Monday, July 12, 2010

Hukum Islam = Inhuman Judgement (?)



Syariat Islam acap kali diartikan sebagai sesuatu yang mengerikan dan menyeramkan. Anggapan ini muncul tidak hanya dikalangan non-Muslim, bahkan dikalangan orang-orang Islam sendiri pun penilaian yang amat-sangat awam mendominasi ide mereka akan penegakan hukum Islam. Realisasi sanksi-sanksi hukum pidana serupa potong tangan, rajam dan pencambukan dinilai tidak manusiawi, melanggar hak-hak kodrati makhluk hidup serta tidak berbelas kasihan. Manusia dalam hukum Islam kelihatannya kehilangan hak keistimewaan mereka untuk membela diri maupun mendapatkan keringanan yang masuk akal.

Apakah benar seperti demikian adanya? Belakangan muncul kembali gerakan-gerakan yang mencoba memodernisasi hukum-hukum Islam (bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, maupun fatwa-fatwa notifikasi dari para cendekiawan Muslim) dan menafsirkannya melalui cara yang berbeda. Sayangnya, kebanyakan dari para pembaharu ini terlalu terpengaruh oleh pengertian demokrasi dan kemanusiaan ala Barat. Nilai-nilai penegakan keadilan dan pengajaran memalui hukuman yang terkandung dalam materi putusan atau dalam wujud sanksi-sanksi hukum Islam mereka ubah sedemikian rupa, hanya agar Barat tersenyum senang. Mencari keridhoan Barat serta pernyataan mereka bahwa hukum Islam adalah suatu perangkat yang beradab (dalam versi mereka) bukanlah jawaban bagi persoalan mengaplikasikan hukum Islam di masa globalisasi ini.

Untuk menjawab masalah-masalah tersebut, kita perlu melihat kembali kepada sumber hukum Islam dan apa yang dikehendaki dari pelaksanaan aturan-aturan tersebut. Dengan memahami sifat-sifat, tujuan serta cara penegakannya, kaum Muslimin di era modern dapat memikirkan upaya-upaya penerapan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.

Kiranya bagaimanakah penegakan hukum serta peradilan di zaman Nabi Muhammad?

Mengutip tulisan dari Muhammad Sahrul Mujjarab (http://akademiislam.wordpress.com/), “Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.”
Keadilan yang merata bagi setiap manusia menjadi landasan dari pelaksanaan hukum Islam yang paling fundamental.Manusia, tanpa memandang suku, agama, ras, gender maupun pekerjaannya berada dalam kedudukan yang sama di dalam hukum. Hukum menjadi bukti epifany Tuhan di muka bumi, sehingga manusia pun menjadi setara dihadapan-Nya.



Inilah yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ketika tiba di Madinah pertama kalinya. Nabi Muhammad mempersaudarakan para Muslimin pengungsi dari kota Mekkah (Muhajirin) dengan para pelindung mereka, sahabat-sahabat penduduk asli Madinah (Anshar). Yang kaya dipersaudarakan dengan yang miskin, yang berasal dari keluarga bangsawan melebur dengan mereka yang berasal dari kalangan biasa. Segera setelah persatuan antar Muslim itu diciptakan, Nabi Muhammad selaku pemimpin negara sekaligus sebagai pemegang otoritas jurisdiksi pun mengikat perjanjian dengan kaum Yahudi dan Nasrani di kota Madinah. Piagam Madinah menjadi sebuah bukti nyata dari sebuah kesatuan yang damai dalam perbedaan. Kaum Yahudi dan Nasrani tetap diakui hak-haknya serta bersama-sama dengan kaum Muslimin bertanggungjawab atas keamanan di kota Madinah. Diatur pula di dalam Piagam Madinah bahwa apabila terjadi perselisihan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya.

Ketika terjadi sengketa yang disebabkan oleh konflik kepentingan dalam masyarakat, maka Nabi Muhammad sebagai pemegang otoritas jurisdiksi pada masa itu akan menjadi penengah serta pemutus keputusan. Adapun sumber Beliau dalam memberikan putusan ialah Wahyu Allah sebagaimana yang tertera dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Apabila Beliau menemui perkara-perkara yang belum atau bahkan tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur’an, maka beliau akan memutuskannya melalui ijtihad atau berdasarkan pandangan Beliau. Pada kasus pemotongan tangan seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum yang mencuri, Nabi menerapkan nash Al-Qur’an melakukan penerapan langsung atas surah Al-Maidah ayat 38. Sementara pada kasus dimana Beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai, Beliau mengeluarkan fatwa berdasarkan pertimbangannya sendiri.

Kegiatan peradilan di zaman Nabi Muhammad berdasarkan laporan hadis berlangsung amat sederhana. Pihak-pihak yang bersengketa dapat langsung menemui Nabi untuk meminta penyelesaian yang adil. Nabi mensyaratkan kepada para sahabatnya yang menjadi qadhi (hakim) di kalangan komunitas Muslim agar tidak memutuskan perkara sebelum mendengar penjelasan dari keduabelah pihak. Beliau juga mewajibkan adanya bukti demi mendukung klaim dari masing-masing pihak. Adapun prosedur pelaksanaanya peradilan mulai dari pengajuan gugata, pemberian putusan hingga eksekusi tidaklah memakan waktu lama karena tahap-tahapnya dapat secara tepat, langsung, dan lugas dilaksanakan. Peradilan pada masa Nabi syarat akan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak berbelit-belit dan tepat pada sasaran. Peradilan seperti ini tetap tidak kehilangan bentuk resminya, justru peradilan Rasulullah di awal lahirnya Islam ini menjamin kepastian hukum langsung kepada pihak-pihak yang bersengketa serta lebih menonjol dari isi substantifnya ketimbang legal formal.

Di samping perangkat peradilan yang disebutkan di atas, terdapat pula perangkat-perangkat penegakan hukum lainnya. Di era Rasulullah, dikenal apa yang disebut sebagai muhtasib, atau petugas yang memiliki tugas untuk melaksanakan investigasi terhadap perbuatan munkar serta memerintahkan kepada hal-hal yang baik. Ada juga badan khusus bernama madzalim yang berfungsi untuk melindungi hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh. Lembaga seperti ini amat kita butuhkan pada masa sekarang, faktanya pengadilan terkadang berjalan tidak sebagaimana mestinya ketika pihak yang bersengketa adalah rakyat kecil versus seorang birokrat.

Jika sedemikian bersahaja dan efisiennya sistem peradilan zaman Nabi Muhammad, lalu bagaimana dengan sanksi-sanksi hukum Islam yang citranya menyeramkan bagi mereka yang hidup di masa modern ini? Ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai hukum Islam sebelum kita membahas mengenai sanksi, yaitu pengertian dari Syaria dan Fiqih yang oleh sebagian orang secara gampang keduanya diartikan sebagai ‘hukum Islam’.
Syari’ah merupakan jalan yang ditetapkan oleh Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak-Nya atau dengan kata lain syariah merupakan kehendak ilahi, suatu ketentuan suci yang bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim. Sedangkan fiqh merupakan ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah amaliah dari dalil-dalil yang terinci (adillah tafshiliyyah). A. A Fyzee menyatakan bahwa syari’ah mencangkup hukum-hukum dan prinsip-prinsip ajaran Islam, sementara fiqh hanya berkaitan dengan aturan-aturan hukum saja. Abu Ameenah menambahkan perbedaan lain antara syari’ah dan fiqh, yaitu syari’ah merupakan hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunah, sementara fiqh adalah hukum yang disimpulkan dari syari’ah yang merespon situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas dalam hukum syari’ah.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa syariah merupakan aturan yang berisi ketetapan Allah sebagaimana tertera dalam Qur’an dan sunnah Rasul syang sifatnya tidak berubah-ubah. Bentuk syariah di sini contohnya seperti aturan-aturan mengenai wirasah (warisan), muamalah (kebendaan), siyar (perang dan damai), maupun ketentuan-ketentuan lainnya yang diturunkan secara jelas oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya. Fiqih merupakan pemahaman manusia tentang syariah yang terdapat dalam Qur’an dan hadis. Karena merupakan pemahaman dari manusia, maka fiqih itu sendiri pun bersifat berubah-ubah, tergantung kepada mazhab yang dianut. Di era Nabi Muhammad, permasalahn fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi. Pada periode Khulafaur Rasyidin, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad. Dalam ketentuan syariah itu sendiri, untuk hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan. Adapun untuk perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya, maka sifatnya dalam syariah tidak mengikat seluruh umat Islam kecuali apabila diterima oleh Ulil Amri (pemerintah setempat) sebagai peraturan perundang-undangan.

Islam yang berkembang sekarang ini telah dipengaruhi oleh kultur atau Urf dari budaya lokal tempatnya berada. Ambil contoh penerapan Islam yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia pasti memiliki perbedaan dengan penerapan hukum Islam di Afghanistan. Hukum Islam telah disesuaikan berdasarkan karakter kebudayaan di wilayah tersebut sehingga tak jarang kita menjumpai adanya beragam variasi terhadap penegakan hukum maupun bentuk prosedural dari sanksi-sanksinya. Pihak-pihak yang tidak mengerti akan betapa luas dan beraneka-ragamnya ruang lingkup yang dinaungi oleh Islam cenderung berpikiran untuk memukul-rata tindakan suatu negara yang bercirikan Islam sebagai bentuk menyeluruh dari pandangan ajaran Nabi Muhammad ini.

No comments: