Sunday, September 6, 2015

Tujuhbelasan di Belanda: Menatap Masa Depan di Masa Lalu

Tujuhbelas Agustus saya tahun ini boleh dibilang amat spesial.

Di tengah rintiknya hujan dan angin yang menerjang Belanda, saya berlari-lari kecil bersama Priska Sufhana, kawan lama dari Fakultas Hukum UGM yang telah menyelesaikan studi S2-nya di Amerika Serikat dan tengah berusaha lari dari kenyataan dengan mengunjungi "mantan suami"-nya ini di Eropa selama dua minggu- menuju ke arah Kedutaan Besar Republik Indonesia di Wassenar, Den Haag. Kami terlambat karena bus yang menuju ke Wassenar siang itu ternyata mengalami pengalihan jalur. Alhasil, bersama dengan sepasang suami-istri asal Maluku yang telah berpuluh-puluh tahun bermukim di Belanda, kami harus menunggu dengan cukup lama bus yang menuju ke arah Kedutaan Besar. Begitu tiba di lokasi, tentu saja upacara bendera telah mulai tanpa menunggu kami.

Hujan semakin lebat mengguyur, akan tetapi langkah pasti pasukan pengibar bendera pusaka yang beranggotakan siswa-siswi Sekolah Indonesia Nederland (SIN) tak tergoyahkan. Ini bisa dibilang merupakan upacara bendera pertama saya setelah lulus dari SMA enam tahun yang lalu. Agak sedikit canggung sebenarnya, akan tetapi begitu inspektur upacara meneriakkan "Hormat graaaak!" refleks tangannya saya segera menekuk memberi hormat dan tubuh mengambil posisi siap.

Ketika bendera Sang Saka Merah Putih ditarik naik ke atas tiang bendera (di tengah efek dramatis hujan dan angin yang menerjang tanpa ampun) lagu Indonesia Raya berkumandang di udara. Tanpa terasa, mata saya basah. Air mata terbit di pelupuk saat lamat-lamat bendera yang dulu diperjuangkan oleh kakek saya itu ditarik semakin tinggi. Perasaan batin dan pikiran saya bercampur baur saat itu. Hari ini saya melaksanakan upacara bendera di negeri yang pernah menjajah tanah air saya. Hari ini saya memberikan penghormatan bagi negeri yang jauh di seberang samudera itu, negeri asal saya, dimana seluruh leluhur saya bermukim dan kemudian disemayamkan di dalam pelukan Sang Pertiwi.

Sebagian kawan saya sesama mahasiswa di Leiden ada yang tidak hadir mengikuti upacara tersebut dengan alasan seperti "hujan", "males ah, bangun pagi" atau bahkan "ah elo nasionalis banget sih". Saya menghormati segala alasan mereka tersebut. Toh lagipula upacara bendera bukanlah sebuah ibadah yang hukumnya wajib. Plus, saya tidak ingin pula menilai nasionalis atau tidaknya seseorang, cinta atau tidaknya seseorang terhadap tanah airnya sendiri dari menghadiri atau tidak menghadiri upacara bendera di KBRI. Akan tetapi untuk saya pribadi, mereka jelas tidak mendapatkan momen seperti yang saya alami saat menyaksikan Sang Saka Merah Putih diirik naik dan kemudian berkibar di bumi Belanda. Momen langka yang hanya terjadi setahun sekali. Momen istimewa karena lokasinya berada di Den Haag, tempat bertakhtanya Raja Belanda.

Lagu mengheningkan cipta yang nadanya menyayat hati mengirimkan bayangan-bayangan martir kemerdekaan ke dalam kepala saya. Sekali lagi tubuh saya merinding. Teriring doa bagi mereka, para pahlawan yang telah berjasa dalam menumpahkan darah dan keringat mereka demi kehidupan yang kita nikmati sekarang ini. Teriring doa bagi mereka, para pahlawan yang tak sempat mengalami anugerah kebebasan serta kesempatan seperti yang dialami oleh generasi kita pada hari ini.

Saya jadi bertanya-tanya; kira-kira apa ya yang akan kakek saya dari pihak ibu, almarhum Pak Hartono, yang notabene adalah seorang pejuang nasional hendak katakan kepada saya jika beliau mengetahui bahwa cucunya saat ini melaksanakan upacara di tanah Orang-Orang Londo? Apapun yang hendak beliau katakan, saya yakin pesannya hanya satu: isilah kemerdekaan yang telah kami perjuangkan di masa lalu dengan kejayaan demi tanah air. 

Salam 70 Tahun Merdeka, Indonesiaku!