Tuesday, October 18, 2016

Bahasa dan Tulisan Arab: Antara Harapan dan Ketakutan

Seingat saya dulu, beberapa saat sebelum berangkat ke Amerika Serikat di tahun 2007, ada semacam trend dimana Bahasa Arab tiba-tiba menjadi istimewa di kalangan umat Islam Indonesia. Sebelumnya saya tidak sadar akan adanya fenomena seperti ini hingga saya perhatikan teman-teman saya di bangku SMP dan SMA saat itu jadi suka menggunakan sepatah-dua patah kata Arab di antara kalimat-kalimatnya. Setelah dibesarkan dengan ‘assalamu’alaikum’, ‘alhamdulillah’, astaghfirullah’, ‘masya Allah’, ‘subhanallah’, ‘Allahu akbar’ dalam percakapan sehari-hari, waktu itu kosakata saya jadi bertambah. Rasanya tidak afdhol bagi sebagian dari mereka apabila tidak menyapa kawan laki-lakinya sebagai ‘akhi’ dan kawan perempuannya sebagai ‘ukhti’, atau mengucapkan terima kasih dengan ‘syukran’ serta mempersilakan untuk menikmati segelas sirup dengan ‘tafaddal’. Kebanyakan dari teman-teman saya ini memang anggota rohis sekolah. Uniknya, kebiasaan-kebiasaan untuk menggunakan kata-kata Arab baru ini kemudian juga diadopsi oleh mereka yang bukan anggota rohis saking seringnya kata-kata tersebut diulang-ulang.

Sebenarnya, Bahasa Arab dianggap sebagai bahasa suci karena melalui bahasa inilah Quran diwahyukan serta Nabi Muhammad berlisan. Meskipun pada faktanya Bahasa Arab yang dipelihara di dalam kitab Alquran dan Bahasa Arab hari ini amat sangat berbeda, kebanyakan masyarakat awam di Indonesia masih terbuai dengan logika sinonim yang kurang tepat: Arab = Islam. Itulah sebabnya Bahasa Arab pun menjadi Bahasa Islam. Sewaktu duduk di bangku SMA kelas dua, sekolah saya pernah mewajibkan siswa-siswinya untuk belajar Bahasa Arab pula, seakan-akan pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jerman tidak cukup. Bahasa Arab diinstitusikan sedemikian rupa di dalam sistem pendidikan kami dengan metode yang sebenarnya jika dipikir-pikir cukup diskriminatif: hanya siswa yang beragama Islam saja yang diikutkan kelas Bahasa Arab, sedangkan yang non-Muslim diwajibkan kelas Bahasa Jepang. Saya terus terang masih tidak paham mengapa sekolah mewajibkan Bahasa Arab saat itu. Toh, setelah belajar Bahasa Arab sekali seminggu selama setahun saya juga masih tidak dapat mengartikan Alquran tanpa membuka tafsirnya hingga hari ini.

Konsekuensi dari pengultusan Bahasa Arab serta ketidakmampuan untuk memisahkannya dari esensi Islam di saat yang sama ialah terciptanya penumpulan logika yang bersifat massal. Ada cerita lucu yang dikisahkan oleh ayah saya ketika suatu ketika di bulan Ramadhan sebuah toko baju memutarkan lagu-lagu berbahasa Arab. Lagu-lagu yang ternyata masuk ke kategori Pop tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan Quran ataupun Islam. Lagu-lagu tersebut dinyanyikan oleh biduanita tersohor asal Mesir bernama Ummi Kalsum dan liriknya berisi tentang cinta, kerinduan, patah hati dan lain sebagaimana. Ayah saya tertawa karena melihat reaksi ibu-ibu mendengarkan lagu-lagu tersebut: mereka seakan-akan sedang dikuasai oleh Roh Kudus karena mengira lagu Arab itu berisi puji-pujian kepada Tuhan dan mulai mengamin-amini setiap lirik Umi Kalsum. Tulisan Arab pun sama saja. Banyak yang kemudian mengultuskannya karena dianggap memiliki daya spiritual khusus. Padahal, bagi mereka yang tidak mengerti artinya, bisa saja selembar kertas yang berisi penuh tulisan Arab itu adalah instruksi untuk menggunakan minyak  pemanjang kumis dan jenggot Wak Doyok instead of sholawat nariyah atau ayat-ayat Qurani.


Lain di Indonesia, lain pula di luar negeri. Ketika di tanah air tulisan Arab mampu menghadirkan harapan bagi kaum beriman karena simbolisme yang dicantol-cantolkan dengan spiritualisme, di Amerika Serikat sana tulisan Arab justru menjadi personifikasi atas aksi terorisme dan fanatisme. Islamophobia berubah menjadi Arabophobia ketika segala sesuatunya yang berhubungan dengan Islam diasosiasikan dengan bahasa maupun tulisan Arab. Ini persis sama dengan yang terjadi di tanah air, hanya saja perspektifnya yang berbeda. Tulisan Arab ditakuti karena dianggap sebagai potongan Alquran, kitab yang menginspirasi golongan teroris untuk melaksanakan jihad. Beberapa hari yang lalu beredar meme di dunia Twitter yang menyinggung permasalahan ini di tengah sengit dan panasnya suasana pemilihan presiden di Amerika Serikat. Yang menjadi penyebab mengapa publik Amerika mengasosiasikan Islam dengan Arab ialah karena peran media yang senantiasa menggambarkan teroris sebagai pria Arab berjanggut lebat dan bersorban putih. Ini juga tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi di Indonesia ketika jubah-jubah Arab kemudian dianggap mewakili Islam dimana-mana.



Di Leiden sendiri, beberapa orang teman kelas saya di program European and International Human Rights Law tertarik untuk mempelajari bahasa dan tulisan Arab karena dianggap ‘seksi’. Seksi berhubung saat ini Timur Tengah adalah daerah yang jadi sorotan utama dunia sehubungan dengan konflik-konflik hak asasi manusia. Tulisan Arab bagi mereka mungkin tidak menyimbolkan harapan maupun ketakutan sama sekali, tulisan tersebut mereka pelajari memang layaknya sebagai alat komunikasi dan sumber informasi. Tidak ada takhayul bahwa bahasa maupun tulisan Arab akan menuntun mereka menuju spiritual awakening atau ketakutan tidak beralasan tentang terorisme. Setidaknya dalam hal ini saya setuju dengan kawan-kawan saya di kelas bahwa bahasa maupun tulisan Arab sejatinya tidak berbeda dengan bahasa maupun tulisan lainnya di dunia ini.

Terakhir, penggunaan simbol-simbol bahasa maupun tulisan Arab sesungguhnya tidak sepenuhnya salah. After all betul bahwa bahasa maupun tulisan Arab memiliki peran besar di dalam penyebaran Islam yang kemudian menjadi agama mayoritas di Indonesia. Bahasa Arab menjadi bahasa ritual yang hidup dalam aktivitas spiritual masing-masing individu. Hanya saja amat disayangkan ketika kemudian bahasa maupun tulisan Arab tidak dipahami konteksnya secara benar. Yang saya khawatirkan ialah ketidakmampuan kita untuk dapat menempatkan bahasa maupun tulisan Arab sebagai dua hal yang terpisah dengan Islam itu sendiri: bisa-bisa justru akan menjerumuskan banyak orang ke jurang-jurang kekonyolan (sebagaimana yang sudah terjadi di banyak kasus, dan sedang terjadi di negeri Paman Sam sana). Dan yang lebih penting, tentu saja agar jangan sampai kita melupakan bahasa maupun tulisan dalam bahasa ibu kita sendiri, kekayaan yang sesungguhnya.

Leiden yang kembali dingin,


18 Oktober 2016