Friday, January 24, 2014

Apakah Soekarno Pernah Membaca Teks Sumpah Palapa?

Pada film Soekarno garapan Hanung Bramantyo yang dirilis Desember 2013 lalu, ada sebuah adegan yang menarik perhatian saya. Dikisahkan, Sukarno yang tengah hidup dalam pengasingan terakhirnya di Bengkulu mengisi hari-hari sebagai seorang guru di sebuah Sekolah Rakyat. Di sanalah ia bertemu dengan siswi Fatmawati, seorang gadis remaja yang kelak akan menjadi istri keduanya. Sukarno, dengan semangatnya yang berapi-api, menularkan ambisi kepada pemuda-pemuda Melayu muda di kelasnya untuk optimis dalam pembentukan sebuah negara bernama Indonesia yang merdeka dari jajahan Belanda. Hal ini mengundang tanya dari salah seorang gadis kritis yang duduk di bangku bahagian depan: bagaimana mungkin Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak ini dapat berdiri menjadi SATU buah negara? Dengan senyum flamboyannya Sukarno menjawab: negara yang berdaulat atas pulau-pulau di Nusantara bukanlah hal yang baru, karena dulu kerajaan Majapahit telah melakukan hal yang sama. Mahapatih Gadjah Mada dengan Sumpah Palapa-nya bertekad untuk menyatukan seluruh Nusantara ini ke dalam satu pemerintahan.

Sampai di sini, mungkin hal itu terdengar familiar di telinga kita, sesuai dengan doktrin yang diajarkan di kelas Sejarah atau PPKN saat kita masih duduk di bangku SD. Majapahit dijadikan sebagai negara maritim kedua Nusantara (setelah Sriwijaya) sekaligus kerajaan nasional pertama karena mencangkup beragam pulau di luar Jawa. Sumpah Palapa lah yang kemudian dijadikan sebagai dalil persatuan Nusantara. Gadjah Mada juga jadi ikon pemersatu bangsa, itulah sebabnya universitas nasional pertama di Indonesia (yang dengan bangganya saya katakan, adalah kampus saya sendiri) diberi nama Universitas Gadjah Mada. Sekarang pertanyaannya, dari mana kah Sukarno mengetahui isi Sumpah Palapa?

Patung Bung Karno, Blitar 2009
Negarakertagama merupakan sebuah kitab karangan Mpu Prapanca –seorang mantan pejabat agama Buddha di kraton Majapahit yang dikeluarkan dari istana karena merasa difitnah oleh salah seorang bangsawan tinggi– yang berdasarkan kolofonnya ditulis pada tahun 1365 M atau 1287 Saka. Naskah ini berjenis kakawin, termasuk salah satu koleksi naskah kuno terlangka dan terunik karena isinya tidak berkisah mengenai pewayangan atau ajaran-ajaran agama (sebagaimana lazimnya isi naskah-naskah kuno Jawa dari era Majapahit lainnya) melainkan sebuah reportase dari sudut pandang orang pertama. Naskah ini berisi ulasan perjalanan Prabu Hayam Wuruk keliling daerah kekuasaannya di Jawa Timur serta deskripsi mengenai kondisi ibukota Majapahit. Sejak kemunduran Majapahit di awal abad ke-15, naskah ini baru muncul ke permukaan pada tahun 1894. Itupun tidak ditemukan di Jawa, melainkan di perpustakaan Puri Cakranegara di Lombok. Alkisah, saat tentara KNIL merangsek masuk dan membakar istana sang raja Lombok, seorang filolog Belanda bernama J.L.A. Brandes menyelamatkan beberapa naskah kuno termasuk di antaranya ialah Negarakertagama. Nah, jangan pula dibayangkan bahwa naskah yang diselamatkan oleh Pak Brandes merupakan naskah lontar kuno yang benar-benar berasal dari era Majapahit. Naskah Negarakertagama di Puri Cakranegara merupakan salinan entah dari naskah Negarakertagama zaman kapan. Oleh Pak Brandes, naskah ini diterbitkan pertama kalinya ke hadapan publik dalam bentuk edisi sementara pada tahun 1902. Lontar asli Negarakertagama sendiri disimpan di Leiden selama berpuluh-puluh tahun, hingga akhirnya dikembalikan ke Indonesia saat kunjungan Ratu Juliana pada tahun 1973. Pada tahun 2008 UNESCO mengakui Negarakertagama sebagai Memory of The World.


Balik ke Sumpah Palapa ya. Sayangnya, teks Sumpah Palapa tidak pernah diukir di atas batu prasasti. Sumpah Palapa tidak ditemukan di relief candi-candi. Sumpah Palapa juga ternyata TIDAK termuat di dalam naskah Negarakertagama yang sudah saya uraikan panjang lebar di atas (ups!). Isi otentik Sumpah Palapa ternyata hanya dapat ditemukan di dalam Kitab Pararaton.

Sukarno, lahir di tahun yang sama dengan publikasi pertama naskah Negarakertagama. Sampai abad ke-21, Negarakertagama masih menjadi kakawin Jawa yang paling banyak dikaji, tidak hanya oleh filolog, namun juga oleh para sastrawan, sejarawan dan arkeolog. Meski demikian, saya sangsi jika Sukarno pernah benar-benar membaca terjemahan Negarakertagama. Apalagi Sumpah Palapa yang termaktub di dalam Pararaton. Apa sebabnya? Pararaton pertama kali di-publish oleh Pak Brandes pada tahun 1897. Edisi keduanya yang disempurnakan muncul di tahun 1920. Nah, edisi inilah yang kemudian beredar luas. Sukarno lulus HBS (kira-kira setingkat SMA) pada bulan Juli 1921, dan langsung mendaftar ke Technise Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Ia lulus pada tahun 1926. Sepanjang tahun tersebut tidak ada tulisan atau indikasi Sukarno pernah membaca tentang Pararaton maupun membahas Gadjah Mada. Ia memang aktif di organisasi yang sifatnya kejawen seperti Tri Koro Dharmo (bagian dari Budi Utomo), akan tetapi saya sangsi di sana ia mendengarkan pengajian Pararaton. Ibunya memang orang Bali dan tetap beragama Hindu, akan tetapi saya juga sangsi jika Ida Ayu Nyoman Rai mengetahui isi Sumpah Palapa. Ingat, Sumpah Palapa hanya ada di dalam Pararaton yang baru terbit belakangan. Sumpah Palapa dan bahkan nama-nama asli raja-ratu Majapahit lenyap dari ingatan masyarakat Jawa ketika memasuki era Demak dan Mataram. Babad-babad dan serat-serat yang tumbuh subur pada era Mataraman hanya mengingat Gadjah Mada sebagai seorang patih nan gagah perkasa lagi sakti mandraguna, ayah tiri dari Adaningkung atau Angkawijaya, raja Majapahit setelah Brawijaya II. Di Babad Tanah Jawi, Gadjah Mada diingat sebagai seorang patih nan setia, ia berlayar hingga ke negeri Cempa untuk melamar seorang putri atas permintaan Prabu Brawijaya. Ia lalu kembali ke Majapahit sambil membawa sang putri disertai oleh gong bernama Kyai Sekar Delima dan tandu bernama Kyai Jebat Bedri.


Bersama sepupu di depan Makam Bung Karno,
Blitar 2009
Ada satu sosok sahabat perjuangan Sukarno yang cocok untuk melengkapi figur “orang yang pernah membaca Pararaton” dan memberitahukan konsep Sumpah Palapa kepada Sukarno. Sosok ini juga adalah orang yang membisikkan kata “Pancasila” (yang diadopsi dari kitab Tipitaka Buddha) ke telinga Sukarno saat rapat BPUPKI sebagai nama dari 5 konsep dasar negara. Namanya Mohammad Yamin. Mohammad Yamin pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), serta Ketua Dewan Perancang Nasional (1962). Ia dilahirkan di Sumatera Barat, bersekolah di Palembang, Bogor, Jogja dan Jakarta, serta belajar Bahasa Yunani, Bahasa Latin, Bahasa Koine dan sejarah purbakala. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmojo, seorang gadis berdarah biru keturunan bangsawan Demak. Mohammad Yamin pernah menjadi pemimpin Jong Sumatranen Bond (1926-1928). Ia juga merupakan tokoh yang berandil besar dalam menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Selain sebagai seorang aktivis, sastrawan dan sejarawan, Mohammad Yamin pun memiliki gelar di bidang hukum. Ia adalah orang yang mendorong agar poin-poin terkait Hak Azazi Manusia (HAM) dimasukkan ke dalam konstitusi Indonesia. Wah, dalam banyak hal saya dan Pak Yamin punya kemiripan ya, sama-sama pelajar hukum yang suka budaya dan sastra hehehe.

Mengapa harus Mohammad Yamin? Nah, ternyata saat belajar sastra-sastra kuno, Mohammad Yamin dimentori oleh beberapa orang filolog Belanda, di antaranya Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer. Prof. H. Kraemer ini selain ahli Bahasa Latin juga merupakan salah seorang anggota dari tim penerjemah Kitab Pararaton edisi kedua bersama dengan Pak N.J. Krom, Pak J.C. Jonker dan Pak Poerbatjaraka. Kemungkinan besar dari sang guru inilah Mohammad Yamin menyerap banyak khazanah tentang sejarah Majapahit. Di kemudian hari, tepatnya pada tahun 1945 Mohammad Yamin menerbitkan sebuah buku berjudul “Gadjah Mada” yang merupakan buku sejarah pertama di Indonesia yang mencitrakan sang Mahapatih sebagai pahlawan pemersatu. Sukarno mulai menggempitakan kejayaan Majapahit yang konon meliputi seluruh Nusantara pasca Indonesia merdeka. Menurut saya pribadi ini termasuk salah satu dari “politik mitos”-nya, yang berusaha merangkul ratusan suku di Indonesia ke dalam latar sejarah yang sama. Hari ini, sudah ada banyak temuan yang membantah anggapan tersebut.

Lalu, mengapa kemudian apakah Sukarno pernah membaca teks Sumpah Palapa ini dibahas? Well, jika ingin jujur maka kita harus mengakui bahwa makna kalimat yang diterakan di dalam sumpah yang konon diucapkan oleh Mahapatih Gadjah Mada itu bernada penaklukkan terhadap hampir seluruh wilayah di Nusantara. Majapahit, yang pada periode-periode Raden Wijaya dan Jayanegara dipenuhi oleh konflik internal berupa pengkhianatan dan pemberontakan, memasuki masa-masa damai di era Tribhuwana Tunggadewi. Hal inilah yang kemudian menurut Slamet Muljana memotivasi Gadjah Mada untuk melebarkan wilayah Majapahit yang telah settle ke berbagai penjuru Nusantara.

Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, TaƱjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".Terjemahannya,Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Malaysia dan Singapura pernah menolak mentah-mentah ketika dikonfrontasi oleh Sukarno dengan klaim Sumpah Palapa ini. Konon, Majapahit telah berhasil menguasai Pahang (Malaysia) dan juga Tumasik (Singapura), sehingga ketika kedua negara tersebut dianugerahi kemerdekaan oleh Inggris seharusnya masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia pula. Malaysia juga punya dalil tersendiri untuk menangkis klaim ini: dalam Hikayat Hang Tuah dikisahkan bagaimana utusan raja Malaka yang bernama Hang Tuah memporak-porandakan ibukota Majapahit yang mengancam akan menaklukkan kerajaannya.

Ada yang miss dengan pembacaan Sumpah Palapa ini sehingga dikemudian hari membuatnya menjadi ikon sakti persatuan Nusantara di masa lalu. Padahal, berdasarkan data-data sejarah ter-update hari ini sendiri, luas Majapahit tidaklah sebesar yang kita bayangkan, hanya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan Bali. Prof. Dr. C. C. Berg menulis di dalam “De geschiedenis van pril Majapahit” dan “De Sadeng-Oorlog en de mythe van goot Majapahit”:

Majapahit tidak pernah memiliki wilayah yang luasnya kurang lebih sama dengan luas wilayah Indonesia sekarang. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa tersebut hanya merupakan suatu cita-cita saja dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit
.
Yup, jadi inti dari Sumpah Palapa itu baru sebuah cita-cita atau angan-angan, bukan kenangan beneran bahwa Majapahit pernah menaklukkan seluruh Nusantara. Di dalam buku “Menuju Puncak Kejayaan Majapahit” oleh Slamet Muljana, penaklukkan yang dilakukan oleh Mahapatih Gadjah Mada sendiri hanya tercatat dua kali dilakukan: Padompo dan Pasunda alias penaklukkan Dompo serta penaklukkan Sunda. Yang terakhir itu pun amat tragis, berakhir dengan peristiwa Bubat. Bali juga benar pernah ditaklukkan, namun kemudian tidak berada di bawah kontrol langsung pemerintah Majapahit yang berpusat di Jawa Timur. Sumatera? Nope, bahkan Negarakertagama tidak menyebut-nyebut penaklukkan Sumatera sama sekali. Masih menurut Slamet Muljana, penguasaan Majapahit terhadap Nusantara tidak terletak pada aspek militernya, melainkan pada aspek perdagangan. Saat itu bangsa Jawa masih merupakan pelaut ulung yang punya jung-jung atau kapal-kapal raksasa untuk berlayar mengitari seluruh pelosok kepulauan timur. Majapahit juga tampil sebagai primadona di Nusantara sebab mutu barang-barangnya yang amat high class, menjadikannya kiblat seni saat itu. Ini diperkuat oleh pernyataan Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N Miksic yang menyatakan:
Di wilayah Melayu ditemukan artefak berupa kesenian bermotif Jawa. Bentuknya adalah arca Kala Makara dan Dewi Prajnaparamita yang memperlihatkan ciri kesenian khas Jawa Majapahit. Selain itu, juga banyak ditemukan gerabah yang lebih berciri Trowulan. Ada kesinambungan yang terjadi antara hubungan Melayu dengan kerajaan Jawa (Majapahit)

Nah. Mari kita berpikir jernih. Majapahit dan juga ratusan kerajaan lainnya di Nusantara ini adalah bahagian dari sejarah Indonesia. Saya mencintai, mengagumi dan tak henti-hentinya terkesima dengan peradaban kerajaan Majapahit. Dan juga Sriwijaya, Aceh, Gowa, Banten, Banjar, Ternate, dan lain sebagainya. Menjadi Indonesia tidak berarti lantas hanya mencintai sejarah sukunya sendiri. Coba tengok Mohammad Yamin yang Minangkabau totok tapi segitu getolnya mengangkat nama Gadjah Mada di panggung nasional.

Kesimpulannya: sejarah, mungkin tidak semanis kenyataan. Akan tetapi hari ini kita harus berbangga hati dan berlapang dada. Kita adalah bagian dari sebuah bangsa yang untuk ukuran bangsa-bangsa lain di luar negeri lumayan gila: ribuan pulau serta ratusan suku dalam 1 pemerintahan! Yup, biarlah jargon “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjelaskan semuanya. Karena dengan atau tanpa Sumpah Palapa, Nusantara yang secara genetis, linguistik dan geografis ini berkerabat satu sama lain memang ditakdirkan untuk menjadi satu.




Salam dari kamar saya di Makassar,


24 Januari 2014

Monday, January 20, 2014

Delft dan Misteri Mutiara Laut Selatan

Selama 17 hari tinggal di negeri Belanda, saya banyak menjelajahi tempat-tempat yang menarik dan bertemu dengan orang-orang yang tak kalah pula menariknya. Meskipun menghabiskan lebih banyak waktu di kota Leiden, saya menyempatkan diri untuk berkeliling kota-kota lain yang punya ciri khasnya masing-masing seperti Den Haag, Amsterdam, Haarlem, Maastrich, Utrecht, Volendam, Hoorn, Middelburg, dan tentu saja Delft.


Delft? Pernah dengar nama ini sebelumnya? Nama Delft jelas kalah famous dibanding kota-kota besar di Belanda. Delft tidak se-metropolitan Amsterdam, se-modern Rotterdam, maupun se-rame Leiden. Impresi pertama saya ketika tiba di stasiun kereta kota Delft (yang waktu itu sedang direnovasi, sehingga lumayan ribet mencari pintu/tangga keluarnya) adalah: "Gini kali ya 'Klaten atau Pangkep'-nya Belanda". Akan tetapi, ada beberapa faktor yang membuat nama Delft seistimewa Volendam sebagai kotanya turis-turis asing di Belanda.
Jody dan Ucup, dua orang anggota
La Galigo Music Project yang jadi
"penghuni kota Delft"
Delft, sebelumnya pernah saya dengar sebagai tempat peristirahatan terakhir raja-raja Belanda zaman dahulu. Maksudnya, tempat dimana dikuburkannya mereka. Kota ini juga terkenal dengan industri keramik biru. Keramik biru inilah yang kemudian menjadi ikon suvenir Belanda, selain tentunya keju dan bunga tulip. Keramik Delft dengan warna birunya yang khas itu muncul dalam beragam bentuk: ada miniatur kincir angin, sepatu clog, dua anak kecil yang saling berciuman, hingga sapi. Saking terkenalnya keramik Delft ini, sampai-sampai kemanapun saya pergi di Belanda, toko suvenirnya pasti memajang tulisan "Delft Blue Ceramics". Otentisitas serta pamor Delft dalam hal ini memang sudah tidak diragukan. Ibarat kata, tidak afdhol datang ke Belanda sebelum membeli sebongkah keramik biru Delft sebagaimana halnya orang yang datang ke Yogyakarta tanpa membeli oleh-oleh bakpia. 

Bicara tentang Delft, selain keramik birunya saya jadi ingat dengan Azzam Santosa. Azzam adalah seorang putra Indonesia totok yang lahir dan besar di kota ini. Si Azzam sekarang bersekolah di Erasmus University Rotterdam, akan tetapi domisili keluarganya tetap di kota Delft. Saya amat salut kepada pemuda berusia 19 tahun ini karena meskipun jauh dari tanah air ia memiliki rasa nasionalisme yang tinggi serta terus update dengan perkembangan di tanah air. Tidak hanya itu, saat ini ia bahkan menduduki jabatan sebagai Sekretaris di PPI Belanda. Pemuda yang mengidolakan sosok Bung Hatta ini pun terus mengasah kemampuannya berbahasa Indonesia tanpa malu-malu. Mengagumkan! Sayang sekali sewaktu saya dan Ran berkunjung ke Delft untuk menengok Ucup, Jody dan Gendon, Azzam sedang berwisata bersama teman-temannya ke Swedia. 

Oke, lanjut ceritanya ya. Sambil berjalan-jalan di Centrum alias pusat kota Delft yang mirip dengan alun-alun di kota-kota besar di Pulau Jawa, saya bergumam, oh jadi dari kota kecil inilah Azzam tumbuh dan besar. Suasana kotanya yang tenang, arsitekturnya (saya amat menyukai ornamen-ornamen di Nieuwe Kerk dan Stadhuis alias Balaikota) yang tetap menjaga spirit medieval membuat kota klasik ini nyaman dijadikan hunian. Setidaknya, sahabat saya si Ucup sampai bercita-cita untuk tinggal di Delft dan membuka toko kecil di sini, hehehe. Oh ya, hampir di setiap kota yang saya kunjungi di Belanda, stasiun kereta api (Centraal) itu letaknya tidak terlalu jauh dari Centrum. Dan hampir bisa dipastikan di sebelah Centrum pasti ada Stadhuis dan Groete Markt alias pasar, dan juga gereja utama kota tersebut. Unik ya! Konon kota-kota di Indonesia dulunya juga sudah dirancang seperti demikian akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pembangunan yang tidak teratur membuat tata kota jadi amburadul.
Ran dan Louie, mejeng di sebelah Stadhuis. Di seberang kami tampak Nieuwe Kerk Delft
Anyway. Nah, begitu menginjakkan kaki di toko-toko suvenir yang berserakan di sekeliling Centrum, saya terkejut menyaksikan kartu pos-kartu pos yang dipajang oleh si empunya toko. Lukisan seorang gadis yang mengenakan "surban model Eropa" -dengan wajah menengadah ke arah orang yang melihatnya- menghiasi hampir seluruh kartu pos. Tidak hanya itu, wajah gadis itu pun dilukis pula di atas keramik dengan warna biru yang menjadikannya sebagai salah satu oleh-oleh favorite dari kota Delft.

Saya tercengang, menganga dalam kehampaan selama sekian detik. Lukisan sang gadis seketika membawa ingatan saya mundur kembali ke tahun 2010. Saat itu sedang liburan semester tiga dan saya pulang ke rumah orang tua di Makassar. Di rumah, sambil leyeh-leyeh malas dan berguling-guling manja, saya membuka laptop kakak dan menemukan sebuah film berjudul "Girl with Pearl Earrings". Film keluaran tahun 2003 ini mencatut Scarlet Johansson sebagai pemeran utama wanitanya. Berhubung saya suka dengan film-film yang berbau sejarah maupun kerajaan-kerajaan masa lalu, maka dengan senang hati saya pun menontonnya.

Okay, no-spoiler. Bagi yang belum nonton, monggo ditonton dulu ya hehehe. Kembali ke Delft. Ketika saya bertanya kepada ibu-ibu penjaga toko mengapa lukisan gadis yang berjudul "Girl with Pearl Earrings" (GPE) itu ada dimana-mana di kota ini, sang ibu dengan lugas menunjuk ke seberang jalan dari jendela tokonya.
"Itu rumah Jan Vermeer, di seberang jalan. Vermeer adalah pelukis terkenal asal kota Delft yang membuat lukisan GPE ini." 
Seketika itulah saya terkesiap. Wah gila, saya berada tepat di seberang jalan sebuah tempat yang menjadi latar sejarah dari sebuah film yang pernah saya tonton beberapa tahun yang lalu :D

Lukisan GPE yang diciptakan pada tahun 1665 ini menjadi terkenal selain karena teknik melukis Jan Vermeer yang luarbiasa juga dikarenakan oleh misteri yang tersimpan di dalamnya. Kira-kira mirip dengan misteri yang menyelubungi lukisan Monalisa karya Da Vinci lah. Sampai hari ini para pemerhati seni belum sepakat menentukan siapakah sosok gadis yang dilukis oleh Vermeer. Sebagian ada yang memprediksi sang gadis sebagai istri Vermeer, anak perempuan sulungnya, dan bahkan salah seorang pembantu mudanya (lihat http://www.essentialvermeer.com/catalogue/girl_with_a_pearl_earring.html). Ketika para sejarawan seni itu sibuk membahas sosok yang menjadi model lukisan hingga maksud dari ekspresi sang gadis yang kelihatannya ambigu itu, saya justru tertarik kepada anting-anting mutiara yang ia kenakan.
Het Meisje met Parel alias Girl with Pearl Earrings
Anting-anting mutiara di lukisan GPE merupakan salah satu mutiara terbesar yang pernah saya lihat. Mutiara ini berbentuk seperti tetesan air (berarti dalam proses pembuatannya menjadi sebuah anting-anting bentuk aslinya telah sedikit dipoles) dan berwarna putih keperak-perakan. Ketika banyak orang yang skeptis bahwa mutiara tersebut benar-benar nyata (mereka menganggap bahwa Vermeer berimajinasi dalam menggambarkan anting mutiara tersebut) saya justru optimis bahwa mutiara yang dijadikan model di dalam lukisan tersebut benar-benar nyata. Dan hampir 100% yakin mutiara tersebut adalah Mutiara Laut Selatan (Southern Sea Pearl) yang sejak zaman VOC hingga hari ini menjadi primadona dunia.

Jadi begini. Jan Vermeer melukis GPE di kala Belanda tengah memasuki zaman keemasannya. Perdagangan melaju pesat (terima kasih kepada Hindia Timur dan Hindia Barat), Belanda telah merdeka dari cengkraman Spanyol, semua orang bebas memeluk agama masing-masing serta mengeluarkan pendapat, dan kreatifitas para seniman pun berkembang bak tulip di musim semi. Di masa itu, selain bumbu-bumbu dapur, hampir setiap komoditas yang berasal dari Hindia Timur berharga mahal karena cost pelayaran yang mahal serta karena dianggap eksotis. Bahkan burung-burung yang berasal dari daerah tropis seperti nuri dan kakatua dikoleksi oleh kalangan atas hanya demi prestise "benda ini dari Hindia lho". Nah, mutiara tentu saja merupakan salah satu koleksi yang tidak mungkin luput dari mata siaga VOC.
Rumah Vermeer
(http://www.essentialvermeer.com/delft/delft_today/oude_langendijck.html)
Berdasarkan informasi dari Wikipearl, Mutiara Laut Selatan (MLS) tergolong jenis mutiara terbesar sekaligus terlangka di dunia! Mutiara ini berasal dari sejenis kerang bernama Pinctada maxima yang hanya dapat ditemukan di perairan Australia Utara hingga ke Laut Cina Selatan. Diameter mutiara ini berkisar antara 9 mm hingga 20 mm. Sekitar tahun 1500-an, di Indonesia, Australia, Myanmar dan Filipina mutiara ini banyak dibudidayakan. Berhubung hanya dapat ditemukan di area Laut Selatan, maka bangsa Eropa  mengetahui keberadaan mutiara jenis ini baru pada abad ke-16 dan ke-17, tepatnya saat bendera VOC juga sedang berkibar di samudera. Mata orang-orang Eropa ini membelalak kaget melihat ukuran MLS, dan sejak saat itu MLS pun memasuki daftar dagangan di pasar global. Permintaan dunia yang tinggi terhadap MLS menyebabkan nyaris punahnya kerang Pinctada maxima di abad ke-18 dan ke-19. Hari ini, MLS dapat ditemukan di perairan Bali, Lombok, Sumbawa dan Papua.

Wah, menarik sekali. Dari sebuah kota kecil bernama Delft, dari sebuah lukisan yang dihasilkan oleh putra terbaik Belanda, saya menemukan cerita tentang kekayaan tanah air Indonesia. Mulai saat ini, jika berkunjung ke Delft, mungkin ingatan saya tidak akan lagi mengasosiasikannya dengan keramik biru atau patung Hugo Groot yang terpajang penuh kebanggaan di Centrum. Secercah sejarah tentang betapa berharganya keanekaragaman hayati Indonesia yang patut dijaga oleh generasi mudanya hari ini yang mungkin akan terlintas tiap kali menatap lukisan GPE.

Salam,
Makassar, 20 Januari 2014

Monday, January 6, 2014

Suatu Hari di Prinsenstraat 90...

Pagi itu aku terbangun dengan perasaan kaget dan bingung.
Dimana ini?

Kepalaku masih terasa berat dan pusing, berdenyut-denyut seperti habis dihajar sesuatu. Badan pun rasanya terombang-ambing, bagai berdiri di atas gelombang air. Ah, sensasi jetlag.

Suara kentut nyaring bak bunyi piccolo yang tiba-tiba menyobek renungan pagi segera menyadarkan diriku. Juli! Dasar kampret, batinku sambil melotot ke seberang ruangan. Si tersangka yang tidur di dalam sleeping bag hitam punyaku itu (dia ternyata bangun lebih awal daripada kami semua. Ritual paginya adalah mencari-cari makanan apa yang tersisa di atas meja makan untuk disantap, sebelum menyikat gigi dan mandi pagi) tersenyum (senyumnya menyiratkan campuran antara perasaan bersalah dan puas karena telah mengentuti seisi ruangan) sambil berkata,”Maaf mas!”, lalu kembali bermain handphone Nokia Lumia berwarna kuning kesayangannya.

Ah, aku ingat dimana ini. Prinsenstraat No. 90. Kamar Honorine.

Aku mengedarkan mata ke sekeliling ruangan. Kak Daus selalu bangun paling pagi, turun ke dapur dan memulai siklus pembuatan sarapan untuk bocah-bocah pengungsi yang ia tampung. Disusul oleh Ulil, yang sehabis sholat subuh jam 08.00 pagi segera turun ke bawah untuk membantu kak Daus di dapur. Hari ini katanya dia mau masak sup ubi, kebetulan kami dapat banyak sekali singkong sisa pesta kak Narti kemarin malam. Faizt masih asyik bersembunyi di balik selimut, menanti dibangunkan oleh Mbak Ia (baca: Mandira) untuk sholat subuh, lalu turun ke dapur demi membuat sarapannya sendiri: Indomie goreng. Himawan? Mana Himawan? Oh rupanya ia masih asyik berbulan madu di Eindhoven. Menikmati kehangatan Belanda selatan dalam pelukan yang terkasih di antara sapi-sapi ternak penghasil keju dan susu kualitas dunia. Hmmm... ngapain aja ya dia semalam?
Jalan Prinsenstraat

Perempatan di ujung Prinsenstraat. Tepat di depan kediaman Dr. Firdaus.
Di kamar perempuan, Ran yang sudah bangun memutuskan untuk tidur-tiduran manja lagi di balik selimutnya. Ina masih pulas dibuai mimpi sementara mbak Puspa sibuk memandangi langit-langit kamar kak Daus untuk mencari mimpi. Kasihan, rekaman video klip Worong Mporongnya bersama Lucas hilang. Padahal ibu mbak Puspa sudah nitip untuk dibawakan anak bule yang lucu. Ah, tante #kodekeras. Aku? Aku memutuskan untuk bangun, menaikkan kembali kasur ke dipan Honorine yang kami buat patah berkeping-keping, merapikan bantal, memaksa Juli menyerahkan selimutnya untuk dilipat, lalu mandi.

Pagi itu menu makan kami meriah sekali, ada rendang kacang yang dibawa Mandira, rendang dari Juli (yang diklaim sebagai rendang yang lebih enak daripada rendang yang dimasak oleh orang Minang sendiri), telur-kornet, mie goreng serta kue ulang tahun kak Daus. Tuan rumah kami ini memang berulang tahun yang ke-36 beberapa hari lalu. Luarbiasa ya, sudah uzur ternyata (meskipun masih hobi menganggu bocah-bocah kecil seperti kami). Anak-anak ada janji untuk jalan-jalan bersama kak Dodo ke Amsterdam jam 10.00. Akan tetapi sekarang sudah jam sembilan lewat dan belum ada satupun yang mandi. Dasar kebiasaan. Kasihan kak Dodo tuh udah nelfonin Ulil dari tadi memastikan jangan sampai telat. Tapi yakinlah, kak Dodo yang punya hobi bilang “aku cakep yak” setiap habis berfoto ini pasti akan menunggu anak-anaknya dengan setia.

Hari ini aku dan Ran punya agenda sendiri. Kami mau ke Madurodam. Itu tuh, taman miniatur Belanda yang ada di Den Haag. Kebetulan kami dapat tiket potongan masing-masing 5 Euro untuk satu orang dari mbak Dhani Astuti, mahasiswi Institute of Social Science yang juga adalah seniorku di AFS Bina Antarbudaya Chapter Yogyakarta. Hihihi, jarang ketemu di Jogja malah ketemunya di Belanda sama mbak Dhani! Matahari yang malas-malasan mengeluarkan cahayanya di musim dingin yang beku ini mulai meninggi. Cuaca mending dan angin dingin menerpa tubuh kami yang berkulit tipis ala tropis. Tapi aku dan Ran tak gentar untuk berjalan menuju Leiden Centraal. Leiden Centraal, sejak pertama kali turun di sini hampir dua minggu yang lalu, telah membuatku jatuh cinta. Dekorasi pohon Natal serta lampu-lampu putihnya yang gemerlap membuatku merasa disambut oleh kota pelajar yang punya kanal-kanal indah ini.

Kami naik kereta menuju Den Haag Centraal. Kereta di jalur Spoor 3. Perjalananku dan Ran hari itu ditemani oleh si Comel, nama panggilan yang kulekatkan pada sebuah produk minuman coklat bermerek Chocomel. Rasanya si Comel ini beda dengan produk susu yang ada di Indonesia. Pokoknya benar-benar coklat deh (meskipun ternyata coklat-coklat di Eropa pun sebenarnya diimpor dari Indonesia juga). Sampai di Den Haag Centraal kami segera mengejar tram9 dengan tujuan Madurodam. Wah, ternyata jika dirunut-runut tram ini dapat mengantarkan kami ke kak Narti. Apartemennya ada di Leyweg, di ujung perjalanan tram 9.

Setelah menghabiskan setengah hari di Madurodam, aku dan Ran pun memutuskan untuk mengunjungi tim kami di Delft. Ada Ucup yang telah siap menunggu di stasiun Delft. Ternyata kota Delft memang tidak sebesar Den Haag atau Leiden. Stasiun Delft yang sedang direnovasi sempat membuat kami kebingungan untuk mencari pintu keluarnya. Sekitar pukul 04.00 PM kami bertemu Ucup dan langsung diajak ke Centrum. Selain Ucup, di Delft ada Gendon, Jody dan Fahmi. Fahmi saat ini tengah menikmati gigitan beku Stockholm di utara. Dasar, padahal udah tahu dirinya “tinggal tulang berbalut kulit” tapi Fahmi tetap menantang udara dingin Skandinavia untuk Euro Trip-nya kali ini. Si Gendon abis ngeborong coklat. Coklat buat oleh-olehnya aja nyampe 20 kg! Gile bener. Si Jody yang punya suara ngorok ala rocker 80-an yang paling sering jadi penunggu kamar. Ya, gimana ya, untuk jalan-jalan ke kota lain dia harus naik-turun tangga biru stasiun Delft yang setelah kami hitung berjumlah hampir 50 anak tangga! Sebelum hari semakin gelap, saya dan Ran memutuskan untuk pulang ke Leiden. Akan tapi kami ditahan dulu oleh Ucup untuk makan malam. Ternyata selain main gitar Ucup, juga juga menjadi tenaga ahli dalam bidang masak-memasak di Delft, mengingat anggota lainnya lebih jago dalam hal mencuci piring.

Dalam perjalanan pulang ke Leiden, kubuka instagram. Ya ampun... penuh dengan selfie-nya Mandira. Mulai dari yang senyum imut sampai ketawa gede banget. Dan setiap kali foto sama Faizt, pasti muka sang adek cemberut. Hihihi dasar kakak-adek ini! Jadi ingat kakak-adek lainnya di tim ini. Mbak Chandri dan Diva yang sedang asyik bersua dengan keluarga jauh mereka di Jerman. Setelah itu akan dilanjutkan dengan bertemu hostfamily Diva pas zaman AFS dulu di Belgia. Yah, semoga saja kakak-adek yang sedang di Jerman itu kembali dalam keadaan utuh, tidak saling memotong anggota tubuh satu sama lain hihi.

Sesampainya di rumah, sudah larut malam. Tadi aku dan Ran hampir ketinggalan kereta. Tapi itu cerita untuk kesempatan lain. Begitu memasuki kamar Honorine, kami langsung ditodong untuk bermain Werewolf oleh si Faizt. Ia menjadi misionaris untuk permainan ini di tim kami. Aku yang baru pertama kali main dikerjai habis-habisan. Berulang kali dibunuh oleh si Werewolf dan tidak diselamatkan oleh si Queen! Setelah mengucapkan tagline paling legendaris: “Desa ini dikutuk!” kami berhenti bermain. Perut terisi penuh dan jiwa tertawa-tawa riang. Sekarang saatnya untuk tidur, karena sudah jam 01.00 AM.

Pagi itu aku terbangun dengan perasaan kaget dan bingung.
Dimana ini?

Kepalaku masih terasa berat dan pusing, berdenyut-denyut seperti habis dihajar sesuatu. Badan pun rasanya terombang-ambing, bagai berdiri di atas gelombang air. Ah, sensasi jetlag.

Tidak ada suara kentut Juli yang menyobek renungan pagiku. Tidak ada dentang suara sama sekali dari dapur. Tidak ada bunyi ngorok yang saling sahut-menyahut dari sebelahku. Aku terbangun dan sadar, ini sudah bukan di Prinsenstraat 90 lagi. Aku telah kembali, ke kasur lamaku di Perumahan Dosen UGM, Bulaksumur E7, di Yogyakarta, Indonesia.

Aku terkulai lemas. Kali ini bukan oleh jetlag. Atau karena masuk angin yang disebabkan oleh gigitan musim dingin. Dadaku bergetar dan mataku memerah. Air mata yang hangat menetes jatuh perlahan-lahan. Aku kangen. Kangen dengan suasana di Belanda. Suasana di Belanda yang penuh kebersamaan. Kebersamaan yang mewarnai hari-hari kami selama 17 hari berada di sana.

Handphone-ku berdering. Siapa itu? Apakah dari kak Daus yang menanyakan “Dek, lagi dimana ki? Pulang mi, sudah malam!”, atau dari kak Dodo yang menanyakan, “Ahlul, masih ada tiket ke Madurodam-mu dek? Anak-anak mau ke sana besok,” atau dari Azzam yang menanyakan “Mas Ahlul, besok pagi jadi ke Amsterdam?”, atau bisa jadi dari salah satu anak Delft yang tiba di Leiden Centraal dan meminta untuk dijemput di sana.

Bukan, itu telpon dari mamaku.
Mama  : Assalamu’alaikum, halo lagi dimana?
Aku     : Walaikum salam. Di kosan mah.
Mama  : Lho, habis menangis ya?
Aku     : (Berdehem) nggak.
Mama  : Itu suaranya bergetar gitu. Masih sakit kepalanya?
Aku     : Udah nggak.
Mama  : Dek, jangan mi terus bersedih. Kangen sih boleh, tapi kalau terus-terusan larut dalam kesedihan nanti ndak bisa ki bersyukur.
Aku     : Lha, kenapa mah?
Mama  : Iya lah, coba pikir kalau tiap hari bawaannya kangen terus sama Belanda. Kapan kita bisa bersyukur? Bersyukur bisa berangkat sama teman-teman semuanya ke sana, bersyukur bisa ketemu sama kakak-kakak yang baik, bersyukur acaranya bisa sukses, bersyukur bisa kembali pulang ke tanah air dalam keadaan selamat. Kalau sedih terus kan tandanya kita tidak mencerna anugerah yang Allah berikan dengan bijaksana.
Aku     : Tapi mah...
Mama  : Insya Allah, jika Tuhan yang mengizinkan, pasti kalian semua bisa bertemu kembali atau momen yang sama terulang kembali. Kesedihan itu wajar dalam perpisahan. Tapi jangan takut, selama masih diberi oleh Allah kesempatan untuk menjalani kehidupan, akan ada banyak pintu dan jalan yang tidak terduga. Karena itu bersyukur, bersyukur... Jangan sampai berhenti berkarya hanya karena menangis di atas kasur ji.
Aku     : Iya mah, alhamdulillah...


Pembicaraan pun berakhir. Aku menyeka air mata sambil tersenyum. Aku tak ingin bersedih lagi. Aku harus move on. Aku saat ini bersyukur. Aku bersyukur karena telah bertemu dengan kalian semua. Aku bersyukur karena telah menjadi bagian dari hidup kalian. Ya, terima kasih Allah atas anugerah yang Engkau curahkan atas kami di apartemen kecil penuh kenangan di Prinsenstraat 90, Leiden. 


Geng Prinsenstraat 90 di Volendam