Friday, October 29, 2010

Cakra Manggiling



Tampaknya bulan ini feng shui saya sedang jelek, planet-planet yang mampir di horoskop saya sedang tidak bersahabat, dan susuk dukun langganan saya kurang mantap (jelas, ketiganya imajinatif).

Yep, obviously, di bulan ini banyak hal-hal yang ingin saya lakukan atau ingin raih malah tidak terwujud. Even worse, they came to me, but beyond my expectation. Mengecewakan, iya (BEUD!). Ada-ada saja hal-hal remeh-temeh yang bikin senewen, disusul pula oleh hal-hal besar yang sebenarnya gak usah dibesar-besarkan malah tiba-tiba menjadi besar dengan sendiri (maafkan pilihan berbahasa saya). Ntah mengapa, saya merasa di bulan ini kehilangan energi, lebih mirip Tin-man di kisah Wizard of Oz atau mirip Gulliver yang tersesat di negri liliput.

Apapun itu, tiba-tiba sewaktu sedang mengguyur badan di kamar mandi (di tengah kekesalan karena seseorang dengan sangat profesionalnya membatalkan janji sejam sebelum waktu yang telah ditentukan) ingatan saya tersentak, di-‘kulo nuwon’ kan oleh kilasan memori akan Cakra Manggiling. Tahukah Anda apa itu yang dimaksud dengan filsafat Cakra Manggiling? (gaya nanyanya minta ditabok)



Cakra Manggiling itu berarti ‘cakra yang terus menggelinding/berputar’. Jika dikaitkan dengan perjalanan hidup ini, Cakra Manggiling merupakan perwujudan dari nasib manusia yang diceritakan terus berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Manusia dalam setiap aksinya tidak akan selamanya mendapatkan reaksi yang konstan dari alam semesta. Tiap manusia ‘dipergilirkan’ untuk mendapatkan nasib ‘di atas’ atau nasib ‘di bawah’. Hidup ini adalah roda yang berputar, jika dulu Kurawa yang jahat bertahta di kerajaan Hastinapura, maka di akhir cerita giliran para Pandawa yang setelah menjalani 12 tahun pengasingan di hutan Kandawa memerintah dengan adil dan bijaksana. Contoh lain bagaimana dunia terus mengajarkan arti ‘di atas’ dan ‘di bawah’ adalah kisah Arachne si jago tenun yang menantang Athena sang dewi ketrampilan untuk membuat kain terindah di seluruh Yunani. Kesombongan Arachne membuat bakat dan prestasinya yang cemerlang itu tidak menghasilkan apa-apa pada akhirnya, karena Ia dikutuk oleh sang dewi menjadi laba-laba.



So, what’s the moral of the day? Saya berkesimpulan bahwa, pergerakan cakra kehidupan ini, entah lambat atau cepat, seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran bagi kita semua untuk lebih menghargai saat-saat ‘di atas’ dan dapat memupuk mental untuk bersedia bangkit pada masa-masa ‘di bawah’. Karena hidup ini adalah kehidupan kita, maka sudah seharusnyalah kita mengetahui seni untuk menguasai berputarnya Cakra Manggiling itu. Again, im talking about philosophy. Dan inilah sebagian dari kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa kita, asli dari leluhur.

Cakra Manggiling mengajari kita untuk bersyukur. Mengajari SAYA untuk bersyukur (terutamanya). Dan ketika ayunan gayung berisi air terakhir mengguyur tubuh saya sore ini, saya tersenyum dan berkata dalam hati: “terima kasih Tuhan, karena Engkau tidak selalu membuatku berada ‘di atas’ atau selalu beradai di ‘di bawah’…”

2 comments:

Tjuandha said...

seperti biasa, tulisan ala legenda-legenda kak Louie enak dibaca. :D

louiebuana said...

thank you, try!