Monday, November 29, 2010

Polemik Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta


Yogyakarta adalah sebuah magnet di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak hanya sebagai ikon pariwisata dan pusat kebudayaan Jawa, namun Yogyakarta juga menjadi kota yang membesarkan para pelajar dari segenap penjuru bumi pertiwi. Mereka datang karena tertarik oleh kutub keistimewaan provinsi yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya ini. Yogyakarta adalah sebuah penjelmaan dari nilai-nilai idealis masyarakat Indonesia nan hidup bergotong-royong secara komunal serta tetap memegang tradisi luhur meski berdampingan dengan globalisasi modern.

Keistimewaan Yogyakarta itu sendiri sebenarnya tidak hanya terletak pada kelebihan-kelebihan serta potensi yang dimiliki olehnya secara sosio-filosofis semata. Presiden Soekarno selaku penjalan kekuasaan di negara ini telah memberikan Yogyakarta status ‘istimewa’. Semenjak TK hingga sekarang, yang kita lihat di atas peta Indonesia adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Embel-embel istimewa ini menjadi semakin menarik jika kita mengetahui asal-muasal, dampak, serta kaitannya dengan masa yang akan datang.

Amanat 5 September merupakan bukti tertulis dalam sejarah bagaimana Yogyakarta dapat mencapai status keistimewaannya. Amanat tersebut merupakan sebuah janji yang dibuat atas dasar pengorbanan rakyat Yogya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI serta sebagai tanda penghormatan kepada Kesultanan yang telah memberikan banyak kontribusi untuk mewujudkan kemerdekaan bagi nusantara.

Status istimewa yang dimiliki Yogyakarta antara lain melingkupi hak khusus Sultan sebagai gubernur DIY serta Paku Alam sebagai wakil gubernurnya. Keistimewaan ini berbeda dengan keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah kepada provinsi lain seperti Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) maupun Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta). Jika di Aceh dan Jakarta status istimewa lebih kepada kekhususan dalam hal peraturan maupun perwilayahan, maka di Yogyakarta tampuk pemerintahan berada langsung di bawah pengaruh keluarga Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hardiningrat. Tradisi pewarisan kekuasaan di Yogyakarta mengundang beragam kontroversi akan pelaksanaan sistem demokrasi di negara republik seperti Indonesia, sehingga Amanat 5 September yang tadinya mengintegrasikan daerah Kesultanan Yogyakarta berubah menjadi sebuah polemik.

Pemerintah saat ini tidak benar-benar memperhatikan mengenai gejala yang timbul dalam masyarakat internal Yogyakarta itu sendiri. Suara-suara yang menuntut disahkannya keistimewaan Yogyakarta semakin lama semakin menguat. Tulisan-tulisan dari kaum intelektualis asli Yogyakarta yang menginginkan realisasi janji pemerintah beriringan dengan aksi damai menuntut kepastian kedudukan Sultan di tengah masyarakatnya sendiri.



Badan legislasi selaku pihak yang memegang peranan penting dalam pengesahan RUU Keistimewaan Yogyakarta terkesan tidak begitu serius dalam menanggapi masalah ini. Belum ada agenda khusus untuk membicarakannya. Selain itu di DPR sendiri masih terjadi perbedaan pendapat akan keputusan yang sebaiknya diambil. Tarik-ulur yang dilakukan oleh DPR terasa amat merugikan. Rakyat Yogyakarta merasa aspirasi mereka tidak didengarkan dan Sultan pun merasa tidak dipenuhi haknya.
Penetapan gubernur di wilayah Yogyakarta bagi warganya tidak dianggap sebagai sebuah tindakan yang mengancam demokrasi bangsa. Bagi mereka itu justru merupakan bentuk perwujudan dari suara masyarakat yang ingin mempertahankan kehidupan budaya mereka melalui pemerintahan keraton yang diwarisi secara turun-temurun. Akan tetapi, pihak-pihak yang menghendaki dilakukannya pemilihan beranggapan lain. Menurut mereka, penetapan gubernur secara langsung akan melanggar konstitusi. Karena itu pemerintah seharusnya membuka peluang bagi calon selain sultan untuk maju ke pemilihan di daerah.



Kontroversi yang terus bermunculan dapat berdampak bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Pemerintah daerah memegang peranan besar atas keberlangsungan birokrasi serta kemajuan lingkungannya. Apabila tidak segera dicari jalan keluar yang efektif dalam penanganan masalah keistimewaan Yogyakarta, dikhawatirkan akan timbul gerakan-gerakan ekstrim seperti ‘Yogyakarta Mardiko Wae’ yang menginginkan berpisahnya Daerah Istimewa Yogyakarta dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

No comments: