Friday, April 23, 2010

lose


When I lose something,
On that moment I just realized how much I need the thing
Although I sees it most of time, but when i can’t find it
The thing becoming so important
When i can’t find it
I keep searching, with a hopeful heart to get it back to my side
My properties, freedom, and friends
Any small stuff that seems not really important
When I can’t find one of them, when I need all of them and I can’t get any
I’ll be so sad, my face turns pale and my hearts will hardly trembling
Where can I get them?
i don’t know.
Where can I get them?
How could I know?

Friday, April 2, 2010

Louie Buana: Karena Kita Beda Maka Indonesia ADA




Teman-teman, saya ingin sedikit berbagi cerita dengan kalian.

Hari ini saya pergi ke bioskop di Amplaz bersama saudara Farid Alwajdi untuk menonton sebuah film berjudul My Name is Khan. Sebenarnya kami sudah sejak kemarin merencanakan untuk menonton film ini, sayangnya Bli Edwin yang juga ingin gabung bersama kita ternyata mengalami kecelakaan. Mau tidak mau rencananya terpaksa kami undur, dan akhirnya saya jadi nonton juga walaupun hanya bersama saudara Farid sore hari ini.

Tidak usah berpanjang lebar, yang jelas apa yang akan saya bahas selanjutnya bukanlah mengenai sinopsis film ‘My Name is Khan’, perjalanan saya dari Bulaksumur Residence ke Amplaz, atau anjuran untuk memilih film yang bagus di tahun 2010. Yang ingin saya bagi di sini adalah apa yang saya rasakan dan pikirkan setelah menonton film tersebut.

Saya tidak bohong kalau baru beberapa menit film tersebut diputar mata saya sudah sembab. Yah... gak bermaksud lebay sih, tapi bagaimana pun juga yang membuat saya menangis adalah semacam... de javu (jika bisa dikategorikan sebagai de javu). Perasaan sedih yang sama dengan perasaan yang dirasakan oleh Khan ketika Ia harus mendapatkan pemeriksaan serta interview extra dari petugas bandara Amerika hanya karena Ia adalah seorang Muslim.

Dua tahun lalu, ketika saya tinggal di Amerika, saya sempat mengalami peristiwa yang sama. Agak konyol memang, ketika baru pertama kali tiba saya ditahan di bandara dan mendapatkan pemeriksaan extra karena nama depan saya adalah ‘Muhammad’. Yup, nama yang kedengarannya Islam banget. Apalagi saya berasal dari Indonesia. Sepatu dicopot, jaket dibuka, laptop dimasukkan ke dalam scanner terpisah, dll. Kesan pertama saya langsung buruk terhadap Amerika yang ‘Maha Kuasa’ sehingga bisa mengobok-obok privasi individu saat itu juga.


Berlanjut ke kehidupan selama di Amerika. Saya memang tidak pernah mengalami diskriminasi secara langsung selama bersekolah di sana. Setidaknya teman-teman di sana baru mengetahui ternyata saya adalah seorang Muslim menjelang kepulangan kembali ke Indonesia di tahun 2008. Yang mereka tahu adalah saya bernama Louie Buana dan anak dari sebuah keluarga imigran dari Guatemala (hahaha... yang terakhir itu benar-benar salah kaprah. Tidak ada yang percaya ketika untuk pertama kalinya saya memperkenalkan diri dari Indonesia, salah satu negara di benua Asia). Katanya kulit saya terlalu gelap untuk ‘menjadi’ orang Asia. Walhasil, mereka pun menisbatkan saya sebenarnya berasal dari Guatemala (kebetulan banyak keluarga imigran dari Guatemala yang tinggal di kota Athens). Hanya sedikit yang mengetahui bahwa saya sebenarnya adalah seorang Muslim, di antaranya adalah Unita, a clerk on Athens High School Attendance’s Office dan Mr. Read, guru di kelas American History.

Cerita berlanjut, setiap pagi di kelas American History kami diputarkan Channel One, saluran TV khusus berisi berita singkat selama 10 menit. Pagi itu (sekitar bulan Oktober kalau tidak salah) berita yang menjadi tajuk utama kebetulan adalah kisah mengenai seorang guru berkebangsaan Inggris yang ditahan di Sudan karena menamai boneka Teddy Bear yang Ia berikan kepada muridnya. Sang guru ditahan karena pelecehan agama oleh pemerintah Islam garis besar. Berita tersebut mengundang keributan di kelas saya. Beberapa orang classmates mengatakan hal-hal yang menusuk hati seperti “Islam agama yang aneh”, “I would name my Teddy Bear as Jesus and no one will arrest me in United States”, dll. Sedihnya lagi, sang guru tiba-tiba mendatangi saya dan tiba-tiba bertanya: “Will you get arrest in Indonesia if you named your Teddy Bear Muhammad, Louie?”.


Salah satu hari yang paling menyedihkan adalah 9/11. Saat itu di setiap kelas, semua orang mengadakan renungan atas peristiwa mengenaskan yang telah membunuh banyak orang serta meluluh lantakkan The Twin Towers tersebut. Sehabis renungan, semua anak bercerita apa yang terjadi dengan mereka pada hari itu, dan bagaimana respon mereka begitu mengetahui bahwa Amerika baru saja diserang oleh Islamic extremist bernama Osama bin Laden. Yang saya takutkan pun terjadi. Generasi yang lahir untuk menyaksikan peristiwa dahsyat tersebut adalah generasi yang menjadi korban dari mainstream media yang menampilkan citra Islam dan Timur Tengah secara buruk. Komentar-komentar mereka mengiris hati saya yang menjadi crypto-Muslim saat itu. Tidak ada yang sadar bahwa saya adalah seorang Muslim dan saya pun hanya bisa diam di tengah komentar mereka yang menyudutkan Islam. Sebelas September telah mengawali sebuah era baru di dunia kita. Dan yang terkena dampaknya bukan hanya orang-orang yang beragama Islam saja, namun seluruh manusia yang terlanjur tercebur di dalam globalisasi internasional.


Sebelum tinggal di Amerika, saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi seorang minoritas yang menjadi sorotan dunia secara blak-blakan. Tapi bukan berarti sebelumnya saya tidak dapat memahami perasaan orang-orang yang membentuk satuan terkecil dalam komposisi negara Bhinneka Tunggal Ika ini. Saya lahir di Timor-Timur, negara dengan mayoritas penduduknya beragama Katolik Roma. Saya berteman dengan kawan-kawan beragama Katolik tanpa memandang perbedaan, pun mereka menerima saya dengan ramah dan terbuka. Setelah memasuki jenjang SMP saya pindah ke Bali. Di sana sekali lagi saya berada di tengah warga yang beragama Hindu. Walaupun secara konsensus penganut Hindu Dharma di Indonesia adalah minoritas, di Pulau Dewata mereka memegang kendali nomer satu. Saya tidak pernah mengalami diskriminasi di sana, dan saya pun amat menyayangi teman-teman saya yang beragama Hindu. Sampai hari ini pun kami masih keep in touch. Amat berbeda sewaktu saya berada di Amerika, segalanya terasa aman-aman saja dan membahagiakan.

Keluarga saya sendiri amat multikultural. Ibu saya berdarah Jawa-Bugis dan ayah saya keturunan Mandar asli. Mereka berbicara dengan bahasa daerah yang berbeda dan budaya yang berbeda. Sejak kecil saya telah diajari untuk menghargai perbedaan dan mencintai kemajemukan. Berbeda itu tidak salah, yang salah adalah jika kita tidak dapat menghargai apa yang kita miliki dan mulai menyerang orang lain karena apa yang mereka miliki.

Kawan-kawan, negara kita adalah negara yang terdiri dari ratusan suku dan banyak agama. Jika kita tak dapat menghargai arti kesatuan dan persatuan dengan sepenuh hati, niscaya hanya dalam waktu 10 tahun saja tidak akan ada lagi negara berlambang Garuda yang berdaulat di muka bumi. Apa yang terjadi di negara yang menjunjung HAM seperti Amerika adalah sebuah hal yang amat disayangkan. Bukan berarti saya membenci Amerika, sejujurnya saya amat mencintai negara tersebut dengan segala kehebatan dan kemajuannya. Hari-hari saya selama tinggal di sana pun secara garis besar membahagiakan.

Amerika adalah tanah tempat keluarga, teman-teman, dan guru-guru yang saya cintai berada. Saya telah berjanji kepada mereka, suatu saat saya akan kembali ke sana, menjadi Louie yang lebih baik lagi.

Terakhir, saya mengajak teman-teman semua untuk selalu menghargai perbedaan serta memikirkan perasaan orang lain yang (baik secara psikis maupun jasmani) tidak sama dengan kita. Despite the controversy, problems, and missunderstandings that occured in this 20th Century, we shall continue to build a better future for the next generations. We shall overcome, because deep in my heart i do believe that; we shall overcome someday.