Thursday, June 7, 2012

"Ra Jowo" dan Culture Labelling


Salah satu keuntungan dibesarkan oleh dua orang tua yang masing-masing memiliki adat-istiadat mereka sendiri adalah fleksibilitas saya untuk mengganti perspektif kebudayaan. Setidaknya, saya salah satu dari 281 juta jiwa di Indonesia yang merasakan kehidupan rumah tangga bersendi multikulturalisme sebagaimana dulu dicita-citakan oleh Bung Karno. 

Saya pun beruntung karena tumbuh dan berkembang tidak di satu daerah saja, melainkan harus tinggal di empat pulau yang berbeda sebelum umur saya mencapai 12 tahun. Hal tersebut kalau tidak bisa dibilang suatu nilai tambah berarti ya sebuah anugerah. Kata sahabat saya yang bernama Chandrawulan, prediket "anak diplomat lokal" layak disematkan kepada saya atas pemahaman serta pengetahuan bahasa lokal saya dari tempat-tempat tersebut.

Namun harus diakui, penguasaan saya terhadap budaya-budaya ini sebatas pada pengetahuan dasar saja. Dengan kata lain, hanya kepada pengetahuan yang muncul di permukaan masyarakat itu saja. Sebagai contoh, saya tidak dapat berbahasa Mandar kecuali beberapa kata sederhana (padahal itu bahasa suku ayah saya) dan ibu saya tidak bisa berbahasa Bugis (padahal itu bahasa ayahnya). Saya bisa berbahasa Jawa Ngoko, dan dapat berinteraksi dengan bahasa Makassar-Pasar. Akan tetapi, toh tren seperti itulah yang marak di negara kita sekarang. Anak muda dari suatu daerah tidak benar-benar paham akan budaya lokal mereka sendiri (apalagi jika mereka dibesarkan di kota-kota metropolis). Bahasa yang dipergunakan tidak murni lagi bahasa daerah (karena dianggap memalukan) tapi merupakan "Bahasa Pasar" yang merupakan campuran dari Bahasa Indonesia atau bahkan Bahasa Inggris. Lantas, apakah menggunakan "bahasa kotor" ini salah? 

Saya pribadi tidak akan menganggap demikian, sebab demikianlah fenomena jaman. Suatu bahasa tidak akan dapat bertahan melawan fleksibilitas arus waktu. Bahkan bahasa yang kita anggap kuno sekalipun seperti Bahasa Sansekerta atau Arab juga banyak mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa lainnya.

Lanjut ke soal budaya. Berdasarkan obervasi sederhana saya sebagai anak "Bhinneka Tunggal Ika", budaya-budaya kita di nusantara yang telah berinteraksi selama berabad-abad di area seluas 1.919.440 km2 dan digenangi air di segenap penjurunya ini mengembangkan perspektif lokal akan bagaimana cara mereka melihat dunia dan bangsa lain. Cara pandang inilah yang kita kenal pada zaman sekarang dengan sebutan "stereotype". Berbeda dengan suku Bajau yang selalu mobile (karena hidup terapung-apung di lautan untuk menjauhi konflik kepentingan dengan penguasa-penguasa lokal di daratan), mayoritas suku-suku di Indonesia hidupnya masih "di pedalaman". Pedalaman yang maksud di sini tidak lantas secara literal merujuk kepada kondisi geografis mereka, akan tetapi mayoritas penduduk atas suku-suku di Indonesia tidak banyak berinteraksi dengan pendatang asing. Kalaupun terjadi interaksi, itu hanya terbatas pada kaum pedagang, pelayar, dan bangsawan-bangsawan penguasa daerah. Mayoritas penduduknya yang hidup biasa-biasa saja di tengah desa akan memandang asing seseorang dari ras tertentu dengan model pakaian dan rambut yang berbeda dengan yang biasa mereka saksikan sehari-hari. Dan itu bukan sesuatu yang buruk. It's not right, it's not wrong, it's just different.


