilangan maupun kerusakan barang yang diakibatkan oleh pemeriksaan mereka. Tanggung jawab dilimpahkan kepada perusahaan penyedia pengangkutan udara secara sepihak; “for lost or missing baggage, please contact your airline. Most airlines recommend reporting missing baggage immediately upon arrival. TSA has sixteen airports that utilize private screening services and does not handle claims for incidents that occur at these locations. Claims pertaining to these airports must be filed directly with the company providing screener services at the applicable airport...”.“ If you have a lost or damaged item AND you believe that TSA was responsible, you should file a claim with the TSA Claims Management Branch.”

Kebijakan baggage inspection yang terlahir sebagai lex specialis terhadap ketentuan umum di ruang lingkup hukum pengangkutan udara menjaminnya untuk diberlakukan secara legal. Konsekuensi dari pemberlakuan ini ialah ambigunya peran serta tanggung jawab yang dipegang oleh air carrier. Mengingat pengaturan dalam Protokol Guatemala menganut prinsip Absolut Liability atas bagasi, maka kedudukan air carrier sebagai satu-satunya pihak yang harusnya bertanggung jawab atas segala akibat dari pemeriksaan TSA menjadi amat tidak menguntungkan.

Kasus Berfieldt v. Napolitano di tahun 2009 membawa kesadaran bagi warga Amerika Serikat serta dunia atas perlunya ketentuan mengenai pertanggung jawaban pengangkutan udara yang dapat menjamin perlindungan atas orang maupun barang sesuai perkembangan zaman. Sampai kapan orang-orang yang masuk atau keluar Amerika Serikat dapat bertahan di tengah kerumitan sistem yang melanggar privasi, tidak memberikan kenyamanan secara hukum, serta menyita waktu ini?

*Terilhami oleh pengalaman saya dua kali menerima "notice of baggage inspection" saat masuk ke Amerika Serikat dari pihak TSA. Surat tersebut menyatakan bahwa koper saya telah digeledah tanpa izin demi keperluan inspeksi.


[2] John N. Balog, 2007. Public Transportation Security, United States: Transit Cooperative Research. Chapter 2, Page 15

No comments: