Tuesday, November 11, 2014

Hatta di Belanda

Sabtu tanggal 8 November 2014 kemarin, gedung kuliah saya, Matthias Vrieshoff di Faculty of Humanities Leiden University, dipenuhi oleh mahasiswa Indonesia dari berbagai penjuru kota di Belanda. Kami kedatangan tamu istimewa yaitu sutradara Erwin Arnada beserta penulis skenario Salman Aristo. Tujuan kedatangan keduanya beserta tim adalah untuk mengadakan riset sekaligus pre-promosi Bung Hatta The Movie yang rencananya akan mengambil tempat syuting di Belanda dan tentu saja, Indonesia.

Saat diskusi yang dipandu oleh senior program Encompass yaitu mas Wildan Sena ini berlangsung, ada sebuah statement yang menggelitik saya. Ketika itu, si penulis skenario sempat menuturkan bahwa alasan di balik pembuatan film Bung Hatta ini ialah untuk mengangkat ketokohan beliau yang selama ini "tenggelam". Sebagai dwitunggal, posisi Soekarno dirasa lebih menonjol, lebih diagung-agungkan di dalam sejarah nasional ketimbang Hatta. Munculnya film ini sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan film Soekarno yang telah rilis di pertengahan tahun 2014. Hatta murni muncul karena keinginan untuk mengangkat cerita kehidupan beliau yang amat inspiratif dan layak untuk kita teladani. Sutradara dan penulis skenario juga sempat mengungkapkan keinginan mereka sebagai putra daerah Minangkabau untuk mengangkat tokoh-tokoh nasional yang berasal dari Sumatera Barat, dimana menurut mereka kebanyakan dari tokoh-tokoh ini tidak mendapatkan sorotan sebagaimana mestinya.

Sebenarnya, menurut saya pribadi sih, Hatta tidak pernah tenggelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Kalau boleh jujur, nama-nama tenar dari Sumatera Barat (H. Agus Salim, Tuanku Imam Bonjol, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, dll) apabila dibandingkan pejuang kemerdekaan lainnya dari kawasan Sulawesi dan Indonesia Timur seperti Sam Ratulangi, Arnold Mononutu, Andi Djemma, Andi Abdullah Bau Massepe atau Salawati Daud, pasti seluruh anak sekolah dasar di Kepulauan Nusantara lebih familiar dengan mereka yang berdarah Minangkabau ketimbang yang saya tulis belakangan. Jika diseret ke konteks "lebih dikenal" atau tidak, maka niscaya pendapat untuk memfilmkan Bung Hatta jelas tidak logis. Nama Hatta selalu disebut bergandengan dengan Soekarno, setiap 17 Agustus kita melihat foto dirinya dipajang dimana-mana. Tanpa memandang bulu dari mana daerah asalnya, saya merasa bahwa setiap pahlawan ataupun pejuang kemerdekaan layak untuk dihormati. Nah, demikian pula dengan Hatta. Tidak perlu dibanding-bandingkan dengan Soekarno, karena toh selama masa hidup mereka juga hal ini tidak pernah dipermasalahkan. Hatta tak pernah iri dengan Soekarno ataupun sebaliknya. Mereka saling melengkapi satu sama lain, karena peran keduanya yang berbeda namun dengan visi yang sama. Soekarno lebih banyak muncul di publik karena Hatta paham bahwa sahabatnya itu adalah seorang orator ulung, memiliki kharisma untuk menggerakkan hati rakyat bahkan hanya dengan menampakkan dirinya. Sedangkan di satu sisi, Soekarno tidak berangkat ke negeri Belanda untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar karena paham betul di sini Hatta yang kemampuannya berbahasa Belanda setaraf native speaker dan pernah tinggal lama di sana lebih pantas untuk mewakili nama bangsa ketimbang dirinya.

Arnold Mononutu.
Nah, ada yang kenal beliau?

Nah, kalau pun mengapa nama Soekarno kemudian lebih tenar dari pada Hatta, ini ada hubungannya dengan branding dari media atas kata kemerdekaan. Di Indonesia, subconsciously media terlanjur menyinonimkan kemerdekaan dengan tokoh bernama Bung Karno. Nggak percaya? Coba aja google "merdeka" atau "kemerdekaan" dan lihat gambar tokoh nasional siapa yang paling banyak muncul. Ini ada hubungannya dengan pencitraan dan bagaimana informasi tersebut berputar di sekeliling kita. Namun tetap kok menurut saya Soekarno-Hatta tak layak untuk dibanding-bandingkan, karena bagi saya keduanya istimewa dan kecintaan bangsa.

Lanjut ya ceritanya. Dari pada membanding-bandingkan Hatta dengan pahlawan nasional lainnya, mending saya membanding-bandingkan kehidupannya sebagai mahasiswa Hindia yang bersekolah di Belanda dengan kehidupan mahasiswa Indonesia yang saat ini juga bersekolah di Belanda. Toh, kalau yang ini saya pun benar-benar mengalaminya sendiri, tidak meraba-raba. Imajinasi saya melayang-layang hingga tiba-tiba teringat pada sebuah buku yang sepintas membahas masa muda Bung Hatta. Kira-kira bagaimana sih kehidupan beliau dulu di Rotterdam? Mahasiswa tipe seperti apakah beliau? Apakah beliau aktif berorganisasi? Bagaimana dengan nilai-nilai kuliah beliau? Apakah beliau anak beasiswa atau anak yang dibiayai kuliah oleh orang tua? Yang dilakukan beliau saat libur kuliah?

Cerita masa muda beliau ini bersumber dari buku karangan Harry Poeze yang berjudul "Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950". Buku ini memaparkan bagaimana Mohammad Hatta, saat itu adalah seorang remaja tanggung berusia 19 tahun dari keluarga ulama di Bukittinggi berangkat ke negeri Belanda untuk menuntut ilmu. Ia tiba di kota Rotterdam pada tahun 1921. Saat itu (bahkan masih sampai sekarang) Rotterdam adalah kota pelabuhan terbesar di Eropa. Ia memilih untuk belajar ilmu ekonomi di Rotterdamse Handels Hoogeschool (saat ini Erasmus University). Pada masa itu jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda ada sekitar 72 orang dengan komposisi 48 orang Jawa, 7 orang Ambon, 5 orang Minangkabau, 4 orang Batak, 4 orang Manado, 3 orang Sunda dan 1 orang Palembang. Dari 43 orang yang menempuh perguruan tinggi, Pemerintah Hindia memberikan beasiswa kepada 21 orang. Termasuk salah satunya adalah Hatta. Tentu saja ini mengindikasikan kecerdasan beliau sehingga layak untuk menerima beasiswa dari negeri Belanda, bukan oleh biaya orang tuanya sendiri.

Paleis Dam Amsterdam, istana tempat Hatta
mewakili bangsa Indonesia
menghadiri Konferensi Meja Bundar

Selain belajar, Hatta ternyata aktif di dunia pers dan juga organisasi. Ia adalah salah satu staff redaksi dari majalah Hindia Poetra yang diaktifkan kembali di tahun 1923. Tulisan-tulisan di majalah itu banyak yang anonim dikarenakan isinya yang lantang dan tegas meneriakkan kemerdekaan Hindia dari penjajahan Belanda. Majalah ini kemudian berganti nama menjadi Indonesia Merdeka pada tahun 1924. Tulisan-tulisan Hatta dan kawan-kawan yang bernada antikolonial meresahkan pers Belanda. Puncaknya ialah saat sebuah artikel di Indonesia Merdeka yang berjudul "Communistische invloeden in het Oosten" tulisan Iwa Koesoema Soemantri membuat pers Belanda naik pitam. Saat itu, salah seorang penulis senior Belanda untuk majalah Koloniaal Tijdschrift, J. E. Bijlo menyarankan agar pemerintah memberikan ganjaran kepada mahasiswa-mahasiswa Hindia yang radikal dan bengal itu berupa pencabutan beasiswa. Hal ini tetapi tidak sampai terjadi. Hatta tetap menerima beasiswanya. Tulisan-tulisan Hatta di media juga kemudian menjadi salah satu sumber pemasokan selama tinggal di Belanda.

Selain di dunia pers, Hatta juga menjadi pengurus di Indonesische Vereeniging alias Perhimpunan Hindia/Indonesia (PI). Organisasi ini awalnya dibuat untuk tujuan bersenang-senang, ajang berkumpulnya sesama mahasiswa asal Hindia. Akan tetapi sejak tahun 1923 Hatta dan Darmawan Mangoenkoesoemo yang sudah jadi anggota lama merubah haluan organisasi ini sehingga berfokus pada upaya-upaya serius untuk membangkitkan nasionalisme serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hatta pernah menjadi bendahara pada tahun 1925. Tahun berikutnya ia mengetuai PI hingga 1930. Di sini, mengutip Harry Poeze pada halaman 177: "perhatiannya kepada PH (Perhimpunan Hindia) seringkali merugikan studinya." Meskipun tidak ada penjelasan lebih lanjut akan kondisi akademis Hatta selama berkuliah di Belanda, yang pasti ia menerima gelar doctorandus pada tahun 1932.

Apa yang dilakukan oleh Hatta selama liburan? Jawabannya, sebagaimana mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Belanda saat ini, ialah berjalan-jalan. Tahun 1922 tercatat Hatta mengunjungi Berlin. Di sana ia bertemu dengan Tan Malaka untuk pertama kalinya. Tahun 1923 ia mengunjungi salah satu sahabatnya yang juga aktifis kemerdekaan yaitu Achmad Soebardjo di Paris. Akan tetapi kunjungan-kunjungannya itu tidak bertema wisata seperti yang kita bayangkan. Hatta benar-benar memanfaatkan waktu studinya di Belanda untuk membangun jaringan, saling bertukar ide dan menggali ilmu. 
Foto anggota PI saat diketuai Bung Hatta. Kocak ya, ada yang jaim dan ada yang banyol. Nggak jauh beda seperti zaman kita sekarang, tapi di foto ini senyumnya pada mahal. Sumber: koleksi Universiteit van Leiden Bibliotheek, eksibisi "Investigating Indonesia" 
Ah, Bung Hatta. Kuliah boleh lama, namun mutunya itu lho. Tidak hanya ia kembali dengan paham-paham nasionalisme yang menggerakkan rakyat Indonesia dari berbagai pelosok tanah air, ia juga memperhatikan kondisi bangsa yang baru lahir ini melalui sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan. Sistem koperasi yang ia cetuskan berpihak pada masyarakat kecil dan mengutamakan kesepakatan, salah satu ciri dan identitas khas bangsa Indonesia. Elemen gotong-royong serta tepo saliro pun nampak di dalamnya. Rakyat kecil bergerak dengan tangan dan kaki mereka sendiri, kemandirian adalah senjata utama bagi negara yang baru saja terlepas dari kungkungan penjajahan. Ilmu yang beliau dapat di negeri Belanda adalah amal jariyah bagi kita hingga hari ini.

Tentunya masih banyak lagi hal-hal menarik dari Bung Hatta yang dapat kita bahas. Apalagi terkait masa muda dan kisah-kisahnya di negeri Belanda. Nah, mari kawan, kita pelajari sejarah untuk tahu lebih mengenai Bapak Bangsa yang satu ini. Bangga Indonesia punya Bung Hatta!

Selamat Hari Pahlawan!

Leiden,
11 November 2014
18:27

No comments: