Sunday, April 17, 2016

Meneruskan Tradisi? Meneruskan dan Mengombinasi Tradisi!

Apa tujuan kamu sekolah di luar negeri?

Apakah untuk terus-terusan mengurung diri di dalam perpustakaan? Apakah untuk mengayuh sepeda sambil membawa beban atas tugas-tugas kuliah yang menumpuk? Apakah untuk terus-terusan mengeluh karena suhu udara yang tak kunjung hangat?
Atau sesimpel hanya untuk terus-terusan bermain, berjalan-jalan ke berbagai tempat dan belanja di sana-sini?


Ramainya antrian masuk ke Museum Bronbeek
Minggu tanggal 17 April 2016, tepatnya sehari setelah ulang tahun saya, bersama dengan grup tari Kuwung-Kuwung asuhan Bu Clara Brakel kami mementaskan empat buah tari klasik Jawa di hadapan pengunjung Museum Bronbeek, Arnhem. Museum Bronbeek, sebagaimana yang pernah saya singgung di beberapa tulisan lalu, merupakan museum yang juga merangkap sebagai panti jompo bagi soldaten KNIL. Museum ini istimewa karena mengangkat tema aktifitas militer tentara Kerajaan Belanda di Hindia dahulu kala. Teman-teman juga bisa melihat banyak artefak-artefak seperti meriam-meriam Aceh, keris-keris Jawa dan senjata-senjata tradisional lainnya yang merupakan rampasan perang Belanda saat berhadapan dengan khalayak pribumi.

Ada kebahagiaan tersendiri saat dapat mementaskan tarian tradisional Indonesia di luar negeri. Apalagi pentasnya di Belanda, negeri yang pernah menjajah kampung halaman kita. Nah, pementasan hari ini bahkan berlokasi di museum KNIL: indahnya gerakan tarian yang berpadu dengan dentingan irama gamelan berhasil membuat banyak eks-pasukan KNIL serta opa-opa dan oma-oma Indisch (orang Belanda totok yang dulunya lahir dan besar di Nederlandsch-Indie) hanyut, terombang-ambing oleh kenangan akan "het verre verre land" di seberang samudera sana. Ya, ekspresi wajah memang tak bisa berbohong meskipun kebisuan penuh di udara.


Dansgroep Kuwung-Kuwung in action!

Menampilkan kesenian di muka publik Belanda juga bukan hal baru di kalangan mahasiswa asal Indonesia. Sebagaimana disebutkan di dalam buku "Di Negeri Penjajah" tulisan Harry Poeze halaman 181, mahasiswa-mahasiswa pribumi di kota Leiden sudah sering sekali meramaikan negara hujan dan angin ini dengan rupa-rupa tradisi kesenian nusantara. Pada tahun 1923 R. S. Hardjodiringgo serta Noto Soeroto yang juga merupakan pendiri Perhimpoenan Hindia (PH) pernah menampilkan tarian Jawa serta memainkan wayang hingga sejauh kota Paris. Memang waktu itu aktifitas kebudayaan banyak diselenggarakan oleh anggota-anggota PH dengan Noto Soeroto sebagai pentolan utamanya. Kegiatan seni merupakan salah satu senjata utama PH untuk membantu meningkatkan pemahaman akan budaya Timur terhadap masyarakat Barat. (De oostenwind waait naar het westen: Indische componisten, Indische composities, 1898-1945 oleh Henk Mak van Dijk, halaman 39).

Di tahun selanjutnya dengan dipandu oleh Poerbatjacaraka yang multitalenta, Noto Soeroto bersama dengan Soerjowinoto dan Wirjono melakukan perjalanan keliling Belanda menyajikan tari-tarian Jawa guna mengumpulkan dana untuk mendirikan lembaga Indisch Bronbeek (sumbernya masih dari buku Harry Poeze di halaman yang sama). Pada saat itu Poerbatjaraka merupakan anggota aktif dari Perhimpoenan Indonesia (PI) yang tidak lain adalah perubahan dari nama PH. FYI, lembaga Indisch Bronbeek inilah yang kelak di kemudian hari menjadi cikal-bakal Museum Bronbeek (tempat grup kami tampil tadi) dan juga "Kumpulan Bronbeek", semacam tempat kongkow bagi opa-oma Indisch yang masih belum dapat move on dari kenangan masa lalu. What a coincidence, sungguh sebuah kenyataan yang tidak hanya mengejutkan tetapi juga menyenangkan karena saya dapat menari di sebuah lembaga yang benihnya dulu turut disemai pula lewat aksi kebudayaan para pendahulu saya, mahasiswa Leiden anggota Perhimpoenan Indonesia
Noto Soeroto dan sepupunya, Ki Hajar Dewantara saat menari di Den Haag, Maret 1916
sumber: gatholotjo
Saat PH berubah nama menjadi PI, memang kegiatan kebudayaan sudah tak lagi menjadi sesignifikan saat Noto Soeroto masih menjadi pengurus. PI lebih berfokus pada kegiatan politik dengan menghasilkan tulisan-tulisan yang bernada kecaman kepada pemerintah kolonial. Kemerdekaan harga mati, tak pakai kolaborasi-kolaborasian, begitu kira-kira tegasnya. Nah, di abad ke-21 ini saat Indonesia telah terbebas dari cengkraman penjajahan, mahasiswa-mahasiswanya kembali menghidupkan semangat untuk menjembatani antara Timur dan Barat lewat kesenian. Apa yang dahulu diimpi-impikan oleh para aktifis PH ("geheel volgens het gedachte goed van de IV over wederzijds begrip en waardering wilden zij met deze artikelen oosterse en westerse cultuur nader tot elkaar brengen") bisa terwujud melalui sebuah pentas seni yang dieksekusi tidak hanya oleh orang pribumi namun juga oleh warganegara Belanda yang mencintai luhurnya kebudayaan tanah air. Hal yang menakjubkan ialah bahwa apa yang dicita-citakan oleh PH dan PI ternyata bisa terwujud melalui aktifitas mahasiswa Indonesia di Leiden hari ini.

Ya, pada kenyataannya ternyata kami tidak hanya telah meneruskan tradisi. Hari ini, pentas kami di Museum Bronbeek adalah saksi bahwa tradisi tersebut tidak hanya terus bestari di tangan kami, namun kami juga berhasil mengombinasikan apa yang dikehendaki oleh leluhur-leluhur kami para pendahulu di PH dan PI :)

Salam dari Leiden yang dingin!
12:36


No comments: