Saturday, November 29, 2014

Di Aachen: Tenggelam dalam Keagungan Charlemagne dan Romantisme Habibie

Habibie, waktu itu usianya 19 tahun. Ia yang baru saja lulus dari sekolah tinggi di Bandung kemudian mendapatkan kesempatan untuk belajar di negeri Belanda. Kala itu, pemuda yang berasal dari kota kecil Pare-Pare ini memilih untuk belajar teknologi penerbangan dan aerospace di Univesity of Delft, Belanda. Sekedar informasi, hingga hari ini TU Delft pun masih terkenal di dunia internasional sebagai universitas teknik terbaik, apalagi untuk bidang hidrologinya. Maklum, Belanda memang tak terkalahkan dalam hal bendung-membendung dan kelola-mengelola air. Nah, Habibie seharusnya dapat melanjutkan studinya dengan aman dan nyaman di tempat yang memang didedikasikan khusus untuk penikmat angka dan ilmu pasti itu. Akan tetapi, pada tahun 1955 ia memutuskan untuk pindah studi ke RWTH di Aachen, Jerman karena saat itu kondisi politik Indonesia dan Belanda kembali memanas (perihal perebutan Irian Barat). Belanda pasti menyesal jika beberapa tahun kemudian mereka menyadari telah kehilangan salah seorang pria paling jenius abad ini. Di Aachen, Jerman yang saat itu mulai merangkak bangkit dari puing-puing kehancurannya pasca Perang Dunia II, Habibie memulai perjalanan besarnya sebagai seorang ilmuwan, tidak hanya bagi bangsa Indonesia namun juga bagi mancanegara.

Pertanyaannya, mengapa Aachen?

Dua minggu lalu saya mengajak teman-teman kuliah di Leiden University untuk membeli dagkaart. Dagkaart merupakan sebuah kartu sakti dimana dengan kartu seharga 17,50 euro itu anda mendapatkan akses bus, kereta maupun tram untuk keliling Belanda selama 24 jam. Saya mengajak mereka untuk jalan-jalan ke Maastricht, sebuah kota cantik di ujung Belanda paling selatan yang berbatasan dengan Belgia dan Jerman. Dari Maastricht, kami akan melanjutkan perjalanan ke kota Aachen yang jaraknya hanya 50 menit dengan bus. Hujan dingin merintik, membasahi bumi Belanda saat kami mulai mengayuh sepeda dari apartemen kami di Smaragdlaan. Kami berangkat subuh buta, saat matahari pun masih enggan untuk menampakkan wajahnya. Kereta kami melaju kencang dari stasiun Leiden Centraal, singgah di Utrecht Centraal untuk berganti arah, kemudian tanpa ampun mengejar waktu ke kota Maastricht. Rombongan kami terdiri atas 2 orang Indonesia, seorang Thailand, seorang Sri Lanka, dua orang India, dan seorang Bangladesh. Kami bunuh waktu dengan berbincang panjang lebar mengenai sejarah, politik, ekonomi, budaya, hingga kehidupan artis dari jazirah-jazirah tempat kami masing-masing berasal. Ada seorang ibu-ibu keturunan Maluku yang menyimak cerita kami dengan seksama di bangku belakang. Ketika akhirnya kereta berhenti, ia menyapa saya dan berkata dengan Bahasa Indonesia yang lancar: "Terima kasih ya, saya dengar terus cerita kalian dan jadi banyak tahu keadaan di Indonesia." Wah, meskipun lahir dan besar di Belanda, si ibu tetap diwarisi kemampuan Bahasa Indonesia yang baik.

Di tengah Centrum Maastricht

Singkat cerita, kami tiba di tempat tujuan. Maastricht adalah sebuah kota tua, beraroma Burgundy, berjalan lebar, Katolik, dan sangat cantik. Ia bagaikan seorang putri bertubuh sempurna yang mengenakan mahkota tiara berwarna putih. Maastricht begitu anggun. Nah, setelah puas melihat-lihat centrum serta gereja-gereja paling tua di Belanda, kami meneruskan perjalanan kami menembus gerimis. Kami melintasi keindahan alam yang disembunyikan tengkuk Belanda sebelah timur, menyaksikan betapa indahnya bukit-bukit kecil saling susul-menyusul membentuk punuk-punuk hijau nan (meskipun tidak sesubur areal persawahan di tanah air) menyegarkan pandangan. Kami yang terlena oleh keindahan alam di perbatasan kedua negara baru sadar bahwa Belanda sudah lewat saat toko-toko di sepanjang jalan mulai banyak yang menggunakan tanda baca umlaut. Ah, Jerman! Akhirnya. Setelah sekian tahun hanya mendengar dan membaca tentangnya, setelah 3 tahun belajar bahasanya di SMA Neg. 05 Makassar, saya diberi kesempatan oleh-Nya untuk menginjak langsung tanah dan menghirup segar udara negerinya.

Tibalah kami akhirnya di bumi Aachen. Masih disambut oleh rintik hujan, kami berjalan menuju ke Zentrum alias pusat kota. Di sana ada sebuah katedral besar berkubah yang membuat bulu roma saya berdiri. Katedral itu, yang lazim disebut "Dom" atau "Kaiserdom" oleh warga Aachen, ialah monumen keagungan Charlemagne, Kaisar Kerajaan Romawi Suci (Holy Roman Empire) pertama. Istananya, yang kini telah disulap menjadi balaikota Aachen terletak tepat di seberang Dom. Ternganga saya ketika sekali lagi dikejutkan oleh fakta bahwa dulu Aachen, kota kecil di pinggiran barat Belanda ini dulunya adalah ibukota Kekaisaran Romawi Suci. Charlemagne membangkitkan kembali Eropa pasca kehancuran Romawi. Ia menyalakan lilin kecil yang menerangi kelamnya abad-abad kegelapan. Charlemagne mendukung gerakan penerjemahan buku-buku Yunani, Latin dan Arab; memerangi suku-suku barbar; menciptakan standar penulisan Latin agar bisa kita nikmati hari ini; serta menjalin hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan lain yang lebih maju. Ia tidak takut untuk meminta ilmu, karena ia yakin kerajaannya takkan dapat menjadi besar tanpa hal itu. Tercatat oleh sejarah, ia bersahabat dengan Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad. Sang khalifah mengiriminya seekor gajah albino bernama Abul Abbas dan sebuah jam mekanik bertenaga air sebagai hadiah diplomatik. Belulang gajah itu masih bisa kita lihat hari ini di kota Luneburg Heath, Jerman.
Kaiserdom, Aachen

Tergetar hati ini membayangkan bagaimana seluruh Eropa saat itu dikontrol oleh sang kaisar dari tempat saya menegakkan tungkai kaki sekarang. Hujan masih belum berhenti turun. Kami jelas butuh tempat berteduh. Kami lalu masuk ke dalam Dom, menikmati keindahan dari abad ke-8 Masehi yang terperangkap di antara tiang-tiang dan kubah agungnya. Pelengkung-pelengkung Dom sepintas mengingatkan saya akan arsitektur La Mezquita Cordova (meskipun belum pernah ke Spanyol sih) di Andalusia. Jujur, tempat ini mirip mesjid (tentu saja minus lilin dan ikonografinya). Di tempat ini tersimpan jasad sang raja serta takhtanya yang terlihat amat sederhana. Charlemagne adalah seorang panglima militer yang amat relijius, mencintai ilmu pengetahuan dan juga kebudayaan. Hal itu terefleksikan dengan jelas bahkan hingga hari ini, di kota yang amat ia cintai ini, Aachen.

Interior Kaiserdom
Setelah puas dibuat terlena oleh sejarah Abad Pertengahan, imajinasi saya kembali melayang ke sosok presiden ketiga di Indonesia. Habibie muda bersekolah di sini dari tahun 1955 sampai 1965 dimana ia mendapatkan diploma hingga gelar doktornya. Ia pernah jatuh sakit hingga memaksanya untuk kembali ke tanah air. Di tanah air ia bertemu dengan Ainun, mutiara hati yang ternyata sudah disiapkan oleh-Nya untuk sang ilmuwan muda. Ketika keduanya menikah, komitmen untuk menjalani jatuh-bangun kehidupan bersama pun dimulai. Habibie kembali ke Jerman tahun 1963 setelah ia selesai dengan cuti sakitnya. Kali ini ia tidak sendirian di Aachen. Ia membawa semangat dan cita-cita baru, karena ada Ainun di sisinya.

Hujan musim dingin masih saja tak mau berhenti. Saya menggigil menahan udara yang menggigit-gigit ganas, tapi saya tetap tak mampu menahan bibir ini untuk mengulas senyum. Sambil menyusuri jalanan berbatu Aachen yang fondasinya ditanam oleh Charlemagne, saya membayangkan saat-saat ketika Habibie dan Ainun berjalan di setapak yang sama, di tengah guyuran hujan. Mereka berdua mungkin berbagi payung sambil saling merapatkan tubuh. Cekikikan bersama karena saling melontar guyon. Maklum, dua-duanya masih sama-sama muda. Jiwanya penuh keinginan untuk bertualang, kepalanya penuh dijejali oleh ide-ide besar, hatinya penuh dengan kasih sayang. Seketika, kota ini bagi saya tak lagi hanya tentang keagungan Charlemagne atau tempat akademisi kondang RWTH berkumpul. Sore gerimis itu, Aachen berubah menjadi sebuah kota kecil yang di udaranya penuh dengan cinta.


Leiden,
29 November 2014
17:10  

Tuesday, November 11, 2014

Hatta di Belanda

Sabtu tanggal 8 November 2014 kemarin, gedung kuliah saya, Matthias Vrieshoff di Faculty of Humanities Leiden University, dipenuhi oleh mahasiswa Indonesia dari berbagai penjuru kota di Belanda. Kami kedatangan tamu istimewa yaitu sutradara Erwin Arnada beserta penulis skenario Salman Aristo. Tujuan kedatangan keduanya beserta tim adalah untuk mengadakan riset sekaligus pre-promosi Bung Hatta The Movie yang rencananya akan mengambil tempat syuting di Belanda dan tentu saja, Indonesia.

Saat diskusi yang dipandu oleh senior program Encompass yaitu mas Wildan Sena ini berlangsung, ada sebuah statement yang menggelitik saya. Ketika itu, si penulis skenario sempat menuturkan bahwa alasan di balik pembuatan film Bung Hatta ini ialah untuk mengangkat ketokohan beliau yang selama ini "tenggelam". Sebagai dwitunggal, posisi Soekarno dirasa lebih menonjol, lebih diagung-agungkan di dalam sejarah nasional ketimbang Hatta. Munculnya film ini sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan film Soekarno yang telah rilis di pertengahan tahun 2014. Hatta murni muncul karena keinginan untuk mengangkat cerita kehidupan beliau yang amat inspiratif dan layak untuk kita teladani. Sutradara dan penulis skenario juga sempat mengungkapkan keinginan mereka sebagai putra daerah Minangkabau untuk mengangkat tokoh-tokoh nasional yang berasal dari Sumatera Barat, dimana menurut mereka kebanyakan dari tokoh-tokoh ini tidak mendapatkan sorotan sebagaimana mestinya.

Sebenarnya, menurut saya pribadi sih, Hatta tidak pernah tenggelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Kalau boleh jujur, nama-nama tenar dari Sumatera Barat (H. Agus Salim, Tuanku Imam Bonjol, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, dll) apabila dibandingkan pejuang kemerdekaan lainnya dari kawasan Sulawesi dan Indonesia Timur seperti Sam Ratulangi, Arnold Mononutu, Andi Djemma, Andi Abdullah Bau Massepe atau Salawati Daud, pasti seluruh anak sekolah dasar di Kepulauan Nusantara lebih familiar dengan mereka yang berdarah Minangkabau ketimbang yang saya tulis belakangan. Jika diseret ke konteks "lebih dikenal" atau tidak, maka niscaya pendapat untuk memfilmkan Bung Hatta jelas tidak logis. Nama Hatta selalu disebut bergandengan dengan Soekarno, setiap 17 Agustus kita melihat foto dirinya dipajang dimana-mana. Tanpa memandang bulu dari mana daerah asalnya, saya merasa bahwa setiap pahlawan ataupun pejuang kemerdekaan layak untuk dihormati. Nah, demikian pula dengan Hatta. Tidak perlu dibanding-bandingkan dengan Soekarno, karena toh selama masa hidup mereka juga hal ini tidak pernah dipermasalahkan. Hatta tak pernah iri dengan Soekarno ataupun sebaliknya. Mereka saling melengkapi satu sama lain, karena peran keduanya yang berbeda namun dengan visi yang sama. Soekarno lebih banyak muncul di publik karena Hatta paham bahwa sahabatnya itu adalah seorang orator ulung, memiliki kharisma untuk menggerakkan hati rakyat bahkan hanya dengan menampakkan dirinya. Sedangkan di satu sisi, Soekarno tidak berangkat ke negeri Belanda untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar karena paham betul di sini Hatta yang kemampuannya berbahasa Belanda setaraf native speaker dan pernah tinggal lama di sana lebih pantas untuk mewakili nama bangsa ketimbang dirinya.

Arnold Mononutu.
Nah, ada yang kenal beliau?

Nah, kalau pun mengapa nama Soekarno kemudian lebih tenar dari pada Hatta, ini ada hubungannya dengan branding dari media atas kata kemerdekaan. Di Indonesia, subconsciously media terlanjur menyinonimkan kemerdekaan dengan tokoh bernama Bung Karno. Nggak percaya? Coba aja google "merdeka" atau "kemerdekaan" dan lihat gambar tokoh nasional siapa yang paling banyak muncul. Ini ada hubungannya dengan pencitraan dan bagaimana informasi tersebut berputar di sekeliling kita. Namun tetap kok menurut saya Soekarno-Hatta tak layak untuk dibanding-bandingkan, karena bagi saya keduanya istimewa dan kecintaan bangsa.

Lanjut ya ceritanya. Dari pada membanding-bandingkan Hatta dengan pahlawan nasional lainnya, mending saya membanding-bandingkan kehidupannya sebagai mahasiswa Hindia yang bersekolah di Belanda dengan kehidupan mahasiswa Indonesia yang saat ini juga bersekolah di Belanda. Toh, kalau yang ini saya pun benar-benar mengalaminya sendiri, tidak meraba-raba. Imajinasi saya melayang-layang hingga tiba-tiba teringat pada sebuah buku yang sepintas membahas masa muda Bung Hatta. Kira-kira bagaimana sih kehidupan beliau dulu di Rotterdam? Mahasiswa tipe seperti apakah beliau? Apakah beliau aktif berorganisasi? Bagaimana dengan nilai-nilai kuliah beliau? Apakah beliau anak beasiswa atau anak yang dibiayai kuliah oleh orang tua? Yang dilakukan beliau saat libur kuliah?

Cerita masa muda beliau ini bersumber dari buku karangan Harry Poeze yang berjudul "Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950". Buku ini memaparkan bagaimana Mohammad Hatta, saat itu adalah seorang remaja tanggung berusia 19 tahun dari keluarga ulama di Bukittinggi berangkat ke negeri Belanda untuk menuntut ilmu. Ia tiba di kota Rotterdam pada tahun 1921. Saat itu (bahkan masih sampai sekarang) Rotterdam adalah kota pelabuhan terbesar di Eropa. Ia memilih untuk belajar ilmu ekonomi di Rotterdamse Handels Hoogeschool (saat ini Erasmus University). Pada masa itu jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda ada sekitar 72 orang dengan komposisi 48 orang Jawa, 7 orang Ambon, 5 orang Minangkabau, 4 orang Batak, 4 orang Manado, 3 orang Sunda dan 1 orang Palembang. Dari 43 orang yang menempuh perguruan tinggi, Pemerintah Hindia memberikan beasiswa kepada 21 orang. Termasuk salah satunya adalah Hatta. Tentu saja ini mengindikasikan kecerdasan beliau sehingga layak untuk menerima beasiswa dari negeri Belanda, bukan oleh biaya orang tuanya sendiri.

Paleis Dam Amsterdam, istana tempat Hatta
mewakili bangsa Indonesia
menghadiri Konferensi Meja Bundar

Selain belajar, Hatta ternyata aktif di dunia pers dan juga organisasi. Ia adalah salah satu staff redaksi dari majalah Hindia Poetra yang diaktifkan kembali di tahun 1923. Tulisan-tulisan di majalah itu banyak yang anonim dikarenakan isinya yang lantang dan tegas meneriakkan kemerdekaan Hindia dari penjajahan Belanda. Majalah ini kemudian berganti nama menjadi Indonesia Merdeka pada tahun 1924. Tulisan-tulisan Hatta dan kawan-kawan yang bernada antikolonial meresahkan pers Belanda. Puncaknya ialah saat sebuah artikel di Indonesia Merdeka yang berjudul "Communistische invloeden in het Oosten" tulisan Iwa Koesoema Soemantri membuat pers Belanda naik pitam. Saat itu, salah seorang penulis senior Belanda untuk majalah Koloniaal Tijdschrift, J. E. Bijlo menyarankan agar pemerintah memberikan ganjaran kepada mahasiswa-mahasiswa Hindia yang radikal dan bengal itu berupa pencabutan beasiswa. Hal ini tetapi tidak sampai terjadi. Hatta tetap menerima beasiswanya. Tulisan-tulisan Hatta di media juga kemudian menjadi salah satu sumber pemasokan selama tinggal di Belanda.

Selain di dunia pers, Hatta juga menjadi pengurus di Indonesische Vereeniging alias Perhimpunan Hindia/Indonesia (PI). Organisasi ini awalnya dibuat untuk tujuan bersenang-senang, ajang berkumpulnya sesama mahasiswa asal Hindia. Akan tetapi sejak tahun 1923 Hatta dan Darmawan Mangoenkoesoemo yang sudah jadi anggota lama merubah haluan organisasi ini sehingga berfokus pada upaya-upaya serius untuk membangkitkan nasionalisme serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hatta pernah menjadi bendahara pada tahun 1925. Tahun berikutnya ia mengetuai PI hingga 1930. Di sini, mengutip Harry Poeze pada halaman 177: "perhatiannya kepada PH (Perhimpunan Hindia) seringkali merugikan studinya." Meskipun tidak ada penjelasan lebih lanjut akan kondisi akademis Hatta selama berkuliah di Belanda, yang pasti ia menerima gelar doctorandus pada tahun 1932.

Apa yang dilakukan oleh Hatta selama liburan? Jawabannya, sebagaimana mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Belanda saat ini, ialah berjalan-jalan. Tahun 1922 tercatat Hatta mengunjungi Berlin. Di sana ia bertemu dengan Tan Malaka untuk pertama kalinya. Tahun 1923 ia mengunjungi salah satu sahabatnya yang juga aktifis kemerdekaan yaitu Achmad Soebardjo di Paris. Akan tetapi kunjungan-kunjungannya itu tidak bertema wisata seperti yang kita bayangkan. Hatta benar-benar memanfaatkan waktu studinya di Belanda untuk membangun jaringan, saling bertukar ide dan menggali ilmu. 
Foto anggota PI saat diketuai Bung Hatta. Kocak ya, ada yang jaim dan ada yang banyol. Nggak jauh beda seperti zaman kita sekarang, tapi di foto ini senyumnya pada mahal. Sumber: koleksi Universiteit van Leiden Bibliotheek, eksibisi "Investigating Indonesia" 
Ah, Bung Hatta. Kuliah boleh lama, namun mutunya itu lho. Tidak hanya ia kembali dengan paham-paham nasionalisme yang menggerakkan rakyat Indonesia dari berbagai pelosok tanah air, ia juga memperhatikan kondisi bangsa yang baru lahir ini melalui sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan. Sistem koperasi yang ia cetuskan berpihak pada masyarakat kecil dan mengutamakan kesepakatan, salah satu ciri dan identitas khas bangsa Indonesia. Elemen gotong-royong serta tepo saliro pun nampak di dalamnya. Rakyat kecil bergerak dengan tangan dan kaki mereka sendiri, kemandirian adalah senjata utama bagi negara yang baru saja terlepas dari kungkungan penjajahan. Ilmu yang beliau dapat di negeri Belanda adalah amal jariyah bagi kita hingga hari ini.

Tentunya masih banyak lagi hal-hal menarik dari Bung Hatta yang dapat kita bahas. Apalagi terkait masa muda dan kisah-kisahnya di negeri Belanda. Nah, mari kawan, kita pelajari sejarah untuk tahu lebih mengenai Bapak Bangsa yang satu ini. Bangga Indonesia punya Bung Hatta!

Selamat Hari Pahlawan!

Leiden,
11 November 2014
18:27

Puisi November

Dinginnya November memberi tanda bahwa sebentar lagi dedaunan akan gugur dan bunga-bunga akan mati

Seiring dengan diseretnya Persephone kembali ke dunia bawah dan ibu kami Sang Hyang Sri menangis mematikan kesuburan tanah, di tepi Sungai Rijn mengalir sekanal Gangga kecil

Kamu boleh marah kepada matahari, yang setiap hari muncul di sampingmu dan mengirim kerling penuh arti

Namun ketika kau tadahkan tangan untuk mengharap hangat darinya, ia terpaku diam, sungguh tak berguna

Kamu juga boleh menuduh bulan sebagai si pembohong tulen, yang jago menukar-nukar janji
Karena cahayanya yang temaram di butanya malam ternyata bukan miliknya, namun terpancar dari si matahari, yang sama saja tak bisa menjawab tentang kehangatan

Lalu terus saja kita berjalan, tinggalkan kedua putra Izanagi itu, menyusuri kanal Gangetje yang isinya adalah air mata

Gondola kecil berisi rempah-rempah dan gula, serta burung-burung aneka warna dari Hindia berlayar di tengahnya

Si pendayung bernyanyi dengan lantang, meneriakkan dosa-dosa Antwerp dan Amsterdam,
Kisah lama akan meriam-meriam Portugis dan senapan-senapan Spanyol, serta pundi-pundi Inggris di pedalaman

Tak peduli apakah kau seorang Katolik atau Protestan, seorang Sunni ataupun Syiah
pengikut Gautama, penyembah Siwa atau Krisna, semuanya sama

Kita orang-orang dengan wajah di dada, setengah binatang, telanjang penuh bulu dan berkaki besar

Kini memakai kaos kaki wool dan boot, topi-topi rajut dan jaket-jaket nan tebal

Kurang ajar kau, matahari. Kau tipu aku lagi, bulan. Aku masih kesal.

Aku sungguh tak ingin terjebak dalam dinginnya November. Maka Tuhan, bakarlah aku dalam api-Mu. Panas-panas.

Leiden,
11 November 2014
10:32


Saturday, November 1, 2014

Tentang Nama Belakang di Belanda

Jika seorang Indonesia ditanya siapa nama belakangnya, kira-kira pertanyaan tersebut tergolong sebagai pertanyaan yang sulit atau gampang menurut teman-teman?

Sebagian mungkin ada yang dengan sigap langsung menjawab dengan kata yang terletak terakhir di nama panjangnya. Ada juga yang kemudian menjawab dengan nama ayahnya. Sebagian lagi bingung, mikir-mikir lama. Setiap kali pergi untuk mengurus paspor atau visa, saya sering sekali menyaksikan orang-orang yang celingak-celinguk bertanya perihal nama belakang ini saat tengah mengisi formulir. Apakah nama belakang itu identik dengan nama keluarga? Apakah nama belakang itu ialah nama yang letaknya di ekor nama panjang atau nama yang menjelaskan hubungan kita dengan jaringan yang lebih kompleks?

Sebenarnya nama belakang itu tidak ada di dalam kebudayaan bangsa kita. Di Jawa, kita mengenal apa yang disebut dengan nama trah. Nama trah ini tentunya tidak dimiliki oleh semua orang. Hanya beberapa keluarga yang memiliki hubungan dekat dengan kraton (ningrat), pernah berjasa terhadap masyarakat luas, atau keturunan golongan priyayi (orang biasa yang atas tingginya pendidikan maupun atas harta yang dimiliki lalu terangkat harkatnya di tengah masyarakat) yang kemudian menerima kehormatan untuk dijatuhi gelar hingga bisa diwariskan ke generasi-generasi berikutnya. Akan tetapi nama trah ini beda dengan nama belakang. Normalnya, nama trah tidak disertakan di dalam akte kelahiran, ijazah atau bahkan paspor. Meskipun beberapa kasus kita menemukan beberapa orang menyematkan nama trah sebagai nama belakang, hal ini tidak lazim. Lebih banyak orang yang menyematkan nama ayah mereka sebagai nama belakang ketimbang nama trah. Penyematan nama ayah sebagai nama belakang ini ada hubungannya dengan tradisi Islam yang merujuk hubungan darah (nasab) melalui jalur ayah (bin, binti). Ini yang kemudian diterima secara luas di tanah air mengingat Islam adalah agama mayoritas.

Lalu bagaimana halnya dengan marga? Wah, ini beda lagi dengan trah. Nama marga sebenarnya bukan nama belakang, meskipun secara jelas itu mengindikasikan asal keluarga yang bersangkutan. Marga adalah nama klan dimana seseorang menjadi anggotanya. Pada umumnya marga diturunkan secara patrilineal alias lewat jalur ayah. Mungkin nama marga adalah nama yang paling mendekati dengan definisi Barat untuk "nama belakang" jika ia diletakkan di akhir sebuah nama.

Lukisan Napoleon di Rijksmuseum Amsterdam. I'm a big fan of him, by the way :P

Di Belanda, cerita dosen Bahasa Belanda saya, sebelum tahun 1811 pun orang-orang juga tidak punya nama belakang. Nama belakang baru muncul pasca Belanda dijajah oleh Kaisar Napoleon Bonaparte. Saat itu Prancis mewajibkan bagi setiap orang di Belanda untuk memiliki nama belakang yang mengindikasikan asal keluarganya. Hal ini lalu membuat orang-orang Belanda garuk-garuk kepala karena mereka tidak familiar dengan konsep tersebut. Alhasil saat pendaftaran, banyak warga Belanda yang memilih nama dari kata yang menggambarkan profesi, daerah, situasi, maupun hal-hal yang mereka sukai. Ada yang memilih nama "Bakker" karena ia berprofesi sebagai tukang roti. Ada yang memilih nama "Visser" karena berprofesi sebagai nelayan. Ada yang memilih nama "de Vries" untuk menggambarkan asalnya di provinsi Frisian. Bahkan ada yang dengan randomnya memilih nama "Naaktgeboren" yang secara harfiah berarti terlahir telanjang. Lantas, nama apa yang dipakai sebagai nama belakang oleh orang-orang Belanda sebelum itu? Well, mereka ternyata penganut sistem patronimik yang mengambil nama ayah sebagai indikator identitas, seperti halnya dalam tradisi Islam. Jika membuka kembali dokumen-dokumen Belanda sebelum dijajah Prancis, niscaya kita akan menemukan banyak sekali Jacobszoon, Janssen, Peterszoon, Willemsen, yang kurang lebih senada dengan ibnu Jacob, ibnu Jans, ibnu Peter, dan ibnu Willem.

Kejadian unik terkait nama belakang juga terjadi di Filipina saat dijajah oleh Spanyol. Teman saya, Ariel Lopez yang saat ini tengah merampungkan PhD-nya di jurusan Sejarah Leiden University bercerita begini. Hatta, pada tahun 1849 Gubernur Narciso Calveria y Zaldua pernah memaksa seluruh rakyat Filipina untuk mengadopsi nama belakang Spanyol demi kepentingan pencatatan pembayaran pajak. Simsalabim, maka semua orang diberi nama belakang secara alfabetis oleh sang gubernur. Bagaimana nama-nama belakang itu dipilih, itu bergantung pada petugas pajaknya. Di sebuah desa, karena di sana ada seorang pejabat pemerintah yang bernama Ramos, maka bisa saja seluruh orang dianugerahi nama belakang Ramos. Ada desa dengan seluruh penduduknya diberi nama belakang Javier, dan adapula desa dengan seluruh penduduknya diberi nama belakang Gonzales. Itulah mengapa sebabnya menurut Ariel, asal leluhur seseorang di Filipina bisa dirunut berdasarkan nama belakangnya dengan mengecek data dari era Spanyol.

Hari ini, kita tidak butuh dijajah untuk kemudian menciptakan nama belakang atau nama keluarga. Tuntutan administrasi yang muncul dari negara-negara Barat secara halus berhasil memaksa kita untuk mengadopsi tradisi mereka. Yah, saya pun salah satu di antaranya yang kemudian menciptakan nama belakang. Buana, yang saya embrace sebagai nama belakang, sejatinya hanyalah nama biasa dari kedua orang tua saya. Semua untuk kepentingan menjadi global semata, agar tak perlu ribet urus-urus dokumen ini dan itu. Tanpa disadari, ini pun adalah salah satu efek dari globalisasi atau internasionalisasi. Perubahan cara pandang dan leburnya kultur membuat sesuatu yang sebenarnya asing menjadi tak asing lagi. Benar atau salah, positif atau negatif, ya itu tergantung dari sudut pandang mana kita ingin melihatnya.

Salam dari Leiden yang mendingin,
1 November 2014
19:57