Tuesday, July 22, 2014

Di Atas Phinisi Ia Deklarasikan Kemenangannya...


 
Akhirnya, setelah bulan-bulan yang penuh ketegangan... Indonesia di jelang usianya yang ke-70 tahun punya presiden baru! Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pasangan yang dipilih dan dipercaya oleh rakyat untuk mengemban tampuk kepimpinan bangsa ini selama 5 tahun ke depan.
 
Ada yang unik dari perayaan kemenangan pasangan Presiden Jokowi dan Wapres JK kemarin malam. Begitu resmi diumumkan oleh KPU sebagai pasangan terpilih, mereka berdua langsung berangkat ke pelabuhan kapal tradisional Sunda Kelapa. Di sana, sebuah kapal phinisi bernama "Hati Buana Setia" mereka jadikan tempat pilihan untuk mendeklarasikan kemenangan rakyat.

Mengapa di atas phinisi?

(Terlepas dari kritikan JJ Rizal bahwa Jokowi salah pilih situs di Sunda Kelapa, demikian pula dengan tanggapan bahwa ternyata yang dinaiki oleh Jokowi itu sebenarnya PLM bukan phinisi asli) Saya rasa ini ada hubungannya dengan komitmen Jokowi untuk menjayakan kembali laut Indonesia. Berkaitan dengan cita-cita sebagai "Poros Maritim Dunia", yang sebenarnya mengulangi lagi masa kejayaan Sriwijaya, Majapahit dan Kesultanan Gowa. Di saat yang sama, pemilihan phinisi sebagai simbol budaya laut Makassar juga mengindikasikan keinginan Jokowi untuk berfokus pada pembangunan di kawasan Indonesia timur, yang selama ini selalu jadi anak tiri Nasional. Phinisi juga berarti penguatan kembali akar tradisi kebangsaan kita, melalui pembangunan yang tetap menampilkan ciri serta keunikan kearifan lokal tanah air.

Dari timur terbitnya matahari. Dari timur kita bangun negeri ini. Jika dulu kapal phinisi kebanggaan kita berlayar keliling dunia dengan muatan penuh berisi cengkih dan pala yang jadi harta karun bangsa-bangsa Eropa, hari ini phinisi itu berlayar membawa mimpi-mimpi kita bersama. Perahu yang kita nahkodai sebagai satu bangsa!

"Kuallea tallanga natowalia", ujar pepatah nenek moyang dahulu kala. Sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai!
 
Kawal terus!

Friday, July 4, 2014

Maleficent dan Salawati Daud: The Hidden Triumph of Matriarchy?



Alkisah, cerita asli Sleeping Beauty tidak seperti yang didongengkan kepada kita selama ini.  Putri Aurora yang malang dan dikutuk untuk mengalami tidur  panjang bagaikan maut itu sebenarnya ialah korban atas kesalahan masa lalu sang ayah. Maleficent, seorang peri hutan yang tadinya baik hati berubah menjadi jahat demi melampiaskan kekesalannya atas pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh sang raja. Akan tetapi di akhir cerita, Maleficent yang terus mengamati Aurora tumbuh berkembang menjadi seorang gadis yang penuh cinta justru memutuskan untuk menarik kembali kutukannya. Tidak hanya itu, ia juga menyelamatkan Aurora dari kejahatan ayahnya sendiri.
 
Demikianlah kira-kira rangkuman atas film “Maleficent” yang dirilis oleh Disney beberapa minggu lalu. Angelina Jolie yang memerankan Maleficent di film ini berhasil membawakan karakter peri hutan yang amat berkuasa namun rapuh dari segi perasaan. Maleficent ditipu oleh seorang pemuda desa yang berambisi untuk menjadi raja. Sayap Maleficent yang indah menjadi korban atas niat jahat lelaki yang ia cintai itu. Sayap Maleficent ini di mata saya sejatinya merupakan simbolisasi dari trofi atau piala kemenangan sebagai bukti kejantanan laki-laki dalam menaklukkan energi alam yang dianggap liar dan tak beradab. Bukan cerita baru, wanita dijajah pria itu sudah hadir di tengah-tengah dunia sejak dulu kala. 
Sentra utama dongeng yang ditampilkan dalam wajah baru ini sebenarnya ada pada sisi si karakter utama: Maleficent. Maleficent, tidak seperti yang diyakini oleh banyak orang selama ini, tidak berniat untuk mencelakai Aurora hanya karena dirinya tidak diundang ke jamuan makan pembaptisan sang putri. Maleficent di sini merupakan simbolisasi dari perempuan yang terluka, dipaksa untuk tunduk pada dunia patriarki yang tidak mengharapkan figur perempuan untuk tampil di tatanan sosial masyarakat. Perempuan harus didomestikasi, dalam film ini disimbolkan melalui “pengebirian” sayap indah Maleficent.
Angelina Jolie sebagai Maleficent
Ada kisah menarik tentang sosok perempuan yang “dikebiri” sayapnya oleh Orde Baru dan diantagoniskan, persis seperti Maleficent ini. Namanya Salawati Daud. Jika anda tanya siapa dia hari ini, hampir seluruh suara akan langsung mengarah kepada satu kata “PKI!” atau “Gerwani!”. Ya, Salawati Daud memang merupakan seorang aktifis PKI di era 50-an. Ia bahkan turut serta dalam embrio yang kelak akan melahirkan perkumpulan Gerwani bersama Umi Sardjono. Pasca peristiwa G.30/S meletus, Salawati Daud yang saat itu menjadi anggota DPR digelandang oleh tentara keluar gedung parlemen untuk kemudian dijebloskan ke Penjara Bukit Duri. Sejak saat itu nama Salawati Daud bagaikan sebuah nista. Ia dihapus dari dokumen-dokumen sejarah dan dilupakan perannya sebagai tokoh awal pemberdayaan wanita di republik ini.

Salawati Daud ialah seorang perempuan Bugis dari Sulawesi Selatan. Kebudayaan Bugisnya mengajarkan Salawati untuk menjadi seorang perempuan yang tangguh, mitra setara lelaki yang sepadan, bukan sekedar pelengkap hidup semata. Sudah mengalir di dalam kultur Sulawesi Selatannya bahwa perempuan seperti halnya laki-laki bebas untuk mengekspresikan opini di hadapan publik. Sejak tahun 1930 ia aktif menentang kekuasaan kolonial Belanda di tanah air. Ia yang juga anggota Perserikatan Celebes bersama dengan Nadjamoeddin Daeng Malewa, Lindoe Marsajit, Th. Lengkong dan Nyonya Lumenta mendirikan Perhimpunan Perguruan Rakyat Selebes (PPRS) dengan tujuan memajukan pendidikan bagi masyarakat pribumi. Tercatat, Salawati juga merupakan seorang pionir perlawanan perempuan di bidang pers, ia mendirikan majalah Wanita pada tahun 1945 serta menjadi direksi majalah Bersatu yang saat itu adalah bacaan laris

Mental baja Salawati yang senantiasa menuntut keadilan bergejolak ketika pasukan NICA memasuki tanah air pasca kemerdekaan. Ia mengobarkan semangat gerilya dengan berkeliling daerah di Sulawesi Selatan serta memimpin sendiri perlawanan ke sebuah tangsi polisi di Masamba (saat ini ibukota Kabupaten Luwu Utara). Salah satu prestasi terbesar Salawati ialah saat ia ditunjuk sebagai Walikota pertama kota Makassar di tahun 1949. Dengan demikian, Salawati merupakan walikota perempuan pertama di Indonesia. Salawati Daud juga seorang tokoh mediator yang berusaha meredam ambisi Kahar Muzakkar saat hendak menggulingkan pemerintah Indonesia dengan gerakan DI/TII-nya. Suaminya yang seorang pejabat pemerintah di Maros amatlah mendukung aktifitas-aktifitas sang istri.

Pada tahun 1955, ia melanjutkan perjuangannya menyuarakan hak-hak sipil wanita ke Senayan dengan menjadi anggota DPR. Sayangnya, berbeda dengan Opu Daeng Risaju, Andi Depu dan Emmy Saelan yang menerima penghargaan dari rakyat Sulawesi Selatan sebagai pejuang-pejuang wanita, nama Salawati Daud tenggelam dalam dongeng-dongeng yang dihembuskan oleh pemerintah akan kejahatan ideologi komunisme di masa Orde Lama. Persis seperti Maleficent. Kita hanya mengenangnya dari logo Palu dan Arit yang dicitrakan jahat seperti iblis. Ia dikebiri oleh dunia lelaki Orde Baru, tidak hanya didomestikasi namun juga didemonisasi.
Satu hal lagi pelajaran moral yang saya dapat dari film Maleficent adalah: kebenaran, sebagaimana pula kejahatan, memiliki dua sisi. Terkadang kita terlalu awam untuk lekas menjatuhkan putusan “ini benar” atau “ini salah”. Ada banyak kisah yang melatari kenyataan mengapa sebuah peristiwa dapat terjadi. Kisah-kisah dan dongeng-dongengan lama mungkin perlu kita tilik ulang kembali. Siapa tahu ada Maleficent-Maleficent dan Salawati-Salawati lainnya yang terselip kepahitan zaman di antara belenggu-belenggu perjuangan. Malang, sebagai manusia kita cenderung bermain Tuhan. Kita tak dapat menerima ketakbersalahan seseorang, namun anehnya mengumbar-umbar ketarbersalahan diri kita sendiri meski telah terbukti kalah.

Selamat berakhir pekan, selamat menunaikan ibadah puasa. Jangan lupa menggunakan hak pilih anda dengan bijaksana di TPS terdekat tanggal 9 Juli 2014.

Yogyakarta,
5 Juli 2014