Monday, July 18, 2011

"Buah yang Masak Terlalu Cepat"

I wrote this poetry after graduated from high school and before entered university. I wish my readers can catch the idea behind these words. For them who thirst of opportunity and being stopped, the world is not enough...


Dulu, ada sebuah benih yang jatuh di tanah nan gersang.
Di negri yang hilang, dibalik pegunungan dan laut-laut benua muda
Tanah itu kasar,
namun sang benih berjuang untuk terus hidup

Ada angin baik disekitarnya, dengan cahaya matahari yang menghangatkan
Langit yang selalu ramah turut pula menurunkan hujannya
Sang benih menggeliat, meronta-ronta dan menjerit 
Ia berjuang untuk hidup
Ia melawan keadaan
Di dasar kulitnya yang keras dan kasar tersimpan api kecil
Api itu membakar dan berkobar-kobar
Menuntut hendak dikeluarkan

Dulu, ketika sang benih kecil berjuang untuk menjadi besar
Ia terbukti berhasil melawan waktu
Tumbuh menjadi kecambah hijau nan lemah, Ia hujamkan urat-uratnya ke perut bumi
Ia pun berhasil
Ia reguk sari-sari kehidupan yang memabukkan
Ia rasa sentuhan Pertiwi
Ada kegilaan di tengah semarak kesuburan dan euphoria keragaman
Kecambah itu menjadi raja kecil nan kaya 

Lalu tiba masa ketika Ia menjadi sebuah tunas
Tunas hijau nan membanggakan
Meski warnanya tak sehijau daun-daunan di negri yang lebih subur
Dia menjadi kuat, kuat sekali karena hendak menjadi pohon yang tinggi menjulang
Menjambak angkasa raya, melawan teguran angin dan mencengkram bumi perkasa
Ia terus membesar, menggeliat menariki unsur-unsur hara hingga ke Saptapratala
Ia ditakdirkan untuk menjadi sesuatu yang lebih besar
Tua seperti Metuselah di gurun Arizona
atau bijaksana serupa Ent-Ent yang ditunggangi Merry dan Pippin

Sang tunas tumbuh menjadi pohon kecil berbatang lemah
Namun Ia tak berhenti hingga menjadi sebuah batang yang kokoh
Tak berhenti hingga menjadi sebuah pohon besar 
Ia kembangkan daun-daunnya yang rimbun ke empat penjuru
Bunga-bunga mungil tumbuh dari dirinya
Sarang jiwa yang baru, terbang dibawa Sang Bayu dibawa menuju dunia baru
Serbuk-serbuk itu Ia jiwai dengan kecupan rasa agar dapat tumbuh dimana saja

Lalu tiba masa berbuah, masa yang paling Ia tunggu-tunggu
Buah pertamanya tumbuh serupa prana
atau mahkota bersusun tiga Raja Sanjaya
Cupumanik pun kalah sinarnya
Sungguh buah nan indah, ranum dan menggiurkan
Buah itu harum semerbak
Manusia-manusia akan mengira ada khuldi yang berbuah lagi
Begitu menggoda, membuat iri semua tumbuhan di sekitarnya

Buah itu masak dan tergantung-gantung di dahan sang induk
Tadinya tersembunyi di balik bayang-bayang dedaunan ramai
Tapi terpamer sedikit sudutnya hingga seluruh raga
Aduhai, sungguh banyak bangsa burung yang saling incar-mengincar
Terselubung oleh pesona teluh si buah mengkal

Sayang, bagai tinta jatuh di baju koko putih lebaran kemarin
Tangkai Mak Tua tak sanggup menahan si buah yang masak itu
Ia pun terkejut jatuh dari gendongannya
Terdampar di tanah
Terasing
Di atasnya bermunculan gadis-gadis mekar yang berbagi gairah
Mereka jadi primadona di tangkai-tangkai lama itu
sementara buah yang masak terlalu cepat perlahan menjadi tak sedap lagi
Baunya berubah, begitu pula rasanya
Mahluk pengurai ciptaan Tuhan meluruhkan pakaian jasadnya
Buah itu pun hancur ditelan Yama

Akan tetapi dari benihnya yang tersisa tersimpan api kecil yang menanti untuk berkobar
Hanya saja, semoga ketika Ia masak nanti
akan ada manusia atau binatang yang memetiknya
Agar manfaatnya dilihat seluruh malaikat penyaksi
dan ditulis di dalam catatan Sang Suratma


Makassar,

24 Juli 2009
21:19

No comments: