Tuesday, November 11, 2014

Puisi November

Dinginnya November memberi tanda bahwa sebentar lagi dedaunan akan gugur dan bunga-bunga akan mati

Seiring dengan diseretnya Persephone kembali ke dunia bawah dan ibu kami Sang Hyang Sri menangis mematikan kesuburan tanah, di tepi Sungai Rijn mengalir sekanal Gangga kecil

Kamu boleh marah kepada matahari, yang setiap hari muncul di sampingmu dan mengirim kerling penuh arti

Namun ketika kau tadahkan tangan untuk mengharap hangat darinya, ia terpaku diam, sungguh tak berguna

Kamu juga boleh menuduh bulan sebagai si pembohong tulen, yang jago menukar-nukar janji
Karena cahayanya yang temaram di butanya malam ternyata bukan miliknya, namun terpancar dari si matahari, yang sama saja tak bisa menjawab tentang kehangatan

Lalu terus saja kita berjalan, tinggalkan kedua putra Izanagi itu, menyusuri kanal Gangetje yang isinya adalah air mata

Gondola kecil berisi rempah-rempah dan gula, serta burung-burung aneka warna dari Hindia berlayar di tengahnya

Si pendayung bernyanyi dengan lantang, meneriakkan dosa-dosa Antwerp dan Amsterdam,
Kisah lama akan meriam-meriam Portugis dan senapan-senapan Spanyol, serta pundi-pundi Inggris di pedalaman

Tak peduli apakah kau seorang Katolik atau Protestan, seorang Sunni ataupun Syiah
pengikut Gautama, penyembah Siwa atau Krisna, semuanya sama

Kita orang-orang dengan wajah di dada, setengah binatang, telanjang penuh bulu dan berkaki besar

Kini memakai kaos kaki wool dan boot, topi-topi rajut dan jaket-jaket nan tebal

Kurang ajar kau, matahari. Kau tipu aku lagi, bulan. Aku masih kesal.

Aku sungguh tak ingin terjebak dalam dinginnya November. Maka Tuhan, bakarlah aku dalam api-Mu. Panas-panas.

Leiden,
11 November 2014
10:32


No comments: