Wednesday, May 15, 2013

Bacpacking! Part II - Uji Kesabaran Menuju Ibukota Majapahit

Jika pada tulisan sebelumnya saya telah bercerita tentang keindahan sekaligus kesakralan panorama alam Bromo serta masyarakat Hindu Tengger, maka kali ini saya akan membawa anda ke sebuah tempat yang menjadi pusat peradaban Majapahit sekitar 700 tahun yang lalu. Tidak ada tempat terbaik di muka bumi untuk mengenal Majapahit selain di Trowulan, bekas ibukota keprabuan yang menjadi cikal-bakal NKRI.

Sabtu, 11 Mei 2013 sekitar pukul 16.00

Dengan tubuh letih dan kepanasan karena baru saja turun dari Cemara Lawang (yang udaranya sejuk) menuju ke terminal Probolinggo yang sumuk, lengket, dan panas kami, kami menyeret kaki untuk segera mencari bus bertarif murah dengan tujuan Mojokerto. Setelah bertanya-tanya ke sana-sini, akhirnya ada seorang bapak-bapak baik hati yang sedari tadi menguping kegelisahan kami. Ia menasihati kami untuk naik bus antarkabupaten dengan tujuan akhir Japanan (Mojokerto). Berbekal kepercayaan kepada sesama orang Indonesia, maka segera kami ejawantahkan nasihat tersebut dengan mencari bus menuju Japanan. Bus tersebut ternyata cukup besar dan tidak ber-AC (namun alhamdulillah seluruh jendela atasnya terbuka). Tarifnya hanya Rp 11.000. Walau untuk ukuran antarkabupaten tergolong murah, tiap waktu, sopirnya akan menepi mendadak ke pinggir jalan raya untuk mengambil penumpang. Tercatat rute bus ini membelah Probolinggo hingga melintasi daerah-daerah seperti Pasuruan dan Bangil. Cukup menyenangkan sebenarnya perjalanan dengan bus ini (minus bunyi klakson yang menggetarkan jiwa) karena kami dapat menikmati pemandangan daerah-daerah di Jawa Timur bahagian utara. Setelah kira-kira waktu menunjukkan pukul 18.00, tibalah kami di Japanan. Kami diturunkan di perempatan sebuah jalan raya (ya, di tengah jalan!) lalu diarahkan untuk naik sebuah minibus berwarna kuning yang tujuannya akan berakhir di terminal bus Mojokerto.

Terus terang, saya sudah tidak dapat mengharapkan sesuatu yang lebih buruk lagi selain terperangkap dalam sebuah bus kecil nan pengap bersama 'ratusan' manusia lainnya. Ya, itulah yang terjadi di dalam minibus Japanan tersebut. Sesuai namanya, 'mini'-bus ya seharusnya punya quota yang mini, akan tetapi tetap saja manusia-manusia yang mengendalikannya (seorang supir dan seorang kernet yang hobi menggoda kaum Hawa) terus-terusan berimprovisasi untuk menerima penumpang. Walhasil, saya harus berdiri berdesak-desakan dengan penumpang lain yang memegangi pinggul dan pundak saya karena tidak lagi dapat berpegangan pada apapun. Tarif minibus yang membuat diri kami yang sudah letih dan menderita itu menjadi lebih tersiksa selama dua jam berikutnya adalah Rp 6.000. Selama perjalanan di dalam minibus kuning tersebut, ada saja kejadian aneh. Seorang ibu-ibu yang tengah pesiar dengan anak dan putranya tiba-tiba memecah keheningan maghrib dengan memutar lagu-lagu SYAHRINI keras-keras melalui handphonenya. Walhasil, permulaan hari berdasarkan ketentuan kalender hijriah saat itu kami mulai dengan senandung sakit hati Syahrini.

Bagaikan bayi yang brojol dari kandungan perasaan lega yang menghampiri saat akhirnya kami dapat menyeruak keluar dari minibus kuning tersebut di terminal Mojokerto. Setelah berkeliling menanyakan keberadaan penginapan murah untuk memulihkan energi, kami diarahkan menuju "Tejo Wulan." Tejo Wulan ialah sebuah hostel yang terletak tidak terlalu jauh di seberang terminal Mojokerto. Tarif semalamnya Rp 130.000, sudah termasuk sarapan pagi. Penginapan ini amat recommended bagi kamu yang traveling dengan budget mepet. Pengurus penginapan Tejo Wulan amatlah baik, kami diberi banyak informasi mengenai situs apa saja yang dapat dikunjungi di Trowulan besok serta bagaimana cara pulang ke Jogja dari sana. Meskipun mereka sempat menawarkan jasa ojek dan mobil untuk menemani kami seharian keliling Trowulan, kami menolak. Tujuan utama dari petualangan Gita dan Louie ini adalah low-budget backpacking, jalan kaki hingga remuk memang sudah kami kehendaki dari awal. So, we say no to those offers.

Minggu, 12 Mei 2013

Kami bangun dan mulai bersiap sekitar pukul 06.00 lewat. Jam 08.00 kami sudah berpakaian wangi dan melibas sarapan pagi berupa mie goreng dan telur dadar sesembahan dari penginapan Tejo Wulan. Setelah check-out, kami berdiri di tepi jalan untuk menunggu angkot kuning berlogo C dengan tujuan Trowulan. Pucuk dicita ulam pun tiba, sekitar jam setengah 9 kami telah berada di dalam angkot yang menuju ke pusat kerajaan Majapahit tersebut. Pemandangan selama perjalanan sih biasa saja. Kami masuk ke dalam area perkampungan penduduk yang tipikal area perkampungan (ya eyalah). Sepanjang perjalanan ada banyak kanal besar yang kami lewati, ini membuat saya pun bertanya-tanya; apakah kanal-kanal tersebut termasuk salah satu peninggalan Majapahit yang terkenal dengan kanal-kanal besar ala Venesia-nya di ibukota, atau kanal tersebut hanyalah galian warisan Orde Baru saat pembangunan digenjot oleh Pak Harto? Entahlah.

Dalam setiap perjalanan yang harusnya mulus pasti selalu saja ada hambatan. Nah, hal tersebut pun terjadi pula dalam perjalanan kami ini. Bayangkan, setelah dengan penuh semangat menuju Trowulan, tiba-tba kami terjebak macet di area "ring-road" Mojokerto. Kemacetan selama sekitar 45 menit tersebut disebabkan oleh sebuah truk yang mengangkat pasir/bebatuan kecil mengalami kecelakaan di perempatan jalan. Sambil menahan panas, kami dengan sabar menunggu (penumpangnya tinggal kami berdua) sedangkan si sopir misuh-misuh sendiri. Begitu terbebas dari macet, angkot langsung melaju dengan kecepatan penuh mengantarkan kami ke tujuan (yang seharusnya adalah), Museum Majapahit.

Eh, sekali lagi kesabaran kami harus diuji.

Si sopir yang seharusnya memiliki kewajiban untuk mengantarkan kami ke Museum Majapahit dan hak-nya atas jasa tersebut hanyalah Rp 6.000 sesuai ketentuan peraturan daerah jasa angkutan transportasi umum malah menurunkan kami di KANTOR Museum Majapahit yang jauhnya sekitar 3 kilo lebih dari lokasi museum aslinya, serta memungut bayaran sebesar Rp 15.000 per kepala. Meskipun kami telah berupaya memprotes dengan amat sangat sopan, akan tetapi sopir nan gemar misuh itu tetap bersikeras bahwa tarifnya memang segitu (padahal trayek yang setiap hari Ia jalani untuk mencari nafkah itu ya memang sejalur dengan tujuan kami).

Jalanan Desa Bejijong, Trowulan
Sambil ngempet nahan amarah, kami keluar dari angkot dan berjalan hampa menuju kantor Museum Majapahit. Pak satpam museum nan baik hati memberikan kami penjelasan bahwa tempat tersebut bukanlah museum: museum asli letaknya cukup jauh - lebih baik dituju dengan ojek - karena sudah terlanjur sampai di daerah Bejijong maka tak ada salahnya jika mampir dulu ke Maha Vihara Majapahit yang letaknya sekitar 500 meter dari pinggir jalan - setelah itu kami pun masih dapat mengunjungi Candi Brahu.

Berjalanlah kami di tengah teriknya matahari Mojokerto dengan hati yang remuk. Setidaknya destinasi kami menuju Maha Vihara Majapahit untuk melihat "patung Buddha tidur terbesar ketiga di dunia" menjadi penyemangat. Ajaran penuh kesabaran dan kesadaran diri yang diajarkan oleh Sang Buddha seakan-akan menjadi pesan bagi kami di awal hari itu. Setelah berjalan sekitar 7 menit, sampailah kami di sebuah gerbang agung tempat peribadatan umat Buddha di tengah perkampungan muslim tersebut. Suasana Maha Vihara Majapahit amatlah damai dan menyejukkan hati. Setelah berfoto dengan Sang Buddha Tidur yang terkenal itu, kami berkeliling vihara. Ada banyak hal-hal menakjubkan di tempat ini (yang akan saya bahas dalam sebuah tulisan khusus), sayangnya saya pribadi sedikit terganggu dengan banyaknya anak muda pacaran yang kurang bisa menjaga sopan-santun di tetamanan vihara.

The Reclining Buddha and Dwarapala

Muka gosong abis disiram Srengenge diobati oleh damainya ekspresi tidur Sang Buddha

Waktu menunjukkan pukul 10.00 lewat, maka kami pun punya alasan untuk makan bakso-lontong serta menyesap es kelapa muda yang dijajakan di depan vihara. Hanya dengan Rp 8.500, perut kami terisi dan mood kami mulai membaik. Setelah mendapatkan petunjuk mengenai arah Candi Brahu yang konon bagi penduduk terletak tidak begitu jauh dari vihara (masih sama-sama dalam wilayah yurisdiksi desa Bejijong), maka berangkatlah kami ke candi yang menjadi tempat pembakaran jenazah para raja Majapahit tersebut.

Alamak jan... ternyata jarak dari Maha Vihara Majapahit menuju Candi Brahu itu jauh benar! Entah berapa kilo jaraknya, yang jelas lumayan membuat betis saya cranky. Mana udaranya panas lagi. Walaupun jalannya tidak menanjak seperti saat kami hiking di Bromo, teriknya sinar mentari seakan ikut pula menguapkan energi kami. Setelah berjalan kurang lebih 40 menit, sampailah kami di Candi Brahu. Rasa letih kami langsung hilang saat melihat candi pertama dari rangkaian Rediscovering Majapahit Trip kami.

Sebagaimana ciri khas bangunan dari era Majapahit lainnya, Candi Brahu juga terbuat dari bata merah. Candi ini sudah tidak bisa dinaiki lagi karena amat rentan oleh kerusakan. Kami hanya dapat berfoto di area sekeliling candi serta menyentuh sejarah yang melekat selama kurang lebih 700 tahun di bata-bata merah itu.


Berlatarkan Candi Brahu dari Masa Lalu

Kami hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit di area Candi Brahu. Banyaknya situs yang mesti dikunjungi serta terbatasnya waktu membuat kami segera bergegas menuju Museum Majapahit. Nantinya, kami akan dikejutkan oleh banyak sekali hal dan kejadian menarik selama berada di kompleks ibukota Majapahit tersebut. Stay tuned!

Sunday, May 12, 2013

Backpacking! Part I - Memandangi dari jauh lalu Mendatangi Eyang Bromo

Nekat emang rencana backpacking bersama sobat saya Anggita Paramesti kali ini. Malah, sebenarnya sih nggak ada rencana sama sekali! This is totally a spontaneous trip!

Di tengah kegilaan pekerjaan dan hiruk-pikuk skripsi yang berteriak-teriak menuntut diselesaikan, ada jeda tanggal merah di hari Jumat 10 Mei 2013 ini. Tiba-tiba saja saya dan Gita yang sedang duduk-duduk anteng di Cafe Peacock melepaskan letih dari geliat duniawi seraya memperbincangkan post-colonialism memutuskan untuk berangkat ke Bromo, menyaksikan keindahan alam Jawa Timur yang selama ini sering membius pandangan di iklan-iklan rokok televisi. Kun fayakun, jadilah maka jadilah ia, kalau kata Tuhan. Maka kamis pagi tanggal 9 Mei, dengan berbekal tekad, baju dan sedikit makanan kami telah duduk manis di kereta ekonomi AC Sri Tanjung bertarif Rp 35.000 jurusan Lempuyangan - Probolinggo.

Gita di atas kereta Sri Tanjung dan dua orang teman barunya dari Jember.
Nekat memang, kami tidak punya rencana apa-apa.
Begitu tiba di stasiun Probolinggo setelah lewat 10 jam duduk menderita, kami segera naik mobil Elps bersama rombongan lain dari Solo dan Jakarta menuju ke desa Cemoro Lawang, desa terdekat dari kawasan Taman Wisata Bromo. Tarifnya Rp 30.000, dengan waktu tempuh dari kota Probolinggo sekitar 45 menit. Sepanjang perjalanan, udaranya sungguh sejuk menyegarkan, dengan pemandangan alam yang menyehatkan mata. Perjalanan terus menanjak naik hingga kami dapat melihat lereng-lereng gunung yang subur dan menghijau serta desa-desa kecil di kaki gunung. Sesampainya di desa Cemoro Lawang, kami pun memilih untuk menginap di sebuah penginapan bernama "Setia Kawan" dengan tarif Rp 75.000 per orang per malam. Fasilitasnya antara lain kamar tidur, TV, dan kamar mandi. Hanya itu, tanpa sarapan. Berhubung ketika tiba di Cemoro Lawang waktu telah menunjukkan sekitar pukul 19.00, maka kami memutuskan untuk makan malam di warung bakso terdekat sambil menikmati teh melati hangat yang menimbulkan sensasi "hey, I'm up on the mountain now!".
Saking kelaparannya saya bahkan sampai nambah dua mangkok bakso. Total makan malam kami sekitar Rp 22.500. Not bad lah.

Pagi sekitar jam setengah tiga subuh kami bangun. Dengan tekad baja sekeras Krakatau Steel, kami bermaksud untuk melawan kebiasaan turis Bromo yang menyewa jeep seharga Rp 50.000 per kepala untuk naik ke atas Gunung Pananjakan dan menikmati terbitnya matahari. Tak ada uang, kaki pun jadi, begitulah prinsipnya. Setelah bersiap-siap, maka sekitar jam tiga pagi kami mulai meninggalkan Cemara Lawang untuk mendaki jalanan menanjak yang menyesakkan siapapun yang melihatnya. Jalanan benar-benar gelap saat itu, tiada sumber cahaya yang menemani selain senter yang kami sewa seharga Rp 30.000 dan gemintang di langit. Menurut Wikipedia, jarak yang kami tempuh dari desa Cemara Lawang hingga Gunung Pananjakan sekitar 2.770 m atau hampir 3 km. Cuaca yang dingin menusuk serta rasa letih membuat kami berulang kali terduduk di atas bongkahan batu di pinggir jalan. Medan yang kami tempuh amatlah berbahaya karena selain jalan yang menanjak, juga dipenuhi oleh ranjau darat berupa kotoran kuda. Hewan yang dikomersialkan sebagai tunggangan di kawasan pariwisata ini.

Menyaksikan kemunculan Bromo, Batok dan Semeru with my bestie
Sekitar jam 4 pagi, kedua pejuang dari Jogja ini akhirnya menyentuhkan kaki di pelataran Gunung Pananjakan I. Meskipun awalnya Gita merasa kecewa karena kami tidak terus naik hingga ke Pananjakan II yang masih berjarak sekitar 2 km lagi, pada akhirnya kami cukup puas karena sukses menikmati sunset serta pisang goreng gratisan dari rombongan ibu-ibu dharma wanita Taruna Nusantara yang salah satunya ialah pemilik bisnis bimbingan belajar Neutron. Menjelang matahari terbit, pelataran tersebut semakin ramai oleh turis domestik maupun turis internasional. Tercatat berdasarkan pendengaran telinga saya, ada turis Cina, Rusia, Jerman, Italia dan Eropa lainnya. Begitu matahari meninggi, kami pun dibuat terkejut menyaksikan kecantikan Bromo, Semeru, serta Batok yang mengapung-apung dengan agung di tengah lautan kabut. Migrasi kabut dari daerah Lautan Pasir (Segoro Wedi) yang mengelilingi Bromo menuju perkampungan penduduk di kaki gunung juga membuat hati kami berdesir penuh kekaguman. Singkat cerita, setelah bersabar menunggu giliran untuk foto berlatarkan Sang Hyang Bromo dan Sang Hyang Mahameru tempat Batara Guru (raja para dewa) bertahta, kami pun meluncur turun.

Melintasi Segoro Wedi. Di kejauhan nampak Pura Luhur Poten dan Kawah Bromo
Sekitar jam 7 pagi kami telah kembali mendarat di Cemara Lawang. Setelah mengistirahatkan kaki yang pegel dan kedinginan, kami pun melakukan ritual wajib bagi siapapun yang hiking di Bromo: makan pagi. Makan pagi hari itu adalah mie goreng dan teh hangat, totalnya Rp13.000. Begitu perut kenyang dan hati pun senang, kami segera merayap turun dari desa Cemara Lawang untuk melintasi Lautan Pasir menuju Kawah Bromo nun jauh di sana. Lautan Pasir tersebut kami tempuh dengan waktu sekitar 45 menit.

Di tengah perjalanan, ada sebuah bangunan mencolok yang seakan-akan jatuh dari langit dan dibiarkan berada di situ. Sungguh fenomenal menyaksikan sebuah kuil Hindu Majapahit dengan bahan bangunan terbuat dari bebatuan hitam vulkanik yang bersumber dari perut Bromo berdiri sunyi di antara gunung-gemunung. Pura Luhur Poten, namanya. Sayang, hari itu Pura Luhur Poten tertutup dari akses umum. Ketika pengaruh Majapahit mulai luntur, maka sisa-sisa masyarakatnya yang masih setia mengemban adat leluhur hijrah ke sekitar kawah Bromo untuk mencari sanctuary. Alhasil, di tengah masyarakat Jawa dan Madura yang terislamisasi, penduduk lokal yang disebut juga sebagai orang Tengger masih melestarikan tradisi Hindu mereka. Menurut mitos lokal, penduduk Tengger sekarang ini adalah keturunan dari bangsawan Majapahit bernama Rara Anteng dan Jaka Seger. Keberadaan Hindu di Tengger dapat teman-teman saksikan dari kehadiran padmasana di halaman depan rumah penduduk lokal yang biasanya kita temui di Bali. Selain itu udeng yang biasa dipakai kaum pria Bali untuk sembahyang juga banyak digunakan oleh pemuda lokal. Lambang swastika di gapura masuk kawasan Tengger seakan menjadi penguat identitas mereka sebagai pelestari adat-istiadat leluhur. Tengger adalah benteng terakhir Hindu Majapahit di Pulau Jawa.
Padmasana di halaman penginapan 'Setia Kawan'
Kami naik hingga ke bibir kawah Bromo yang jaraknya sekitar 2.329 meter. Perlu dicatat bahwa medan yang kami tempuh di sini berbeda dengan medan di Gunung Pananjakan. Mendaki bibir kawah Bromo itu sama dengan menaiki seluncuran berpasir dan 233 anak tangga. Capeknya memang luarbiasa, tapi begitu sampai di atas kami puas karena bisa bersilaturahmi dengan Eyang Bromo yang konon meminta wadal anak bungsu itu.


Foto di pinggir kawah Bromo ini diambil oleh seorang bapak-bapak Belarusia nan ramah
Setelah menikmati pemandangan dari puncak Bromo, turunlah kami dari kahyangan, kembali ke permukaan bumi. Di Cemara Lawang, kami makan siang (totalnya Rp 13.000), check out dari penginapan lalu menumpang mobil Elps rombongan backpacker dari Jakarta dengan tarif sebesar Rp 25.000 untuk turun ke kota. Kami diturunkan di terminal Probolinggo karena tujuan kami selanjutnya hanya dapat ditempuh dengan bus. Perasaan kami mengharu-biru saat meninggalkan Bromo yang entah kenapa terasa homey (mungkin efek karena udara di sana dingin dan sejuk yang membuat kami betahan). Akan tetapi, perjalanan besar kami masih panjang. Kami terlanjur bertekad untuk menamai untaian backpacking journey ini dengan nama "Rediscovering Majapahit Trip."

So, the next destination is: Trowulan!

Pura Luhur Poten Hindu Tengger