Wednesday, August 10, 2011

Sedetik yang lalu, Ia masih hidup...

Kami mau berangkat ke kampung halaman.
Aku, bapak, bunda, dan adik Yudi.
Kita naik motor supra tua yang bapak pakai pergi kerja atau untuk mengantar aku dan adik ke sekolah.

Adik Yudi bilang kalau sudah setengah jalan nanti mampir di Pare-Pare dulu. Dia minta baju lebaran. Nggak muluk-muluk kok, dik Yudi cuma minta baju koko putih sama jaket yang ada tudungnya. Belinya pun minta di Cakar saja, tempat beli baju bekas dan impor yg terkenal murah.

Bunda tertawa, katanya iya. Aku juga tak mau kalah, minta celana hitam panjang seperti punya Ryan, temanku di sekolah. Bunda bilang kalau uangnya cukup. Ayah hanya tersenyum. Ayah kan hanya seorang buruh pabrik. Mudah-mudahann uangnya cukup. Motor saja masih mencicil, hehehe.

Belum lagi oleh-oleh tak seberapa untuk keluarga kami di kampung.

Pagi itu kami berangkat. Dik Yudi duduk di depan, aku duduk di tengah antara ayah dan bunda. Jalanan macet. Banyak debu dan truk. Pete-pete dan mobil panther buru-memburu. Motor-motor pemuda tak mau kalah. Musim mudik memang begitu, semua orang berlomba pulang ke kampung halaman.

Di jalanan rusak sebelum Pare-Pare, ayah sudah agak lelah. Tubuh kami bergoyang tak tentu di ombang-ambing jalanan berlubang. Batu-batuan besar menambah susahnya berkendara. Truk-truk besar berjalan dengan lelah.

Sekalipun tak pernah terlintas di dalam kepala kami akan hal-hal ganjil. Sepenuhnya aku sadar bahwa hidup itu milik Allah. Tak ada yg tahu kapan ajal seseorang akan tiba. Malaikat Maut punya berjuta mata, setiap mata mengawasi setiap makhlukNya. Dan ketika saat yg ditentukan telah tiba, bagai arus mudik jiwa manusia akan ditarik kembali.

Kami tak menyangka jika hal itu menimpa kami secepat ini. Sedetik yang lalu dik Yudi masih bersenandung bahagia. Menyanyikan lagu yang baru diajari di sekolah, "Lebaran sebentar lagi".

"Lebaran sebentar lagi! Lebaran sebentar lagi!" hanya itu rupanya kalimat yg ia hafal.

Malam ini malam takbiran.

Tak dinyana, dik Yudi terhempas dari motor dan terjatuh ke jalan. Dibelakang ada truk pasir yang melaju kencang melewati jalanan berlubang. Tak sempat ada teriakan atau gerakan.

Adikku Yudi mati dilindas roda-roda raksasa truk pasir.

Yudi... Yudi...
Dipanggil-panggil adik tidak menjawab. Yudi... Yudi...
Bunda menangis keras sambil memeluk jasadnya.

Yudi... Yudi...
Kenapa Yudi tak bangun dari jalanan?
Ayah terdiam. Matanya nanar.
Aku menyaksikan kejadian itu dengan tak percaya.

Sebentar lagi. Padahal tinggal sebentar lagi. Burasa', kapurung, ayam goreng, ikan bakar, dan sayur buatan nenek. Jalanan sempit rumah kane' puang yang diapit pepohonan tempat kita biasa bermain sembunyi-sembunyian. Atau sumur di belakang rumah panggung tempat kami mandi.

Tapi ternyata sudah tak sempat ya, dik.

Malam takbiran itu ayah, bunda, dan aku menangis berpelukan. Di tengah alunan takbir keliling kami bertiga menemani dik Yudi, di kampung halaman. Mayatnya terbujur kaku dipakaikan baju koko putih yang ia mau. Hanya saja saat Idul Fitri datang ia cuma terdiam tanpa dapat bernyanyi 'lebaran sebentar lagi'.


28 Ramadan 1430

*untuk adinda Diky Syahril Ramadan (seorang anak kecil yang tewas karena kecelakaan lalu lintas saat mudik 2009)

No comments: