Tuesday, December 20, 2011

Menghayati Pantai Selatan: Harta Karun di Tengah Gempuran Mitos

Belakangan ini saya begitu akrab dengan Pantai Selatan. Posisi saya sebagai staff redaksi dalam penyusunan Majalah BPPM Mahkamah yang bertajuk Laut menuntut diperlukannya reportase langsung ke lapangan. Berhubung akses dan biaya hanya memungkinkan saya dan teman-teman penulis lainnya untuk mengunjungi pantai-pantai yang berada di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta, maka menjadi rajinlah kami menyambangi Pantai Selatan. Lautan yang menjadi sarang mitos Nyi Roro Kidul dan ikon keganasan alam (ombak maupun tsunami) ini pun menghiasi hari-hari saya.

"Lautku Harapanku" demikian bunyi sebuah tulisan yang terpampang di Tugu Dermaga Pantai Glagah. Pantai yang berjarak kira-kira 45 menit dari kampus UGM ini (apabila ditempuh dengan motor) adalah pantai pertama yang kami buru dalam rangka melengkapi data-data majalah. Sebenarnya tidak ada yang menarik dari Pantai Glagah. Anginnya luarbiasa kencang. Sepanjang mata memandang, segara wedi alias lautan pasir terhampar luas berkilo-kilo meter. Hanya ada beberapa tumbuhan yang sanggup tumbuh di sini. Masyarakat sekitar memanfaatkan potensi alam tersebut dengan banyak mendirikan resort dan warung makan (padahal, jenis tanah berpasir seperti itu kemampuan untuk menyerap airnya amatlah jelek. walhasil air yang banyak digunakan oleh warga sekitar mengandung presentase bakteri E.Coli cukup tinggi). Sayang sekali, mungkin karena hari itu hari senin, Pantai Glagah tak ubahnya taman hiburan yang sepi pengunjung. Laporan pandangan kami adalah: dermaga yang belum jadi, penduduk yang bermalas-malasan di pekarangan rumah, pasangan yang tengah pacaran di atas motor siang bolong, serta sampah-sampah.
Kami tidak berhasil menemukan seorang pun nelayan (Hal ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi kami untuk lebih perhitungan sebelum meliput berita yang berhubungan dengan nelayan. Siang hari adalah saat dimana nelayan-nelayan yang baru saja kembali dari melaut untuk beristirahat, tak heran mereka susah untuk ditemui). Kami lalu memutuskan untuk mendatangi Polisi Laut yang bermarkas di dekat situ. Dari bapak-bapak polisi yang sedang bertugas siang itu, kami dibawa ke sebuah alam perenungan baru akan kondisi Pantai Selatan Jawa.

*Kejahatan: "Wah, di sini sih nggak pernah terjadi kasus besar kayak di Pantai Utara Jawa, mas. Nggak ada fish-laundrying, atau nelayan ilegal. Penduduk sekitar juga jarang ada yang melaut, apalagi nangkapin ikan secara ilegal."
*Keamanan: "Paling banter itu kami nolongin orang yang tenggelam atau orang hilang di laut, mas."
*Fasilitas?: "Kami nggak punya perahu. Jadi kalau ada apa-apa, kami biasanya numpang sama nelayan lokal. Agak nggak enak juga sih sama mereka mas, kami sering ngerepotin kalau sedang patroli rutin pakai kapal mereka. Ya, mau gimana lagi... Dari jaman kapan juga kami udah ngajuin permohonan fasilitas ke Mabes tapi sampai hari ini belum ditanggapi..."


Karena tidak berhasil mendapatkan informasi yang kami inginkan, kami lalu memutuskan untuk pergi ke pantai selanjutnya: Sadeng. Pantai Sadeng merupakan pelabuhan tempat kapal-kapal nelayan yang menangkap ikan di laut selatan mengucurkan tangkapan mereka. Lusanya, dengan beranggotakan lima orang, kami berangkat ke Sadeng yang terletak di Kab. Gunung Kidul.

Penulis di Pantai Glagah. Di belakangnya ada banyak sampah plastik. Dan laut yang berombak keras.

Luarbiasa.

Sesuai namanya, Gunung Kidul, terletak di wilayah pegunungan. Kami harus "melompati" dulu daerah Wonosari untuk akhirnya sampai ke Sadeng. Jalanan berbelok-belok dan naik-turun selama hampir 2 jam terbukti mampu membuat dua orang rekan saya (Indri dan Mayo) muntah-muntah. Belum lagi keganasan penduduk lokal yang ugal-ugalan mengendarai kendaraan bermotor. Petrus yang menyetir mobil harus ekstra hati-hati karena jalanannya curam dan terletak pas di tepi jurang. Akhirnya, setelah berjuang melewati gunung-gemunung, sampailah kami di Sadeng. Lokasinya cukup unik karena Sadeng merupakan sebuah teluk yang terletak tepat di kaki gunung dengan wajah yang langsung bertemu laut.

Nama Sadeng mengingatkan saya akan sejarah. Sebuah pemberontakan terjadi di wilayah bernama Sadeng, menurut kitab Negarakertagama. Pemberontakan yang terjadi di masa pemerintahan Prabu Jayanegara tersebut berhasil dipadamkan oleh Gadjah Mada. Sampai hari ini, para ahli sejarah Majapahit masih berselisih mengenai penempatan lokasi Sadeng yang sebenarnya. Apakah mungkin Sadeng yang dimaksud itu terletak berkilo-kilo meter jauhnya dari pusat pemerintahan di Trowulan? Entahlah. Yang jelas pantai ini adalah pantai pedalaman. Di Sadeng kami mendapatkan informasi bahwa para nelayan tidak ada yang berani melaut hingga melebihi 117 kilometer dari pantai. Perahu-perahu mereka tidak kuat jika harus berlayar sampai ke perbatasan. Lagian di perbatasan selatan Indonesia juga tidak ada apa-apa, beda dengan perbatasan sebelah utara yang biasa menuai konflik karena keberadaan jalur "Segitiga Emas" (area perputaran senjata, barang, maupun hasil laut ilegal yang terletak di laut Cina Selatan antara Vietnam, Malaysia, dan Filipina). Daerah Sadeng memang kaya ikan. Nelayan-nelayannya masih menggunakan "rumpon" atau alat tradisional dari Sulawesi Barat yang dipakai untuk "memanggil" dan "menandai" ikan.

Petualangan di Pantai Selatan saya berlanjut hingga hari minggu tanggal 27 November 2011 yang lalu. Bertepatan dengan Tahun Baru Muharram atau tanggal 1 Suro menurut penanggalan Jawa, di Pantai Parangkusumo selalu diadakan Upacara Labuhan. Labuhan berarti melarungkan berbagai macam hasil bumi ke laut selatan sebagai tanda terima kasih kepada Sang Ilahi atas anugerah yang Ia berikan selama setahun ini. Ritual ini sebelumnya diawali dengan banyak variasi: ada yang bermeditasi, mencuci pusaka leluhur, mandi di tujuh sungai yang berbeda atau bahkan pradaksina (memutari suatu tempat yang dianggap keramat searah jarum jam). Singkat cerita, saya dengan ditemani Andre mereportase prosesi Labuhan untuk kepentingan artikel bertajuk budaya di bakal majalah kami itu.


Kami berangkat jam 7 pagi menuju Bantul. Sepanjang jalan kami begitu menikmati udara yang bersih dan cuaca yang oke. Sesampainya di sana yang kami temukan hanyalah sisa-sisa sesajen dari orang-orang yang tadi malam bermeditasi di Parangkusumo. Parangkusumo yang berlokasi tepat di sebelah Parangtritis memang lebih kecil, namun aura kesejarahan dan mistiknya jauh lebih besar. Di tempat ini terdapat dua bongkah batu karang yang dipercaya menjadi tempat bertemunya Panembahan Senopati dan Ratu Kidul ratusan tahun yang lalu. Ibaratnya, batu karang tersebut menjadi monumen peringatan atas persekutuan antara Penguasa Laut Selatan dan Penguasa Mataram itu. Hari itu memang tidak ada prosesi Labuhan (saya juga bingung, padahal berdasarkan booklet festival di Yogyakarta yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata seharusnya ada lho), namun saya sempat mewawancarai Surekso (Juru Kunci) situs batu karang Senopati dan seorang murid padepokan Kumbang Malam yang sedang bersiap-siap untuk mengadakan tradisi tahunan perguruan mereka. Info lebih lanjut bisa dibaca di Majalah BPPM Mahkamah Fakultas Hukum UGM kalau sudah terbit nanti ya (promosi duluu... hihihi).

Gapura Pantai Parangkusumo. Makam Syech Bela-Belu
 terletak di bukit kecil yang menjadi background
Nah, peliputan saya ini bisa digolongkan sebagai reportase klenik. Lho? Pasalnya, ada beberapa hal di luar akal pikiran yang terjadi pada saat saya mengambil gambar ritual 1 Suro Padepokan Kumbang Malam. Kamera yang baterainya masih baru tidak dapat mengambil gambar apa-apa selain warna putih. Setelah saya ulang berkali-kali, kamera mendadak mati. Menurut teman saya itu mungkin karena saya tidak minta ijin dulu kepada mereka untuk mengambil gambar. Bisa jadi sih. Apalagi di tempat-tempat keramat seperti itu, energi batinnya memang besar, nggak heran kalau alat elektronik pun terpengaruh sehingga mengalami gangguan.
Pantai Selatan memang sungguh misterius. Pintu Gerbang Keraton Segara Kidul yang dipimpin oleh Sang Kanjeng Ratu ini sudah menyihir imajinasi penduduk pesisir jauh sebelum pengaruh Hindu-Buddha dan Islam memasuki nusantara. Tradisi Labuhan itu sendiripun sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Gusti Allah, semata-mata hanya kebiasaan kejawen untuk memuja Ratu Pantai Selatan. Hanya saja, semenjak agama Islam menjadi agama resmi Kerajaan Mataram (ditandai dengan dongeng kesuksesan Sunan Kalijaga mengislamkan Kanjeng Ratu Kidul) maka intisari Labuhan diganti sebagai tradisi syukur kepada Gusti Allah.

Batu Karang Panembahan Senopati
Laut Selatan adalah aset bangsa yang sering terlupakan. Lihat saja, Menurut Badan Kelautan dan Perikanan, di wilayah Pelabuhan Ratu sudah ditemukan kurang lebih 134 situs harta karun! Kita tentunya masih ingat dengan harta karun di perairan Cilacap yang ternyata menyimpan banyak peninggalan VOC, disinyalir ada 51 lokasi kapal tenggelam di sana. Tempat-tempat harta karun tersebut merupakan spot-spot bangkai kapal berbagai zaman yang membawa rupa-rupa perhiasan. Dengan kata lain, Laut Selatan ternyata memang menyimpan harta karun secara harfiah. Sayang... Perhatian pemerintah dan masyarakat kepada daerah ini belum sebesar perhatian pemerintah terhadap daerah-daerah kelautan di Pantai Utara Jawa. Buktinya, ekspedisi Java Trench 2002 yang berusaha untuk mengungkap kondisi fisik Laut Selatan hingga ke dasar palungnya didanai oleh peneliti asing dari Jepang dan Jerman. Padahal belakangan ini sedang gembar-gembor penelitian mengenai energi yang bersumber dari gerakan pasang air laut sebagai alternatif bahan bakar. Coba bayangkan, seandainya benar-benar ditangani dengan serius, maka pasokan energi dari arus pasang laut bisa mencapai 6.000 MW! Wah... Wah... Indonesiaku!

Mengutip bunyi plakat di Museum Kelautan yang ada di daerah Wirobrajan, Yogyakarta: Provinsi DIY merupakan provinsi miskin kekayaan laut yang terletak di negara maritim. Masih banyak potensi yang belum digali dari Pantai Selatan. Masih banyak pengembangan yang bisa dimanfaatkan oleh warga sekitarnya. Sayang, hanya karena ketidakramahan ombak dan keterbatasan sarana, Laut Selatan hanya menjadi terkenal karena mitos-mitos Nyi Roro Kidul. Generasi muda bangsa, terutama mereka yang hidup di pesisir harus mulai memikirkan bagaimana cara mengembangkan daerah mereka dengan kreatifitas seraya memanfaatkan Sumber Daya Alam dan kearifan lokal yang ada. Ayo, ini PR buat kita semua!
Pecahan keramik yang ditemukan oleh mahasiswa arkeologi laut
Fakultas Ilmu Budaya UGM di sebuah bangkai kapal 

Thursday, December 15, 2011

Bhisma Dewabrata

No, he's not one of the SM*SH personel. You've googled the wrong Bhisma if you got here hoping to see a dancing gay-looking young adult with braces on his teeth.


Anyway, saya mengagumi tokoh wayang yang punya nama kecil Dewabrata ini. Bagi saya kisah keikhlasan Bhisma yang rela bersumpah untuk tidak menikah demi adik dan ibu tirinya serta kesetiaannya dalam memegang teguh janji kepada cucu-cucu Kurawa untuk berperang bersama mereka amat mengharukan. Kedua sumpahnya tersebut telah memegang peranan besar dalam alur cerita Mahabharata, sehingga dapat disimpulkan tanpa sosok Bhisma, Abyasa tidak akan dapat menciptakan kisah seindah itu.

Dia menjadi satu-satunya manusia yang diperbolehkan oleh para dewa untuk memilih sendiri saat kematiannya. Maka tak heran, meskipun sudah dihujani panah oleh Arjuna, kakek tua renta nan sakti ini masih dapat hidup berbulan-bulan di padang Kurusetra hingga matahari merambat di Lintang Utara bumi.


Saya pun ingin seperti Bhisma. Memahami keikhlasan dan kesetiaan. Seperti lilin yang menyala dalam kegelapan, meskipun mengorbankan dirinya sendiri tapi Ia mampu menjadi cahaya bagi orang lain.