Tuesday, May 10, 2011

Perang ala Gerilya Kita yang Nomor 1?

Pagi ini di kelas Hukum Pidana Khusus yang diajar oleh Pak Edward Omar Syarif Hiariej a.k.a. Edy OS saya mendapat informasi menarik tentang betapa hebatnya Indonesia "di masa lalu". Seperti biasa, bahasan-bahasan mengenai local wisdom maupun fakta-fakta mengagumkan yang menjadi prestasi bangsa ini di era yang telah lampau selalu dapat menstimulus saya dengan berbagai inspirasi maupun optimisme akan masa yang akan datang, meskipun pada saat yang bersamaan juga membuat saya miris dengan keadaan di masa sekarang. Kali ini, kisah yang Ia tuturkan merefresh memori saya akan sejarah dan tokoh nusantara yang mewarnai dunia secara global hingga ke zaman modern ini.


Di sela-sela bahasan beliau mengenai Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, dan Kejahatan Perang, Prof. Edy memberikanintermezzo. Alkisah, jagoannya pertempuran laut di dunia ini pasca WWII adalah Inggris dan Uni Soviet. Negara lain hampir tidak ada yang bisa memenangkan pertempuran jika berhadapan dengan mereka. Adapun jagoan pertempuran udara ialah Amerika Serikat dan Prancis. Jangan ditanya, Paman Sam memang memegang teknologi udara militer yang paling canggih di abad ini. Pesawat Siluman merupakan salah satu inovasi mereka yang dapat masuk ke area musuh tanpa terbaca radar. Yang terakhir inilah yang mengejutkan. Siapakah jagoan perang di darat? Jawabannya ialah Jerman dan Indonesia.


Jerman dengan teknologi tempur, strategi militer yang kuat, dan otot-otot pasukan bangsa Arya yang terlatih memang pantas berulang kali memenangi pertempuran darat di benua Eropa. Satu per satu daerah terbuka maupun kota takluk dihadapan bala tentara Hitler. Tapi, Indonesia? Benarkah negara yang sekarang ini tengah dilanda krisis sosial, korupsi yang mengakar di pemerintahannya, serta pesawat militer maupun komersil yang terus menerus jatuh layak menjadi jagoan pertempuran darat? Sekali lagi, kita bicara dalam konteks pasca WWII.


Jerman, mempelajari banyak literatur kuno dari berbagai bangsa di Eropa demi menyempurnakan strategi perang mereka. Salah satu yang mereka perhatikan dengan seksama ialah dokumentasi perang kerajaan Belanda dengan golongan pemberontak pribumi di Dutch East Indies alias Hindia Belanda. Bagi bangsa Belanda, menjajah Indonesia selama 300 tahun lebih itu bukannya tanpa biaya. Bangsa timur yang barbar itu dalam pandangan mereka merupakan budak sekaligus musuh yang paling berbahaya. Ambil contoh De Java Orloog atau Perang Diponegoro yang terjadi selama 5 tahun (1825-1830). Perang tersebut menurut sumber Belanda menjadi perang termahal yang pernah dihadapi oleh pemerintah kolonial Eropa di wilayah jajahannya.


Perang mengambil tempat di seluruh daratan, di daerah kota maupun desa-desa yang jarang penduduknya. Belanda mengandalkan formasi pasukan ala Napoleon Bonaparte yang saat itu sedang ngetrend si Eropa. Ada barisan infanteri, kavaleri, dan artileri, pasukan dipecah menjadi 3 unit dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Perang tersebut berlangsung sengit dan sempat membuat pihak Belanda frustasi. Bayangkan saja, daerah yang telah mati-matian mereka taklukkan pada siang hari, di malam hari sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi melalui aksi gerilya mereka. Masyarakat pribumi yang dipimpin oleh para senopati dengan pendidikan mereka yang tradisional mampu memanfaatkan medan pertempuran dan keadaan cuaca sehingga dapat berulang kali membuat kondisi tentara Belanda terpuruk, tidak hanya oleh serangan fisik namun juga oleh serangan hujan tropis maupun penyakit musiman.



Kondisi pertempuran menjadi benar-benar mengerikan ketika untuk pertama kalinya di pulau kecil seperti Jawa, Belanda menurunkan 23.000 orang personil. Inilah perang pertama yang dicatat dalam sejarah sebagai perang modern, karena menggunakan segala taktik kemiliteran yang kita ketahui di masa sekarang ini. Usaha-usaha seperti perang terbuka maupun serangan gerilya hingga telik sandi dilakukan dalam perang ini, menjadi cikal bakal unsur-unsur perang modern. Dunia menyaksikan bahwa setelah ribuan penduduk sipil meninggal dan ribuan tentara Belanda tewas di medan laga, akhirnya Pangeran Diponegoro dapat ditaklukkan. Namun sejak hari itu, dunia melihat nusantara dengan perspektif yang berbeda. Nusantara menjadi daerah yang ditakuti karena kegigihan rakyat pribumi serta kemahiran mereka menjalankan serangan darat yang diam-diam, cepat, dan mematikan.


Tidak hanya di Jawa, namun perang yang terjadi di daerah Indonesia Timur seperti Makassar pun membuat Belanda kecut. Sebuah catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada tanggal 8 Agustus 1668 menjadi rekaman pahit Belanda ketika berhadapan dengan Kerajaan Gowa. Ketika itu, pasukan Belanda memasuki pelabuhan dan mendekati daerah Somba Opu yang terletak di pinggir pantai. Masyarakat yang tinggal di sekitar situ pun berteriak-teriak siap menyambut kedatangan para penjajah. Mereka menantang dengan gagah berani, sehingga membuat pasukan Belanda yang membawa mesiu dan senjata api gentar menyaksikan semangat pribumi Makassar. Catatan tersebut kemudian bercerita bahwa pertempuran berlangsung amat dahsyat dan mengerikan, bahkan "als crijgers van hoogen ouderdom mischien in Europa selve niet dickwiljs gehoort hebben" (sehingga prajurit-prajurit yang sudah lanjut usianya di Eropa sekalipun tidak pernah mendengarkannya).


Cornelis Speelman yang saat itu menjabat sebagai panglima tinggi Belanda pun mengakui bahwa perlawanan tersebut merupakan yang paling hebat yang pernah Ia temui selama menjalankan misi di nusantara. Saking mengerikannya pertempuran tersebut, sampai-sampai pihak Belanda memberikan salutation kepada pemimpin kerajaan Gowa saat itu, Sultan Hasanuddin, dengan gelar"Haantje van het Oosten" alias Si Ayam Jantan dari Timur. Menurut Nasarudin Koro, seorang mantan diplomat sekaligus penulis buku sejarah Makassar, salah satu pendukung kuatnya barisan Makassar saat itu adalah keberadaan para putra Mandar yang dikenal sebagai penembak meriam yang jitu. Pada masa itu memang kerajaan Gowa bersekutu dengan federasi Mandar di utara. Salah satu penembak meriam yang disegani Belanda dari Mandar ialah Daenna Dollah. Kehebatan Daenna Dollah membuat Ia juga dipanggil oleh Sultan Ternate untuk menghadapi Belanda. Saking terkenalnya Ia, oleh tentara Belanda Ia dipanggil "Hij is een goed kanonneer". Selain di Makassar, pertempuran habis-habisan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dien juga menghilhami pasukan Jerman saat Perang Dunia II. Taktik bumi hangus yang mereka tiru didapat dari catatan Belanda mengenai taktik milik rakyat Aceh yang saat itu berhadapan dengan ribuan tentara kolonial.


Terakhir, Prof. Edy menutup ceritanya dengan kutipan dari pidato salah satu petinggi militer Amerika Serikat untuk Perang Vietnam: "apabila yang kita hadapi di Vietnam adalah para pasukan guerilla Indonesia, maka nasib kita tidak akan sebaik sebagaimana yang kita alami pada hari ini." Nama Abdul Haris Nasution pun Ia sebutkan sebagai seorang pria asal Republik Indonesia yang telah memberikan sumbangsih bagi dunia pertempuran militer di darat. Buku Jendral Nasution yang berjudul Fundamentals of Guerilla Warfare (terbit tahun 1965 di New York) would become one of the most studied books on guerrilla warfare along with Mao Zedong's works on the same subject matter (Emmet McElhatton: 2008). Tidak hanya mengulas hingga menciptakan metode perang gerilya, beliau juga bahkan membuat 'anti-virus' atau tangkisan bagi pihak yang menghadapi perang gerilya. Ia menjadi seorang ahli strategi perang dari Indonesia serta peletak dasar atas perang gerilya.


Itu cerita dulu, kawan-kawan, dan prestasi dari bapak-bapak kita yang telah meninggal. Terlepas dari benar tidaknya cerita beliau, fakta punya versinya sendiri. Yang jadi soalan sekarang, masih sanggupkah kita meneruskan jejak mereka dan menomorsatu-kan kembali Indonesia di mata dunia?

Monday, May 2, 2011

Perlindungan Privasi v. Baggage Inspection

Pasca 11 September 2001, arah kebijakan keamanan dan pertahanan dalam negri Amerika Serikat mengalami perubahan yang amat drastis. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan yang ketat di bidang pengangkutan barang dan transportasi orang dengan alasan perlindungan terhadap serangan teroris. Hal ini berimbas kepada masuk-keluarnya barang maupun mobilisasi masyarakat dari maupun ke Amerika Serikat.

Posisi Amerika Serikat sebagai sentra perniagaan dunia, trendsetter musik dan fashion, serta pusat politik global membuat pihak jasa transportasi dan pengangkutan lokal mengalami dampak atas pemberlakuan kebijakan pertahanan tersebut. Paranoia terhadap terorisme membuat pemerintah Amerika Serikat memberikan perhatian extra di bidang transportasi, garda terdepan yang menjadi celah masuknya kekuatan asing.

Awalnya, Amerika mengadopsi sistem keamanan airport milik Israel yang dibentuk segera setelah peristiwa peledakan di bandara Ben Gurion pada tahun 1990. Bandara Gurion pasca serangan tersebut memang menjadi terkenal sebagai bandara paling aman di dunia. Seiring dengan berjalannya waktu, Amerika mengembangkan sendiri teknologi serta bentuk-bentuk pertahanan khusus untuk kasus-kasus yang menjadi precedence mereka dalam kurun belakangan ini. Bentuknya tidak hanya berupa usaha penanggulangan, namun ada juga yang sifatnya "political-preventive action". Di bidang imigrasi sebagai contoh, kesempatan untuk mendapatkan visa Amerika Serikat menjadi semakin sulit jika track record seseorang disinyalir berhubungan dengan sebuah gerakan kegamaan radikal, berperawakan Timur Tengah, atau bernama Islami. Adapula metode pengawasan yang dilaksanakan dengan berdasar tanda-tanda fisik maupun psikis dari pihak-pihak yang diduga teroris atau membawa benda mencurigakan.[1]


Kebijakan yang banyak menuai kontroversi serta tudingan diskriminasif ini pun sebenarnya telah direview oleh pemerintah Amerika Serikat. Akan tetapi, menengok asas perlindungan terhadap kedaulatan negara, serta asas nasional pasif, ketentuan tersebut tidak diubah. Bahkan pada kenyataannya justru terus dikembangkan dengan beberapa penyesuaian. Pada tahun 2004 (beberapa bulan setelah terjadinya ledakan bom di sebuah kereta api umum di Madrid sebagai aksi terorisme) pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk memberlakukan sistem PSI (Passenger Security Inspection) yang lazim pada airport-airport di stasiun kereta api bawah tanah Boston.[2] Pemeriksaan barang bawaan secara acak maupun pengecekan ID penumpang yang dianggap mencurigakan menjadi hal yang lumrah dengan diputuskannya peraturan tersebut.

Isu terorisme yang hangat di media Barat telah menciptakan epidemi bagi sistem pertahanan negri Paman Sam. Jika pemeriksaan barang dianggap sebagai usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, maka isu lain seperti perlindungan terhadap privasi masyarakat sipil maupun masyarakat internasional yang berkecimpung di Amerika Serikat pun tidak kalah hebatnya mencuat di permukaan. Semenjak diberlakukannya baggage inspectionatas setiap barang yang masuk ke dalam kategori checked baggage, penyedia jasa pengangkutan udara mengalami dampak negatif atas pelaksanaan kewenangan tanpa pertanggung jawaban yang jelas.

Lembaga TSA yang diberi kewenangan oleh Aviation and Transportation Security Act2001 untuk melaksanakan baggage inspection ternyata menyimpangi ketentuan yang ada dalam peraturan hukum pengangkutan udara internasional maupun lokal. Jika berdasarkan Protokol Guatemala dan Konvensi Warsawa pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan, kehilangan, maupun keterlambatan bagasi adalah air carrier, maka kekuasaan TSA atas barang yang belum beralih ke pemilik haknya jelas-jelas menyimpang. Dasar hukumnya menjadi absurd, karena TSA sudah secara eksplisit menyatakan tidak bertanggung jawab atas kerusakan maupun kehilangan barang dalam bagasi. Kesalahan akan dilimpahkan kepada perusahaan air carrier.

Protokol Guatemala Art. 17 ayat 2 menjelaskan; the carrier is liable for damage sustained in case of destruction or loss of, or of damage to, baggage upon condition only that the event which caused the destruction, loss, or damage took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking during any period within which the baggage was in charge of the baggage. Jika berpatokan pada ketentuan tersebut maka seharusnya penyedia jasa pengangkutan udara tidak dapat dijatuhi tanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan yang terjadi selama proses baggage inspection. Pihak pengangkut hanya dapat dituntut atas ganti rugi jika kejadian yang menyebabkan kerugian tersebut terjadi selama angkutan udara.



Pada tanggal 18 Juni 2009, American Civil Liberties Union melaporkan kasus mengenai TSA yang dinilai telah melanggar hak-hak sipil melalui unreasonable searches and body screening terhadap seorang pria dan barang bawaannya. Kasus yang kemudian dikenal dengan nama Bierfeldt v. Napolitano ini menjadi perbincangan yang hangat karena mempertanyakan tindakan TSA serta kaitannya dengan perusahaan pengangkut udara. Hukum di Amerika Serikat secara jelas memastikan setiap kasus kehilangan atau rusaknya checked baggage sebagai tanggung jawab pengangkut udara, namun pada kasus ini yang menjadi perdebatan adalah TSA yang melakukan pemeriksaan, bukan perusahaan penerbangan. Lantas, dapatkah pemilik barang menuntut pertanggung jawaban dari pihak penyedia jasa pengangkutan udara?


Situs website resmi TSA secara halus menolak tanggung jawab atas kehilangan maupun kerusakan barang yang diakibatkan oleh pemeriksaan mereka. Tanggung jawab dilimpahkan kepada perusahaan penyedia pengangkutan udara secara sepihak; “for lost or missing baggage, please contact your airline. Most airlines recommend reporting missing baggage immediately upon arrival. TSA has sixteen airports that utilize private screening services and does not handle claims for incidents that occur at these locations. Claims pertaining to these airports must be filed directly with the company providing screener services at the applicable airport...”.“ If you have a lost or damaged item AND you believe that TSA was responsible, you should file a claim with the TSA Claims Management Branch.”

Kebijakan baggage inspection yang terlahir sebagai lex specialis terhadap ketentuan umum di ruang lingkup hukum pengangkutan udara menjaminnya untuk diberlakukan secara legal. Konsekuensi dari pemberlakuan ini ialah ambigunya peran serta tanggung jawab yang dipegang oleh air carrier. Mengingat pengaturan dalam Protokol Guatemala menganut prinsip Absolut Liability atas bagasi, maka kedudukan air carrier sebagai satu-satunya pihak yang harusnya bertanggung jawab atas segala akibat dari pemeriksaan TSA menjadi amat tidak menguntungkan.

Kasus Berfieldt v. Napolitano di tahun 2009 membawa kesadaran bagi warga Amerika Serikat serta dunia atas perlunya ketentuan mengenai pertanggung jawaban pengangkutan udara yang dapat menjamin perlindungan atas orang maupun barang sesuai perkembangan zaman. Sampai kapan orang-orang yang masuk atau keluar Amerika Serikat dapat bertahan di tengah kerumitan sistem yang melanggar privasi, tidak memberikan kenyamanan secara hukum, serta menyita waktu ini?

*Terilhami oleh pengalaman saya dua kali menerima "notice of baggage inspection" saat masuk ke Amerika Serikat dari pihak TSA. Surat tersebut menyatakan bahwa koper saya telah digeledah tanpa izin demi keperluan inspeksi.


[2] John N. Balog, 2007. Public Transportation Security, United States: Transit Cooperative Research. Chapter 2, Page 15