Monday, March 11, 2013

Ia Tetap Berdiri

Warga fakultas hukum kaku, tidak peduli lingkungan dan keadaan sekitar, serta tidak berseni? Kemungkinan besar iya. Saya saksinya. Di tempat saya belajar menuntut ilmu selama tiga tahun  belakangan ini saya menyaksikan bagaimana untuk hal simpel dan se-obvious patung saja tidak ada yang peduli.

Patung? Memang apa pedulinya mahasiswa hukum dengan patung?

Sini, saya ceritakan duduk perkaranya.
Di fakultas saya, ada dua buah patung yang ditempatkan di ruang publik. Yang pertama merupakan patungnya Pak Koesoemadi. Beliau merupakan tokoh yang berjasa dalam pendirian sekolah hukum ini.


Patung kedua ialah sebuah replika 'Garuda Wisnu" setinggi 2 meter. Garuda Wisnu ini terbuat dari kayu, konon sengaja dibuat kembar oleh seorang seniman Bali sesuai pesanan alumni Fak. Hukum yang telah mapan dan menjadi duta besar Republik Indonesia untuk Swiss. Si dubes ini menghadiahkan sebuah patung untuk alma maternya tercinta, sedangkan yang satu lagi Ia boyong untuk diletakkan di ruang kerjanya di Swiss. Patung ini sekarang terletak di Gedung IV Fak. Hukum UGM.

Kedua patung ini fungsinya tidak untuk disembah-sembah atau dipuja-puja (dangkal sekali jika ada yang menuduh demikian!), melainkan sebagai hiasan. Yup, memang patung itu berfungsi sebagai penyedap mata, pelengkap keindahan seni arsitektur dan lain sebagainya. Tapi ada satu fungsi patung itu, fungsi utamanya, yang kini mulai terlupakan.

Kedua patung itu merupakan sebuah monumen, penanda jati diri, pengingat akan suatu peristiwa tertentu, dan bahkan menyimpan makna-makna simbolis tertentu. Patung Pak Koesoemadi adalah sebuah perwujudan dari cita-cita untuk menciptakan insan penegak hukum di negara yang saat itu baru seumur jagung. Mimpi dimana suatu saat nanti negara hukum yang berdemokrasi terwujud di Asia Tenggara. Negara dimana semua orang setara di hadapan hukum dan keadilan (entah itu distributiva atau kommutativa) ditegakkan.

Kedua patung tersebut sekarang benar-benar cuma menjadi hiasan di fakultas saya. Miris melihat patung Pak Koesoemadi yang tersembunyi di balik jambangan bunga besar, di ceruk yang bahkan tak diperhatikan orang. Lebih miris lagi melihat patung Garuda Wisnu besar yang terpajang hampa di tengah Gedung IV. Setiap orang melewatinya setiap hari, sekedar lewat tanpa bertanya dalam hati "mengapa patung ini ada di sini? Apa sejarahnya?". Jangankan bertanya, dibersihkan saja tidak. Selama tiga tahun berkampus di FH UGM, tidak pernah sekalipun saya melihat patung ini dibersihkan. Walhasil debu patung ini luarbiasa tebalnya, setebal make up mahasiswi semester baru (yang masih menganggap kalau kampus itu adalah mall).

Warga fakultas hukum kaku, tidak peduli lingkungan dan keadaan sekitar, serta tidak berseni? Kemungkinan besar iya. Saya saksinya. Untuk benda se-artistik, seindah, se-filosofis kedua patung itu saja mereka yang sering berkoar-koar tentang keadilan dan rakyat kecil, sama sekali tidak sensitif. Tidak aware. Tidak tanggap. Ketidakpedulian terhadap apa yang ada di depan mata, terhadap apa yang jelas-jelas berada di sekitar kita tercampakkan oleh sesuatu yang lebih besar nun jauh di sana, di luar kampus.

Haruskah ini dipermasalahkan? Persoalan sepele macam patung ini? Yah, semuanya bermula dari patung di FH UGM, lalu ke Lambang Negara, ke Bendera Negara, Lagu Kebangsaan, dan seterusnya dan seterusnya. Simbol, bagi segelintir orang yang kering filosofi, adalah tidak berharga.

Saya tidak tahu. Yang jelas saya kecewa. Kedua patung itu pun jika seandainya dapat bicara pasti akan mengutarakan hal yang sama. Betapa kini makna tidak dihargai.

Namun, kedua patung itu tetap berdiri.

Sunday, March 3, 2013

Menusantarakan Agama Barat

Saya cinta Indonesia.

Yang membuat saya cinta negeri ini di tengah carut-marutnya korupsi serta krisis kepercayaan terhadap pemimpin bangsa sendiri itu adalah karena budaya dan manusianya. Ya, tidak muluk-muluk juga sih, bukan maksud saya untuk menjadi seorang etnosentris yang beranggapan bahwa budaya Indonesia berada di atas segala bangsa di dunia. Tidak juga kemudian ikut-ikutan latah dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah Atlantis (nama yang sangat asumtif dari naskah Yunani yang dipertanyakan keotentikannya, mungkin benar dulu ada benua tenggelam di sekitar Pasifik dan Samudera Hindia tapi namanya bukan itu), asal-mula peradaban (ada banyak peradaban di negeri ini tapi kita bukan yang tertua), asal-mula manusia (konon Adam turun di Afrika) dan segala macamnya itu. Satu hal yang pasti adalah bahwa Indonesia ini memiliki banyak keunikan kearifan lokal, sejarah serta manusia-manusia berkarakter yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Hari minggu kemarin saya pergi ke Ganjuran. Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin beziarah ke tempat ibadah umat Nasrani (Katolik Roma) yang tergolong unik ini. Sebelumnya saya hanya mendengar tentang Ganjuran dari teman-teman saya yang beragama Katolik di kampus.
"Ada tuh gereja bagus banget di Ganjuran. Arsitekturnya Jawa gitu, ada candinya pula. Lokasinya tenang, enak dipake buat meditasi. Kamu pasti suka deh!" celetuk salah seorang kawan saya.
Penasaran, saya lalu rajin menggoogle tentang gereja ini. Terus terang saya terkesima, bahkan hanya dari info-info yang saya dapatkan di internet. Awalnya saya mengira gereja ini sebenarnya adalah sebuah situs candi Hindu-Buddha dari zaman Mataram di Bantul yang kemudian di-convert menjadi tempat ibadah Nasrani. Nyatanya tidak. Arsitek Belanda bernama J. Yh. Van Oyen sengaja didaulat oleh dua orang pengusaha pabrik gula lokal asal Jerman untuk menghadirkan semangat Rerum Navarum alias semangat mencintai sesama (utamanya masyarakat Jawa) melalui kehadiran gereja tersebut. Sengaja dipilih bangunan bergaya anak-Candi Prambanan agar dapat menimbulkan kesan yang membumi dengan kebudayaan masyarakat pribumi. Meskipun sempat dilanda gempa pada tahun 2006, gereja itu kembali bangkit berdiri hingga saat ini pun masih dapat digunakan untuk beribadah.
Kemarin akhirnya keinginan saya untuk melihat langsung gereja unik ini terwujud. Bersama dengan Chandrawulan Hardita, sahabat saya di Fakultas Hukum UGM, kami bermotor hingga ke perbatasan Jogja-Bantul. Di sebuah Indomaret kami berhenti dan memarkir motor. Sesuai arahan warga sekitar, kami lalu berdiri di pinggir jalan untuk menyetop Bus N menuju ke arah Samas. Lokasinya cukup jauh juga, 11 kilometer dari Pojok Benteng Wetan. Setelah dengan sabarnya kami menunggu sambil kepanasan di bawah terik srengenge Jogja, akhirnya bus yang kami nanti datang juga. Waktu itu sekitar jam 11.00 dan perjalanan dari tempat kami menunggu bus hingga ke Ganjuran memakan waktu 15 menit.

Gereja Ganjuran ternyata berada di dalam sebuah kampung yang tidak dimasuki oleh bus. Mau tak mau kami akhirnya turun di depan gerbang kampung tersebut. Untungnya ada dua orang tukang ojek yang sedang mengaso di dekat situ. Ketiadaan pilihan lain membuat kami pasrah saja ditariki Rp 5.000,00 untuk di antar ke lokasi gereja. Sesampainya di depan gereja tersebut, segala perasaan letih kami langsung hilang! Gapura gerejanya yang bergaya pura dan dihiasi oleh relief malaikat berpakaian ala Jawa membuat badan kami segar kembali.

Kompleks gereja ini lumayan luas. Ada pendopo depan yang dipakai oleh anak-anak kecil sekolah minggu. Bangsal utama yang berbentuk seperti joglo merupakan tempat altar utama sekaligus misa dilakukan. Di bagian dalam terdapat sebuah candi tunggal dari batu yang berisi patung Yesus Kritus dalam bentuk menyerupai seorang raja Jawa. Di dekat pintu gerbang belakang terdapat sebuah pesanggrahan yang berisi patung Dyah Ibu Ratu Marijah alias Bunda Maria yang dipahat seperti seorang dewi dalam pewayangan. Suasananya saat itu ramai karena memang bertepatan dengan hari minggu, hari ibadah umat Katolik. Setelah berkeliling dan menikmati arsitektur Gereja Ganjuran, saya dan Chandra pun beristirahat sebentar sambil minum es kelapa muda di seberang gereja. Hmmm... Enaknya!

Kembali ke pernyataan awal saya tadi tentang bangga sebagai seorang Indonesia. Agama-agama Semitik yang masuk ke tanah air terbukti tidak diadopsi mentah-mentah oleh leluhur kita dulu. Masuknya agama-agama itupun tidak lantas menghapuskan identitas asli nenek moyang kita. Contohnya saja, Islam tidak masuk ke Indonesia dengan menyinonimkan diri dengan budaya Arab. Alkitab pun sejak zaman kolonial dulu telah banyak dibuat versi bahasa daerahnya. Bukti penetrasi agama Barat ke dalam budaya lokal nusantara nampak dari bangunan seperti Masjid Kudus yang arsitekturnya asli Majapahit serta lagu anak-anak seperti Lir-Ilir dan Cublak-Cublak Suweng karya Sunan Kalijaga. Di daerah lain di nusantara ini pun seperti itu. Ketika Islam memasuki Sulawesi Selatan, salah satu metode agar masyarakat awam dapat memahami kehadiran syariat baru ini adalah dengan menciptakan sebuah episode baru dalam La Galigo yang menceritakan mengenai pertemuan antara Sawerigading dan Nabi Muhammad. Sawerigading juga konon dikatakan pernah mengunjungi Mekkah untuk berhaji. Proses penyesuaian dan penggabungan seperti ini (yang dikalangan sejarawan sering disebut sebagai akulturasi dan asimilasi) jelas tidak mudah. Dibutuhkan proses kreatif, ketekunan, tekad serta kesabaran yang luarbiasa.
Lihat saja, hari ini, senjata tradisional Jawa macam keris yang akarnya berasal dari zaman Hindu-Buddha justru menjadi bagian dari identitas para wali dan kesultanan-kesultanan Islam nusantara. Tidak jarang kita menemukan ada keris yang dirajah dengan kalimat syahadat maupun takbir. Tradisi barzanji yang isinya adalah puji-pujian terhadap Nabi Muhammad dibacakan saat upacara naik rumah baru, kelahiran anak, hingga pada pesta perkawinan. Padahal sebelumnya masyarakat Bugis menyenandungkan Sureq Galigo di momen-momen tersebut.

Indonesia kita ini memang luar biasa, kawan. Pengaruh asing bahkan sanggup dinusantarakan oleh leluhur kita nan jenius kreatif. Seharusnya kita tidak perlu pontang-panting berhadapan dengan globalisasi hari ini. Bangsa kita sudah terbiasa menyerap unsur-unsur yang baik dan mengabaikan unsur-unsur yang tidak baik untuk memperkaya khazanah peradabannya sendiri.

Kunjungan pertama saya ke Ganjuran hari itu berakhir dengan menyenangkan. Senang hati ini bisa melihat wajah Yesus ala Jawa secara langsung, serta menikmati keunikan perkawinan antara agama Barat dan tradisi Timur. Gereja pribumi untuk orang pribumi yang tidak ke-Latin-Latinan.
Bunda Maria versi Ganjuran
Altar Utama dengan patung malaikat yang sedang bersimpuh dan api Roh Kudus di atasnya.