Tuesday, July 19, 2016

Empat hari untuk tiga kota: Dresden

Hari minggu tanggal 10 Juli 2016 seharusnya kami berangkat ke kota Dresden dari stasiun ZOB di Berlin Pukul 14.00. Setelah dengan cukup terburu-buru berusaha menamatkan atraksi di ibukota Jerman ini, ternyata kami harus menunggu sekitar satu jam dalam ketidakpastian karena bus yang akan membawa kami ke Dresden di-delay tanpa ada pemberitahuan sama sekali. Sejam kemudian, tepatnya Pukul 15.00 lebih sedikit Flixbus yang harusnya membawa kami akhirnya tiba. Meskipun cukup lelah dan sedikit sakit kepala karena tidur siang yang terpotong, begitu melihat kota Dresden dari seberang sungai Elbe, mata saya langsung terbuka lebar. Jantung saya berdegub. Kota ini sungguh berbeda dengan si cantik Brugge, Florence, Venezia maupun Utrecht. Ada yang istimewa dari Dresden.

2. Dresden: Si Cantik dari Timur yang bangkit dari puing-puing Perang Dunia II


Dresden adalah ibukota negara bagian Saxony di Jerman Timur. Kota ini menurut saya adalah salah satu kota tercantik di Jerman. Dresden dipenuhi oleh bangunan-bangunan megah bergaya baroque yang menunjukkan bahwa dulunya kota ini amatlah kaya. Namun saya merasakan atmosfer yang berbeda jika dibandingkan dengan saat berada di antara bangunan bergaya baroque di Paris ataupun Roma. Sebelum Perang Dunia II meletus, kota ini dijuluki dengan nama "Florence on the Elbe" untuk menggambarkan kecantikannya yang dianggap setara dengan kota Florence di Italia.


Salah satu tokoh yang menjadi pemimpin paling terkenal di kota ini yang juga menggiring Dresden menuju ke masa-masa kejayaan ialah elector Holy Roman Empire yang bernama Augustus I. Pangeran Augustus I ialah seorang Protestan. Ia menyediakan suaka bagi Martin Luther saat sang pembawa reformasi ini dimusuhi oleh seluruh Eropa. Augustus I juga dikenang oleh sejarah karena perannya dibalik Peace of Augsburg yang mengakhiri percekcokan antara kutub Protestan dan Katolik di Jerman.



Frederick Augustus III "The Just", penguasa Saxony zaman Napoleon
Pemandangan puing-puing kota Dresden di lihat dari puncak Rathaus saat PD II. Patung yang selamat dari pemboman di atap Rathaus ini ialah "Die Gute". Sumber: theguardian
Pemandangan Altstadt (kota tua) Dresden dari kejauhan
Dresden yang kita lihat hari ini sebenarnya tak sama dengan Dresden seabad silam. Serangan Inggris saat Perang Dunia II berhasil meluluhlantakkan kota ini, meninggalkan bangunan-bangunan baroque yang megah itu menjadikepingan-kepingan batu. Salah satu foto paling terkenal di Dresden dari masa tersebut ialah pemandangan kota yang hampir rata dengan tanah dilihat dari puncak Rathaus (balaikota). Pada tahun 2005, pemerintah Jerman tak segan-segan mengucurkan dana besar-besaran untuk merekonstruksi bangunan-bangunan lama yang hancur pada zaman peperangan sesuai dengan bentuk aslinya. Ya, bangunan-bangunan yang telah musnah menjadi kepingan batu tersebut berusaha dihidupkan kembali dari atas puing-puingnya bermodalkan dokumentasi, teknologi dan imajinasi para undagi! Nah, atas berkat inisiatif itulah jika berkunjung ke Dresden sekarang kita masih dapat menikmati keindahan kota ini seperti di masa keemasannya dulu. Luar biasa mengagumkannya ya usaha pemerintah dan warga Jerman dalam melindungi dan menjaga heritage bangsa mereka.


Monumen untuk mengenang Martin Luther yang pernah mencari suaka di Dresden, depan Frauenkirche
Meskipun hanya berada sekitar 4 jam di kota ini sebelum kemudian mengejar bus untuk melanjutkan petualangan ke kota selanjutnya, saya merasa cukup. Dresden tidak sebesar Berlin, atraksi sejarahnya pun terpusat di sekitaran kota tuanya. Ada banyak sisi Dresden yang belum sempat saya eksplor lebih jauh lagi, akan tetapi bagi saya impresi yang saya dapatkan dari kota ini sudah amat memuaskan. Oh ya, sebelumnya saya agak takut-takut untuk datang ke kota ini sebenarnya. Selain memiliki reputasi sebagai si Cantik dari Jerman sebelah timur, Dresden dikenal juga sebagai sarangnya PEGIDA (Patriotic Europeans Against the Islamisation of the West). 

Beberapa kejadian tidak menyenangkan sempat terjadi di kota ini, melibatkan serangan serta tindakan diskriminasi terhadap orang-orang asing yang berkunjung. Selain itu, rombongan pengungsi dari Syria juga banyak yang berusaha untuk masuk ke kota ini untuk mencari suaka, menimbulkan banyak friksi dengan warga lokal yang tidak menghendaki kotanya "dikotori" oleh kehadiran mereka. Sungguh amat sangat disayangkan. Kota yang seharusnya belajar dari masa lalunya sendiri ini ternyata belum mampu untuk membuka tangan lebar-lebar dan mengakomodasi perbedaan. Padahal dulunya seorang Luther yang juga adalah refugee pernah mencari suaka di sini. Masa depan dunia bisa berubah apabila saat itu warga Dresden tidak menghendaki Luther yang notabene dianggap kafir oleh Paus di Roma untuk tinggal di kota mereka.


Matahari tenggelam di barat dengan perlahan. Saya dan kawan pun segera berangkat ke stasiun untuk mengejar bus kami menuju ke Praha. Sambil memandangi kota yang kecantikannya berbeda dengan kota-kota lain yang pernah saya lihat itu, cahaya senja semakin memanjang, membias di atas sungai Elbe yang meliuk-liuk membelah Dresden.


Bersambung...

No comments: