Saturday, July 17, 2010

Liberalisasi Pendidikan = Loe Kaya, Loe Aja yang Sekolah



Apa yang membuat liberalisasi pendidikan begitu mengerikan?

Coba Anda bayangkan, sebuah negara bernama Indonesia dengan jumlah penduduk yang menduduki peringkat keempat terbanyak di dunia, ternyata pada tahun 2009 sekitar 9,7 juta penduduknya buta huruf dan 33,7 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan jumlah fasilitas pendidikan yang terbatas serta tenaga pengajar yang tidak merata (baik secara kuantitas maupun kualitas) serta tingginya intensitas siswa yang putus sekolah, pendidikan adalah isu yang setiap hari harus terus dihadapi. Dimulai sejak matahari terbit saat anak-anak SD di pedalaman Papua bangun untuk menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer menuju sekolah, hingga terbenamnya matahari saat seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada berdiri di pinggir jalan menunggu bus yang akan membawanya pulang.

Eko Prasetyo di dalam bukunya mengatakan bahwa untuk terus mengusahakan agar anak dari keluarga yang berstatus miskin dapat bersekolah, mereka harus menyisihkan 40% dari penghasilannya. Bayangkan jika ternyata keluarga miskin tersebut bukanlah keluarga yang kecil, namun keluarga dengan tiga hingga enam anak dengan rentang waktu yang tidak begitu jauh satu sama lain. Pemerintah mewajibkan program Wajib Belajar 9 Tahun bagi setiap anak Indonesia. Namun sekali lagi, berdasarkan pengalaman setelah melewati 9 tahun ditambah 3 tahun masa SMA, program tersebut tidak memberikan solusi maupun hak-hak bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Wajib Belajar 9 Tahun menjadi ironi ketika setiap anak Indonesia dituntut untuk duduk di bangku sekolah (yang tidak gratis) dan sebagian dari mereka harus berkutat dengan usaha-usaha untuk mendanai eksistensi mereka di program jenius tersebut.

Liberalisasi pendidikan adalah sebuah solusi. Solusi yang cerdas, karena beban pemerintah untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dibantu (lebih tepatnya dialihkan) kepada pihak swasta untuk didanai. Tidak hanya itu, liberalisasi pendidikan juga merupakan sebuah solusi yang kreatif karena menempatkan pendidikan sebagai salah satu industri dengan agenda pokok mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan. Singkatnya, liberalisasi pendidikan adalah solusi inovatif dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia dengan menggunakan ‘kemurah-hatian’ pihak swasta yang sebagai imbasnya mendapatkan keuntungan ekonomi.

Jadi, apa alasan kita untuk takut dan anti terhadap liberalisasi pendidikan? Jika Indonesia telah sampai pada titik dimana pendidikan dapat dikomersialisasikan, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pemerintah sudah tidak peduli dengan nasib rakyatnya dan secara terang-terangan hendak merubah republik ini menjadi sebuah mesin raksasa yang mencetak uang bagi kaum swasta-kapitalis yang mencengkram generasi penerus bangsa. Pemerintah telah mengkhianati konstitusi negara, melanggar kewajiban mereka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertera di dalam Pembukaan UD 1945. Selama liberalisasi pendidikan terus berjalan, tidak akan ada sekolah yang murah. Pihak yang mendanai akan terus menuntut ganti melalui iuran-iuran serta keuntungan-keuntungan melalui para siswa yang diberi fasilitas berkelas internasional. Akan timbul sistem kasta di Indonesia, hanya mereka yang berasal dari keluarga yang mampu yang dapat terus bersekolah sementara yang miskin hanya dapat menatap nanar biaya pendidikan yang tagihannya selangit. Di samping itu, ada konspirasi terselubung yang membuat Indonesia bak ‘bunga layu’ karena nektar dalam kandungannya habis disedot oleh negara-negara penyokong liberalisasi pendidikan yang mendapatkan untung besar atas program ini. Sebagai contoh, keuntungan yang diraup oleh Amerika Serikat melalui ekspor jasa pendidikan mencapai $14 miliar di tahun 2000. Sasaran utama mereka adalah negara dunia ketiga yang sekarat dan membutuhkan bantuan untuk memperbaiki nasib generasi mudanya.

Setelah melihat kemanfaatan dan kemudharatan yang muncul apabila pendidikan Indonesia dikomersialisasikan, sampailah kita pada kesimpulan bahwa pendidikan di negara kita ini memang sedang jatuh. Liberalisasi pendidikan dapat terlihat sebagai sebuah solusi, ini jika kita sudah tidak memiliki harapan akan pemerintahan yang adil dan berdaulat lagi. Jika tidak ingin mengandalkan bantuan dari pihak swasta maupun pihak asing yang berorientasi kepada laba semata, maka adalah sebuah kewajiban sekaligus hak bagi kita semua untuk saling membantu, menumbuh-kembangkan kesadaran serta membina pendidikan di dalam masyarakat. Program-program non-profit untuk turun ke pelosok dan memberikan bantuan pengajaran kepada penduduk terpencil sedang digalakan. Demikian pula dengan usaha-usaha untuk memberantas korupsi sebagai salah satu penyebab terpuruknya ekonomi negara kita demi memberikan pendidikan jatah yang seharusnya. Indonesia yang anti-liberalisasi pendidikan adalah Indonesia yang mampu berdiri sendiri dan menghadapi tantangan di era globalisasi dengan usaha-usahanya yang mandiri.

3 comments:

Mohd Sulthoni said...

Ini tulisan yang jadi syarat buat seksi acara kan lul? hehehe :D

louiebuana said...

Hehe, iya ton... aku upload ke blog. alhamdulillah, karena essay ini aku diterima jadi panitia ospek :P

Annisa M. Izzati said...

bagus bgt kak pemaparannya! izin dijadikan referensi utk orasi ya kak :)