Saturday, June 3, 2017

La Galigo yang ditulis oleh perempuan


            Tahun lalu, di suatu musim gugur saya meninggalkan Leiden bersama seorang penulis muda asal Makassar untuk menemui Sirtjo Koolhof, seorang pakar lagaligologi yang bermukim di kota Deventer. Pak Sirtjo, demikian saya menyapa beliau, sudah malang-melintang di dunia penelaahan epos pra-Islam bangsa Bugis dari Sulawesi Selatan itu. Beliau kerap menjadi pembicara di berbagai seminar baik lokal maupun internasional sehubungan dengan La Galigo maupun karya-karya sastra Bugis tradisional lainnya. Kenalan saya yang seorang penulis ini sedang dalam tahap pengumpulan bahan-bahan untuk karyanya selanjutnya. Ia sengaja datang ke Belanda untuk mengakses arsip-arsip yang berhubungan dengan kaum bissu di era gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar membayang-bayangi jazirah Sulawesi Selatan pada dekade 60-an. Pak Sirtjo dan koleksi buku-bukunya yang lengkap dipercaya dapat membantu menghayati tragedi tersebut.
 
Pak Sirtjo saat menjelaskan isi salah satu naskah La Galigo di Middelburg, Belanda
            Di tengah obrolan santai mengenai sejarah Sulawesi Selatan, seperti biasa saya dan Pak Sirtjo terjebak diskusi mengenai naskah La Galigo. Saat itu beliau, diselingi seruputan-seruputan kecil pada cangkir tehnya, mengatakan bahwa ada kemungkinan epos La Galigo itu dikarang oleh perempuan. Membaca La Galigo katanya seperti membaca kisah yang dari gayanya bisa dinisbatkan kepada seorang perempuan. Sebenarnya ini tidak mengherankan. Toh, merupakan fakta bahwa pada proses penyalinan dan penghidupan kembali epos ini ada banyak sekali tangan-tangan perempuan yang terlibat di dalamnya. Penyalin naskah La Galigo terpanjang di dunia yang disimpan oleh Perpustakaan Universitas Leiden saja adalah seorang bangsawan wanita terpelajar asal negeri Tanete. Begitu pula dengan passureq (pelantun lisan La Galigo) yang masih melestarikan tradisi menyanyikan naskah ini, kebanyakan dari mereka adalah perempuan-perempuan tua yang kemudian menurunkan pula kemampuan tersebut kepada generasi perempuan berikutnya. Salah satunya yang paling terkenal dan sering dijadikan narasumber untuk penelitian tradisi lisan ialah Indoq Mase dari kabupaten Wajo.

Ditulis oleh perempuan (?)
Ada beberapa faktor yang mendasari pertimbangan Pak Sirtjo. Pertama, perempuan memiliki akses khusus terhadap epos ini, akses yang tidak dimiliki kaum pria malah ujar beliau. Konon di zaman kerajaan Bugis kuno dulu, perempuan adalah pemegang kontrol utama untuk urusan rumah tangga istana. Perempuan bertanggungjawab pula untuk mempersiapkan upacara-upacara serta ritual-ritual pelengkap lainnya. Pengetahuan yang mereka miliki ini mahal harganya, sebagaimana pengetahuan untuk melayarkan kapal yang hanya dikuasai oleh kaum pria. Itulah sebabnya apabila kita membaca beragam naskah La Galigo, detail terkait kehidupan istana mulai dari tata krama, upacara-upacara adat yang dilangsungkan hingga perlengkapan-perlengkapannya disebutkan secara seksama. Terkadang satu naskah saja bisa menghabiskan berbaris-baris kalimat hanya untuk menyebutkan benda-benda maupun persiapan sebuah upacara di dalam istana. Diterakannya detail mengenai upacara serta kehidupan di istana menunjukkan bahwa epos ini harusnya diciptakan oleh seseorang yang amat familiar dengan seluruh tradisi tersebut.  

Di satu sisi, yang juga menjadi alasan kedua, kurangnya pengetahuan si pengarang terhadap kehidupan di laut merupakan salah satu faktor penting penunjang nuansa femininitas dalam epos ini. La Galigo tidak dapat dijadikan acuan sebagai peta maritim maupun pedoman untuk berlayar, sebab meskipun mengambil laut sebagai salah satu latarnya serta menyebut nama-nama daerah yang hanya bisa dijangkau via laut (seperti Gima, Taranati, Jawa ri Aseq/Lauq, Sunra, Majapaiq, Wolio, dan seterusnya) terdapat banyak kesalahan teknis serta gambaran yang kurang tepat terhadap kehidupan laut di dalamnya. Seorang peneliti maritim asal Jerman bernama Horst Liebner pernah membuat tulisan yang berupaya untuk merekonstruksi pelayaran Battara Lattu dari Luwu menuju ke negeri Tompoq Tikkaq, tempat terbitnya matahari. Usahanya itu berujung dengan kesimpulan bahwa pelayaran tersebut sejatinya hanyalah khayalan. Deskripsi mengenai arah angin maupun bentuk kapal, menurutnya tidak tepat. Sebagaimana tidak tepatnya menyebut La Galigo sebagai sebuah naskah sejarah, demikian pula halnya La Galigo sebagai sebuah manual pelayaran. Liebner bahkan menyebutkan lebih jauh bahwa perahu-perahu yang diceritakan di dalam La Galigo sejatinya merupakan “perahu mimpi” yang terinspirasi dari perahu bercadik ukuran kecil yang biasa digunakan nelayan.

Kedekatan perempuan bangsawan dengan dunia literasi pun patut pula diperhitungkan sebagai salah satu faktor lainnya. Di saat pangeran-pangeran diajarkan cara berburu maupun berbasa-basi pada jamuan-jamuan dengan penguasa-penguasa daerah, perempuan-perempuan di istana tercipta menjadi golongan elite intelektual yang menguasai tidak hanya seni-seni halus melainkan juga literatur dan filsafat. Peran perempuan yang dominan di dalam istana membuat mereka banyak menghabiskan waktu dengan pustaka kerajaan yang menyimpan kearifan lokal dari masa lalu. Tidak heran jika Colliq PujiE sang penyalin naskah La Galigo yang diberi amanat untuk mengurusi hal-ihwal persuratan diplomatis oleh raja Tanete juga menghasilkan banyak karya sastra. Beberapa di antaranya yang masih dikenang antara lain kanon sejarah Tanete (yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda oleh B.F. Matthes, si pengumpul naskah La Galigo) dan puisi-puisi yang ditulis menggunakan aksara baru ciptaannya sendiri. Melalui tangan-tangan perempuan inilah La Galigo hidup. 
 
Naskah La Galigo koleksi Perpustakaan Universitas Leiden
Teori Pak Sirtjo tersebut tentu membuat saya tenggelam dalam perenungan. Selama ini ada yang mengira-ngira bahwa epos tersebut merupakan karya I La Galigo, nama salah satu karakter yang disebut di dalamnya. Pendapat tersebut didasari oleh sugesti Raffles di History of Java. Akan tetapi banyak yang meragukan teori tersebut. Pengarang epos La Galigo belum diketahui siapa hingga hari ini, bisa jadi orang atau sekelompok orang dan bisa saja laki-laki atau perempuan. Jika pendapat Pak Sirtjo benar maka kemungkinan La Galigo tidak hanya diciptakan oleh seorang perempuan. 

Menurut saya La Galigo ialah sebuah tradisi yang dikuasai oleh golongan perempuan. Tradisi ini dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan mereka di tengah transisi masyarakat pertanian tradisional menuju ke perdagangan yang lebih didominasi oleh kaum pria. Kuasa atas agama dan pemerintahan, dua hal pokok di tengah kehidupan bermasyarakat, harus dipertahankan oleh mereka. La Galigo pun menjadi media legitimasi mereka dalam menancapkan klaim perempuan di khazanah kebudayaan Bugis agar tidak ditekan oleh dominasi pria. Jika tidak demikian sedari awalnya, setidaknya karakter feminin La Galigo telah ada pada bentuknya yang kita terima hari ini. Apakah ada hubungan antara La Galigo yang disakralkan dan dijaga oleh komunitas perempuan dengan kedatangan kitab suci agama baru yang mulai mengambil alih fungsi religiusnya? Yang jelas, kehadiran agama baru memang berhasil menyingkirkan kepercayaan lokal ke pedalaman dan merubah pembacaan ayat-ayat La Galigo menjadi ayat-ayat Alquran.

Dewi-dewi agung di langit dan di dasar laut
Ada banyak bahasan menarik mengenai ketokohan perempuan di dalam La Galigo. Salah satunya yang muncul di episode paling awal epos ini ialah kedudukan perempuan yang diwakili oleh Datu Palinge. Dalam pantheon Bugis kuno beliau dianggap sejajar dengan sang suami, Datu PatotoE, Dewa Penguasa Takdir. Dalam menjalankan perannya sebagai penguasa langit, Datu PatotoE tidak pernah terpisah dari Datu Palinge, Dewi Pembentuk Kehidupan. Fragmen-fragmen yang menceritakan mengenai kehidupan di langit selalu menyebut Datu PatotoE dan Datu Palinge duduk sebelah-menyebelah. Datu Palinge berperan aktif memberikan petuah dan nasihat kepada sang suami. Sang suami pun sebaliknya, tak dapat membuat sebuah keputusan tanpa melalui persetujuan sang istri. Melalui penggambaran keduanya, La Galigo menjelaskan bahwa kekuatan maskulin langit tak dapat lepas dari entitas ruh feminin mahakuasa yang menyertainya. Selintas persatuan antara Datu PatotoE dan Datu Palinge ini mirip dengan konsep shakti dalam tradisi Hindu, namun berbeda. Power balance yang direpresentasikan dalam kisah-kisah La Galigo ini bukanlah pernyataan bahwa energi feminin merupakan baterai kekuatan maskulin (seperti halnya Durga bagi Siwa) melainkan sebuah penegasan bahwa kuasa ilahiah baru bisa hadir apabila elemen maskulin dan femininnya mampu eksis berdampingan secara konstan

Dunia bawah laut (Toddang Toja atau Perettiwi) yang dipimpin oleh sepasang dewa-dewi adikuasa bernama Guru ri Selleq dan Sinauq Toja pun demikian. Guru ri Selleq merupakan kembaran laki-laki Datu Palinge sedangkan Sinauq Toja ialah kembaran perempuan Datu PatotoE. Sebagaimana kedua saudara mereka di langit, pasangan penguasa negeri bawah laut ini selalu disebutkan bersamaan, duduk sebelah-menyebelah. Di kerajaan bawah laut ini kita dapat menyaksikan adanya pembagian peran yang menarik: Guru ri Selleq sebagai 'pemelihara selat' menguasai laut permukaan sedangkan istrinya yang bersemayam di Istana Besi menguasai bahagian terdalam laut. Laut permukaan yang ramai dilayari oleh manusia memuja Guru ri Selleq agar menjamin keamanan mereka melaut. Laut dalam yang menyimpan hasil laut serta harta karun diberikan persembahan oleh manusia agar kiranya sang ibu Sinauq Toja berkenan membagi kasih sayangnya kepada mereka. Perasaan aman dari Guru ri Selleq dan kasih sayang dari Sinauq Toja membentuk jiwa-jiwa pelaut Bugis yang tak takut mengarungi samudera. Pembagian kekuasaan atas laut luar dan laut dalam ini memimik konsepsi ruang dalam kehidupan keluarga Bugis sehari-hari dimana kaum lelaki menguasai bagian ruang tamu hingga ke halaman rumah (luar) sedangkan kaum perempuan bertanggungjawab atas bilik-bilik hingga ke dapur (dalam).

Selain pantheon lokal dan penguasa-penguasa perempuan yang diilustrasikan sejajar dengan counterpart pria mereka, unsur-unsur feminin yang diserap dari kebudayaan lain pun masuk ke dalam La Galigo dengan nada matriarki yang kental. Mitos dewi padi yang kemungkinan besar diadopsi dari Jawa hidup dalam mitologi Bugis kuno sebagai mitos Sangiang Serri We Oddang Riwu. Apabila di versi Babad Tanah Jawi sang dewi padi menjadi ambisi birahi Batara Guru dan Kala Gumarang, maka di siklus La Galigo ia digambarkan sebagai reinkarnasi atas bayi perempuan pasangan penguasa langit yang meninggal segera setelah dilahirkan. Dari kuburan Sangiang Serri muncul tumbuhan padi serta tanaman makanan lainnya. Tumbuhan padi ini oleh masyarakat Bugis diagungkan dan dipuja sedemikian rupa, dirumahkan pada sebuah tempat khusus bernama rakkeyang yang terletak di atas loteng, titik tertinggi rumah panggung mereka. Setiap rumah memiliki sanctuary untuk roh feminin yang dipercaya menyediakan pangan, kehangatan serta kemakmuran di dalam keluarga tersebut. Rakkeyang ini tidak saja menjadi kuil bagi Sangiang Serri, ia juga mempunyai fungsi sebagai ruang tidur anak-anak gadis Bugis yang belum menikah. 
   
Penguasa-penguasa matriarki dan imam-imam perempuan dunia tengah
            Di Dunia Tengah, La Galigo menceritakan peran yang dimainkan oleh perempuan dalam beraneka-ragam skenario. Ada kerajaan-kerajaan bermodel matriarki seperti Alecina yang dipimpin oleh We Tenriabang. We Tenriabang tidak hanya menjalankan pemerintahan dalam negeri namun juga aktif berpartisipasi mengurus hubungan internasional serta berada di garda terdepan pada peperangan-peperangan. Di negeri Alecina ini sepertinya sudah menjadi tradisi bahwa kehendak perempuan memang lebih memiliki arti ketimbang pria. I We Cudai, putri mahkota Alecina yang dilamar Sawerigading sang protagonis utama dalam epos ini contohnya, digambarkan sebagai perempuan berkarakter keras yang punya kontrol atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Opunna Cina. I We Cudai yang mempunyai nama lain “Daeng Risompa” (Puan yang disembah) ini menjadi sebab hangus terbakarnya negeri Alecina oleh tentara Sawerigading karena menolak dijodohkan dengan pria asing dari Luwu tersebut. Opunna Cina yang berkedudukan sebagai sovereign tertinggi bahkan tidak dapat membujuk, memerintah atau memaksa sang putri untuk menuruti kemauannya. Gelar Opunna Cina yang secara simultan digunakan oleh pasangan suami-istri La Sattumpugi dan We Tenriabang juga mengilustrasikan fleksibilitas perspektif dalam memandang tokoh pemimpin yang tidak didasari oleh spesifikasi gender tertentu seperti pada istilah “raja” dan “ratu”. 

            Di episode lain, kita menemukan tokoh-tokoh perempuan mandiri yang juga memiliki kontrol penuh atas diri dan perbuatan mereka. Di negeri Pujananti, I La Galigo putra Sawerigading menikahi seorang putri lokal bernama Karaeng Tompoq. Tidak berapa lama menetap di sana, I La Galigo meneruskan pelayaran untuk menengok kakek-neneknya di negeri Luwu. Setelah berbulan-bulan lamanya tidak mendengarkan kabar dari sang suami, Karaeng Tompoq beserta istri-istri pelaut yang menjadi awak kapal I La Galigo pun memutuskan untuk menyamar menjadi laki-laki dan berlayar keliling dunia mencari suami-suami mereka. Ekspedisi tersebut berakhir di negeri Alecina saat mereka bertemu. I La Galigo yang tidak mengenali sang istri dalam wujud laki-laki tersebut terlibat perkelahian dengannya. Meskipun selalu menang di setiap pertarungan-pertarungan yang ia hadapi sebelumnya, anehnya kali ini I La Galigo tidak dapat mengalahkan musuh baru yang terlihat tidak asing tersebut. Baru setelah Karaeng Tompoq beserta para pengikutnya menunjukkan wujud asli mereka maka I La Galigo dan awak kapalnya pun tergelak melihat kesungguhan istri-istri mereka tersebut dalam menunjukkan komitmen serta kekuatan yang sebenarnya jauh melebihi kaum pria. 

            Dari episode-episode di atas, perempuan jelas tidak tampil seperti putri yang dikutuk dan harus diselamatkan oleh pangeran tampan seperti halnya dongeng-dongeng patriarkis di Barat pada kurun yang kurang-lebih tidak terlalu jauh terpisah. Pada dasarnya masyarakat Bugis adalah kaum yang bilateral. Mereka tidak berdasar kepada aturan-aturan patriarkal namun juga tidak berbasis kekuatan matriarki. Seiring dengan berlalunya zaman, terutama setelah agama kemudian menempatkan bahwasanya kaum pria harus memimpin sebagai imam, maka fungsi spiritual perempuan pun terpinggirkan. 

Keunikan lain dari budaya Bugis yang tidak direkam oleh La Galigo namun erat kaitannya dengan perempuan ialah keberadaan lima gender. Bissu adalah istilah yang menjadi titik penghubung antara tradisi Bugis kuno dengan Bugis kontemporer. Hari ini kita mengenal sebutan bissu untuk gender kelima dalam kebudayaan Bugis selain orowane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (“perempuan” bertubuh lelaki) dan calalai (“lelaki” bertubuh perempuan). Bissu yang tidak diasosiasikan terhadap salah satu dari keempat gender lainnya ini dihormati oleh masyarakat sebagai pendeta kepercayaan tradisional Bugis. Dulu, kaum bissu amat dihargai karena dipercaya sebagai perantara antara dewa dan manusia, bahkan setelah agama Islam diterima di Sulawesi Selatan. Hari ini golongan bissu terdiri atas sekelompok calabai (dan beberapa orang calalai) yang menguasai ritual serta upacara-upacara adat di daerah. Bissu-bissu ini dalam keseharian mereka ada yang berprofesi sebagai tukang salon maupun perias pengantin, sehingga masyarakat sendiri melihat mereka tak lebih dari sekedar wadam (wanita adam). 

Bergantungnya identitas bissu pada atribut calabai dan calalai tentu saja menarik sebab fenomena tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan tradisi La Galigo. Sejatinya, epos tersebut menyebutkan bissu-bissu berjenis kelamin perempuan, bukan calabai. Bissu yang muncul dari kalangan calabai atau calalai ialah fenomena yang muncul saat masyarakat Bugis memasuki era klasik atau era post-La Galigo. Laporan Portugis dari abad ke-16 memang menyebutkan kehadiran pendeta lelaki yang berdandan seperti perempuan serta berperilaku homoseksual di tengah masyarakat Bugis, namun bissu perempuan tidak disebutkan sama sekali.

Bissu-bissu yang diceritakan di dalam epos La Galigo ialah putri-putri bangsawan yang dipilih oleh langit untuk menjadi pasangan bangsa dewa sehingga mereka sering mengalami trance atau kesurupan saat berkomunikasi dengan dunia atas. Dalam kondisi trance tersebut mereka biasanya akan menari atau menyampaikan pesan dari langit. Salah satu contoh bissu yang terkenal ialah saudari kembar Sawerigading yang ingin ia nikahi sendiri, We Tenri Abeng. Saat Sawerigading berlayar ke Alecina, We Tenri Abeng dijemput pula naik ke atas langit untuk menikah dengan Rammang ri Langiq, pasangan dewanya. We Tenri Dio, anak perempuan Sawerigading hasil pernikahannya dengan We Cudai juga merupakan salah satu bissu yang memainkan peranan penting sebab dipercaya sebagai leluhur bangsa Selayar dalam versi lisan.

Lalu, apa yang menyebabkan hingga bissu tidak lagi “dijabat” oleh perempuan? Itulah misteri yang belum terpecahkan dan membutuhkan lebih banyak lagi penelusuran. Hipotesa sementara saya ialah karena kaum perempuan kehilangan dominasi mereka terhadap La Galigo dan spiritualisme lokal, tergantikan oleh kepercayaan monoteis yang memperkenalkan strukturnya sendiri. Namun toh ini juga tidak dapat memberikan jawaban terhadap kenyataan bahwa mengapa kemudian golongan transgender yang mengambil alih posisi tersebut dari tangan perempuan. Apakah ada tawar-menawar untuk memperbolehkan calabai menjadi imam kepercayaan tradisional sepanjang bukan perempuan yang menjabatnya? 

Di Sulawesi Selatan sendiri sekitar tahun 80-an pernah terjadi fenomena yang cukup unik terkait dengan pengambilalihan peran perempuan oleh kaum calabai. Bangkitnya semangat kesalehan di daerah membuat gerak perempuan di ruang publik menjadi terbatas. Aliran-aliran yang membawa Islam “versi murni” merasuk ke pedesaan dan perlahan merubah cara pandang masyarakat tradisional terhadap femininitas. Perempuan pun sebisa mungkin tidak terjun ke dunia luar, utamanya dunia hiburan. Saat atraksi-atraksi di pasar malam mulai dimarakkan dengan pertunjukan dangdut erotis, beberapa daerah justru melakukan negoisasi moral untuk melindungi kaum perempuan mereka dari tindakan-tindakan yang tidak senonoh dengan mempopulerkan calabai sebagai bintang panggung. Kehadiran calabai dianggap sebagai alternatif yang paling baik untuk mengganti fungsi perempuan di pentas pasar malam. Dalam sekejap maka calabai-calabai ini menjadi idola warga desa: kaum pria tidak perlu merasa risih untuk menyiul-siulinya sementara kaum hawa pun terhibur dengan gerakan-gerakan vulgar yang mereka lakukan saat menari. Liuk-liukkan tubuh yang terlarang untuk mereka lakukan di hadapan umum. Calabai-calabai ini kemudian menjadi ikon: mereka adalah biduan yang menghibur dan juga komoditas seksual bagi para lelaki yang ingin tetap mempertahankan moralitas religius mereka tanpa perlu merasa berdosa karena melakukannya dengan sesama jenis. Apakah proses pergantian peran bissu dari perempuan (sebagaimana yang diceritakan di dalam La Galigo) menjadi calabai dan calalai juga menyembunyikan realita yang sama? Entahlah. Yang jelas hari ini dewa-dewa sudah tak lagi memilih tubuh perempuan-perempuan sebagai rumah mereka. Mereka mengganti inang-inang lama itu dengan tubuh-tubuh lelaki berpakaian perempuan yang menari-nari sambil mengangkat keris. 

Kesimpulannya, apakah La Galigo ditulis oleh perempuan atau sekelompok perempuan, itu masih menjadi misteri seperti halnya peran laki-laki dalam penciptaan epos ini. Satu hal yang pasti, jejak-jejak perempuan sebagai pemegang fungsi vital dalam praktek-praktek pemerintahan maupun spiritualisme Bugis kuno masih dapat kita lacak dari fragmen-fragmennya. Rekonstruksi perspektif atas epos ini dapat memberikan kita gambaran bahwa jazirah Sulawesi Selatan telah mengalami dinamika politik serta revolusi ideologi yang cukup konstan dan massalnya sifatnya selama abad-abad yang tidak direkam oleh sejarah dan setelahnya.

Perubahan-perubahan terus terjadi selama masa sebelum masuknya Islam; setelah Islam diinstitusionalisasikan sebagai agama rakyat; ketika kekuasaan kolonial mulai efektif; setelah Indonesia merdeka dan saat globalisasi mengakrabi kehidupan masyarakatnya. Hari ini saat La Galigo sudah tidak lagi signifikan dalam keseharian akar rumput masyarakat Bugis selain sebagai tradisi atau warisan budaya, narasi perempuan sebagai dewi, penguasa maupun imam dikalahkan oleh cerita-cerita pahit mengenai mahalnya harga panaiq alias mahar nikah yang harus dibayarkan oleh pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita. Kekuasaan lelaki menjadi semakin kuat sehingga tidak heran jika ikon yang ditonjolkan dalam pamflet-pamflet pariwisata Sulawesi Selatan ialah kejantanan pria-pria Bugis dalam mengarungi samudera ketimbang menampilkan wujud perempuan-perempuan mandiri yang melestarikan tradisi literasi dan spiritualisme leluhur mereka.

Makassar,
3 Juni 2017