Tuesday, October 29, 2013

Proficiat, Silessureng Malebbiku!

Seumur-umur menulis blog, hanya beberapa postingan saya yang menyebut atau benar-benar saya dedikasikan kepada sahabat-sahabat yang telah menunjukkan ketulusan pertemanan serta inspirasi tiada akhir. Di antaranya adalah tulisan saya untuk Dahye Hur, Sam Wahyudi Junaib, Anggita Paramesti dan Fitria Sudirman. Pada kesempatan kali ini, izinkanlah saya untuk menulis sesuatu untuk Muhammad Ulil Ahsan. Sebuah hadiah wisuda untuk seorang pemuda yang karyanya layak diapresiasi bukan hanya oleh pemuda se-Indonesia namun juga se-mancanegara.

Saya kenal Muhammad Ulil Ahsan kira-kira setahun (lebih sedikit) yang lalu. Saat itu ia datang ke acara launching La Galigo for Nusantara alias Lontara Project di I.Boe.Koe (Indonesia Buku), Alun-Alun Kidul Kraton Yogyakarta. Memang, yang hadir saat acara launching sangat sedikit, sampai-sampai saya bisa ingat siapa saja yang datang dan dimana mereka duduk. Sedih ya? Hehehe.

Saat sharing pasca launching, ketika mendengar bahwa Ulil jago bermain kecapi dan suling, saya langsung berinisiatif untuk memasukkannya ke dalam "geng" La Galigo Music Project. Beberapa setelah itu Ucup, seseorang "Yang Dipertuan Agong" di La Galigo Music Project saya minta untuk menghubungi Ulil. Kalau tidak salah, Ulil waktu itu sedang PKL di daerah Pekalongan sehingga dia tidak bisa langsung berkontribusi dengan awak-awak musik lainnya. Baru beberapa minggu kemudian akhirnya Ulil datang ke latihan perdana La Galigo Music Project yang saat itu baru beranggotakan Ucup, saya, Widya, Himawan, Mbak Puspa, Mamat, Dira, Gendon dan Unchie. Sejak saat itulah Ulil tidak pernah "lepas" lagi dari kami.

Ulil tidak cuma memperkaya musik kami di LGMP. Dulu, sehabis latihan ia selalu menyempatkan diri untuk tinggal lebih lama demi sekedar diskusi mengenai budaya, gerakan pangan yang ia inisiasi maupun rencana-rencana besar di masa depan lainnya. Saat itu saya mengagumi Ulil sebagai seorang anak muda dari daerah (Kab. Wajo, Sulawesi Selatan) yang bersekolah di universitas yang namanya kurang "menjual" untuk ukuran Yogyakarta, namun jiwa kepimpinannya amatlah tinggi. Ulil juga ikut berangkat ketika kami mengadakan cultural diplomacy ke Malaysia. Itu pengalaman pertamanya keluar negeri. Makanya dia selalu mengingatkan saya betapa berartinya bisa bagian dari Lontara Project. Ulil selalu ingin jago dalam berbahasa Inggris, agar kelak ia dapat membanggakan kedua orang tua yang amat ia sayangi dengan jalan menuntut ilmu di negeri yang lebih maju.

Beberapa hari yang lalu Ulil wisuda. Bagi saya wisuda itu adalah sebuah hari simbolik yang penting. Hari wisuda saya dipenuhi oleh banyak sekali ucapan selamat lewat facebook, sms, twitter dan instagram. Ada puluhan ikat bunga yang ditujukan kepada saya. Ada banyak sekali sahabat yang tiba-tiba muncul dan memberikan saya ucapan selamat serta pelukan hangat sebagai tanda turut berbahagia. Oleh karena itulah, saya merasa hari ini juga penting bagi seorang Ulil. Ketika teman-teman di LGMP berhalangan untuk hadir ke wisudanya karena sesuatu dan lain hal, terus terang saya kecewa. Saya membayangkan kesedihan Ulil jika tidak ada satupun warga LGMP yang menunjukkan batang hidungnya di sana. Oleh karena itu, waktu Juli mendadak mengirimkan kabar kepada saya bahwa ia dapat pergi ke wisudaannya Ulil, tanpa ba-bi-bu saya segera memintanya untuk menjemput saya di tempat paman. Di tengah teriknya mentari bulan Oktober, kami menembus jalan Wates demi berbagi kebahagiaan bersama Ulil.


Ulil mungkin tidak sadar bahwa selain ia belajar dari banyak orang di sekelilingnya, selain ia belajar dari rekan-rekan di LGMP dan Heritage Camp, saya juga mengambil banyak sekali inspirasi dari dirinya. Ulil yang tinggal jauh sekali di Wirobrajan dan setiap hari harus bolak-balik untuk latihan di Sleman. Kesabaran yang ia tunjukkan menunjukkan konsistensi terhadap semangat untuk melestarikan budaya nenek moyangnya di bumi Nusantara. Meskipun terkadang terjadi ketidakcocokan pemikiran antara Ulil yang Pisces dan saya yang Aries, dia selalu punya alternatif tepat untuk "melerai" pertentangan ide kami.

Mungkin setelah beberapa bulan ini, setelah (insya Allah) misi kebudayaan kami ke Belanda, Ulil akan hijrah ke kota Bogor dan saya akan kembali pulang ke Makassar. Kami akan sangat jarang bertemu untuk saling berdiskusi seperti dulu lagi. Pada hari wisudanya, saya dan Juli memberikan Ulil sebuah note kecil. Saya harap melalui note itu, meskipun tidak bisa lagi hadir secara fisik untuk mendengarkan curahan ide-ide besarnya, saya tetap bisa jadi bagian dari rencana-rencana mulia aktivis pangan yang visioner ini.

Terima kasih Ulil, yang selalu memanggil saya "silessureng malebbiku". Jujur, kamu yang lebih pantas untuk dipanggil sebagai seorang "saudara yang luhur, hebat lagi mulia" karena persahabatanmu yang tulus dan kebaikan hatimu.

Proficiat, Silessureng Malebbiku!

Friday, October 11, 2013

Terukir di Bintang dan Bermain dengan Ombak

Akhir-akhir ini lagu seorang artis muda Malaysia yang bernama Yuna terus terngiang-ngiang di telinga saya. Lagu berjudul "Terukir di Bintang" ini kata-katanya amat simpel namun bermakna dalam. Melodinya yang lembut serta karakter suaranya yang selintas mengingatkan kita akan penyanyi asal Malaysia lainnya, Zee Avi, membuat lagu ini masuk ke dalam deretan tangga nada favorite saya. Salah satu hal lain yang membuat lagu ini spesial adalah karena dia dinyanyikan oleh Yuna. Yuna adalah seorang Melayu-Bugis. Nenek moyangnya dulu hijrah dari kampung halaman mereka di Sulawesi Selatan demi mencari penghidupan baru atau demi mapatettong siriq.
Dulu pada sebuah kesempatan di hadapan seorang sultan Malaysia, Jusuf Kalla pernah nyeletuk bahwa orang-orang Bugis yang hari ini berada di Semenanjung Malaya merupakan keturunan dari orang-orang Bugis yang paling berani dan paling pintar. Bagaimana tidak, ketika orang-orang Bugis lainnya memilih untuk tinggal di daratan Sulawesi (yang ketika itu ramai dengan perang saudara dan perang melawan pemerintah kolonial), maka orang-orang Bugis nenek moyang Yuna yang menolak untuk tunduk dalam kondisi yang memprihatinkan itu dengan segala keberaniannya memutuskan untuk berlayar ke Malaysia. Mereka dengan cekatan mampu bergaul, menelusup masuk ke tengah masyarakat dan diterima dengan baik di sana. Yuna dan ribuan masyarakat Bugis yang lainnya yang berada di perantauan adalah keturunan dari bibit-bibit petualang sejati tersebut. Berbekal dengan prinsip "kegasi sanre lopie kositu taro sengereng" yang berarti dimana terdampar perahu maka di sanalah kehidupan ditegakkan, seorang perantau Bugis dituntut untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta berinteraksi dengan kebudayaan lokal yang menjadi kampung halaman barunya. Tak heran jika banyak generasi Bugis perantauan yang terkadang sudah tak mengerti Bahasa Bugis lagi karena intensnya proses peleburan yang mereka alami.
Ilustrasi Kapal dalam Naskah La Galigo
Lagu Yuna "Terukir di Bintang" mengingatkan saya akan semangat bahari Bugis ini. Sebenarnya tidak hanya Suku Bugis saja yang memanfaakan langit sebagai "peta navigasi" dalam pelayaran tradisional mereka. Kebanyakan suku-suku lain yang berafisiliasi dengan laut seperti Bajo, Makassar, Mandar, Madura, Buton dan Melayu pun mengembangkan sistem pembacaan langit serupa. Peradaban yang berfokus pada kehidupan maritim juga umumnya memiliki istilah-istilah tersendiri untuk menyebut ombak di lautan. Ombak bagi mereka adalah kawan. Layaknya seorang kawan, kadang-kadang mereka begitu pengertian dan mendukung kita dalam mewujudkan cita-cita. Akan tetapi, terkadang ada masa ketika kita pun terlibat konflik dengan kawan itu, menyebabkan kesulitan dan kesedihan. Suku Nias yang hidup di pulau-pulau kecil di sebelah selatan Pulau Sumatera juga mengenal macam-macam jenis ombak. Melalui pengetahuan lisan yang diriwayatkan dari nenek moyang mereka, orang-orang Nias dapat mengetahui ombak manakah yang mendatangkan tsunami, dan ombak manakah yang bermakna rejeki bagi komunitas mereka.

Ah, keren sekali sih alam Nusantara ini...