Nah, berhubung di rumah kami "invasi Jawa" dengan hadirnya adik-adik dan keponakan ibu saya lebih kuat (meskipun faktanya mereka juga keturunan seperempat Bugis dan seperempat Melayu) maka cultural perspective yang terbentuk lebih dominan ke Jawa. Kami, anak-anaknya, mengalami proses Javanisasi. Mulai dari cara makan, cara bertutur kepada orang lain, dan bahkan cara memandang orang lain. Menurut saya, itu bagus. Bangsa Jawa adalah orang-orang dengan karakter terbuka yang suka mengobservasi suku-suku lain di nusantara. Mereka juga pandai dalam menempatkan diri dalam masyarakat. Mungkin karena telah ratusan tahun berjaya dengan kekuatan peradaban yang sanggup membangun candi-candi batu raksasa dan penaklukkan ke segenap penjuru nusantara, orang-orang Jawa mempunyai karakter tenang, bersahaja, ingin selalu mengayomi, berwibawa namun tetap waspada. Dari komunitas kecil yang menjunjung nilai-nilai inilah kemudian saya sering mendengar celetukan "ra jawa".

"Ra jawa" secara harfiah berarti tidak atau bukan Jawa. Secara konotatif, maknanya berarti orang yang tidak bertata krama seperti orang Jawa, dengan kata lain sinonim atas istilah "tidak beradab". "Ra jawa" ini tercetus ketika seseorang terlihat sedang makan sambil mengobrol, atau makan dengan tangan kiri, menaikkan kaki di atas kursi, berbicara lantang dihadapan orang tua, dan lain sebagainya. Singkatnya apabila individu tersebut melakukan tindakan yang melanggar norma-norma Kejawian. Seorang Jawa totok pun bisa diceletuki "ra jawa" apabila dia melanggar norma-norma tersebut. Yang menarik dari celetukan ini ialah, dalam kebudayaan Jawa yang beradab itu ya hanya Jawa. Sedangkan nilai-nilai yang dianggap tabu, pantang, atau pemali dikategorikan sebagai hal-hal di "luar Jawa".

Di daerah lain, tentu berbeda pula istilah yang mereka gunakan untuk melabeli seseorang yang dianggap tidak beradab. Sebagai contoh, pada sebuah buku yang mengulas sastra klasik La Galigo, saya baru tahu bahwa dulu orang Bugis Kuno memakai istilah "Jawa" untuk bangsa-bangsa barbar, atau orang-orang di luar pulau mereka. Jadi Jawa tidak selamanya merujuk kepada Jawa, namun bisa juga kepada kesatuan etnis lain yang mereka tidak punya gambaran yang tepat akan karakteristiknya.

Me and my sister embraces our 1/4 Javanese heritage
Indonesia, negara dengan lebih dari 500 etnis. Bersyukur kita semua dapat disatukan dengan jargon indah (dari sebuah kitab berbahasa Jawa Kuno namun sebenarnya hasil adopsi dari sebuah kitab agama berbahasa India) dan bendera yang melambangkan kekuatan serta kesucian bangsa ini. Stereotype-steretype seperti "orang Minang itu pelit", "orang Makassar itu bengis", "orang Batak itu keras", atau "orang Bali itu pasti jago menari" tidak akan pernah hilang dari persada nusantara selama keragaman tetap ada. Lantas, apakah culture labelling itu sesuatu yang buruk dan harus dihilangkan karena dapat mengancam persatuan? Saya kurang setuju. Menurut saya pribadi, cara untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini adalah dengan menghayati segala perbedaan yang ada dan menerimanya. Semangat kedaerahan itu penting untuk membangkitkan kembali nilai-nilai lokal, akan tetapi jangan lupa, keutuhan bangsa ini berada di atas segala kepentingan etnis. Berhubung culture labelling adalah sesuatu yang tidak mungkin hilang dari negara ini, ya kesadaran diri kita sebagai makhluk sosial-lah yang harus dibuat lebih peka.

Sayangi tetanggamu seperti engkau menyayangi dirimu sendiri, entah dimana saya membaca kalimat itu (Bibel? Hadis?) tapi jika tidak ingin memetik konflik, maka jangan menanam culture labelling yang biji-bijinya sudah tersedia di luar sana.

No comments: