Monday, February 4, 2013

Kembali ke Bali

"Lul, mungkin salah satu alasan kenapa kamu memiliki ketertarikan yang kuat terhadap budaya, sejarah maupun kesenian itu adalah karena kamu pernah hidup dan tinggal Bali." - ujar seorang kawan saat kami sedang bermobil di daerah Ubud dan ketika saya sedang menjelaskan mengenai peninggalan Majapahit dalam seni griya Bali. Benarkah?
Patung Bima-Ruci di persimpangan Sunset Road, depan Mall Galleria Denpasar
Kenangan yang tersisa akan Bali dari masa kecil saya jelas berbeda dengan apa yang ada dalam persepsi mayoritas umat manusia ketika mendengar tentang pulau ini. Bagi saya Bali lebih dari sekedar tempat wisata, atau lokasi syuting film Julia Robets. Bagi saya Bali bukanlah sebuah titik komersil seperti yang digembong-gembongkan oleh pemernntah negeri ini.
amazing details on Balinese carvings always astonished me!
Sejak 10 tahun lalu pindah dari Pulau Dewata menyeberangi samudera ke tanah leluhur di Tana Daeng, ada sesuatu yang terus melekat di dalam diri saya  Jalinan waktu yang disulam bersama pengalaman saya dengan iklim budaya serta kepercayaan lokal membuat Bali menjadi salah satu tempat ketika fase-fase alam bawah sadar saya tumbuh dengan subur. Yang tumbuh di dalam sana adalah benih-benih ekspresi seni serta kecintaan terhadap artefak budaya. Mantra-mantra kuno yang dinyanyikan dalam Bahasa Kawi itu terus berotasi mengikuti saya, membuat bayangan akan detail-detail arsitektur pura, bunyi gamelan saat piodalan maupun warna-warna cerah pada prada penari Bali bergelayutan di terminal subconcious saya.

Ketika selama seminggu ini saya menginjakkan kembali kaki ke Pulau Dewata, roh-roh masa lalu yang mengendap di dalam sanubari itu seakan berteriak-teriak riang, memukul-mukul gambuh dan menari-nari kecak. Saat akhirnya dapat berkunjung kembali ke Denpasar, kota dimana saya memaknai arti persahabatan dan perpisahan untuk pertama kalinya, hati saya berdebar-debar kencang. SD No. 18 Pemecutan di Banjar Mertha Yasa Jalan Gunung Agung telah berubah, meskipun tidak terlalu signifikan. Kini, sesosok Ganesha dengan lambung tundila-nya yang melambangkan keluasan ilmu pengetahuan dan sesosok Saraswati sebagai lambang kearifan dan kesenian berdiri di lapangan tempat upacara saya dulu. Masa lalu itu menang, mereka mengalahkan saya. Saya takluk dan mencintai masa lalu saya di tempat ini.
sekolahku tercinta :')
Terima kasih, Bali. Karenamu lah kuhargai apa yang diwariskan oleh nenek moyangku dulu dalam beragam ekspresi peradaban yang tersisa hari ini. Tidak hanya Bali, saya pun berhutang budi kepada Alam Minangkabau dan tanah tempat lahirnya matahari, Timor Loro Sae. Memang rencana Tuhan itu Maha-Agung; sebelum saya menemukan ntah itu ke-Mandar-an, ke-Bugis-an, atau ke-Jawa-an di dalam darah saya, mereka telah hadir terlebih dahulu dengan perspektif luas sebelum saya belajar merangkak.

Astungkara, Sang Hyang Widhi Wasa.

No comments: