Tuesday, June 10, 2014

15 Jam di Tana Toraja (Part II)

Okay, rirakkai adaE risittaki pauE alias singkat cerita, setelah mendengarkan banyak penjelasan panjang lebar dari sang guide baby’s grave di Kambira kami pun melanjutkan perjalanan ke dusun Tampangallo. Tampangallo dalam Bahasa Toraja berarti “Matahari yang Gagah”, sebuah  istilah untuk matahari yang bersinar terang dengan indahnya. Di Tampangallo terdapat sebuah gua yang cukup tersembunyi letaknya, di tepi sebuah sungai dan tebing. Nah, di gua inilah kami menemukan banyak sekali erong, tumpukan tengkorak yang usianya sudah ratusan tahun serta boneka tau-tau. Atmosfer gua yang gelap dan lembap memperkaya kesan mistis yang ada. Setelah puas mengambil banyak foto dan video, kami lalu dibawa ke situs King’s Grave yang lokasinya tidak begitu jauh dari Tampangallo. Kedua situs tersebut berada di dalam wilayah kecamatan Sangalla.



Pose pantai yang salah diterapkan di hadapan tebing Para Raja ini.
Sangalla dulunya merupakan sebuah kerajaan. Kerajaan ini diawali oleh turunnya sesosok manusia sakti dari langit yang bernama Tomanurun Sandabilik. Di sebuah bukit bernama Buntu Kalandoq, terdapat tebing yang menjadi pemakaman raja-raja Sangalla keturunan Sandabilik. Dari sekian banyak lubang yang dibuat untuk erong jenazah serta tau-taunya, terdapat sebuah figur tau-tau yang unik. Sebongkah patung kayu tau-tau yang meniru sosok seorang wanita berpakaian adat lengkap terlihat sedang mengacungkan keris dengan gagahnya. Tau-tau ini konon pernah hilang beberapa tahun yang lalu karena dicuri oleh penjarah makam dan dijual di Bali. Syukurnya, bekerjasama dengan polisi akhirnya tau-tau tersebut dapat ditemukan dan dikembalikan ke tempat asalnya. Wuih, jadi ingat kasus pencurian hiasan kodok dari perunggu yang jadi bagian dari gong nekara di Pulau Selayar beberapa tahun lalu. Kodok perunggu tersebut dilas hingga copot dari nekara kemudian dilarikan oleh pihak bertanggungjawab ke Jakarta, untuk selanjutnya dijual ke lelang Christie di Singapore. Untuk saja aksi tidak bertanggungjawab tersebut berhasil digagalkan, dan si kodok perunggu kembali ke asalnya di Selayar.

Setelah puas berfoto di tebing King’s Grave yang selintas mirip Petra itu, kami lalu dibawa makan siang ke sebuah restoran di tepi sawah langganan Pak Ela. Restoran ini bersih dan rapi. Saat kami tiba di sana, ada beberapa orang wisatawan asing yang juga tengah menikmati makan siang. Sepertinya tempat ini cukup terkenal di antara bule yang sedang berkeliling Sangalla (sayang saya lupa nama restorannya apa). Harga makanannya tidak jauh beda dengan makanan yang disajikan di Riman. Saya memesan nasi, fu yung hai berporsi besar dan jus jeruk yang total semuanya Rp 40.000,00. Setelah makan siang, kami dibawa melintas Pak Ela ke daerah perkuburan Lemo, namun kami tidak masuk ke dalam karena Ran sudah cukup puas melihat banyak sekali tengkorak hari ini. Alhasil kami pun hanya berfoto-foto di pinggir jurang menyaksikan hamparan sawah hijau dan tebing-tebing berlobang yang diisi oleh erong-erong dan tau-tau.

Dari Lemo kami menyusur turun hingga ke lembah Sungai Saddang. Apabila peradaban besar Mesir berawal dari Sungai Nil dan peradaban besar Mesopotamia berasal dari Sungai Eufrat, maka peradaban besar Toraja (yang kelak menjadi cikal-bakal peradaban suku-suku bangsa lainnya di Sulawesi Selatan) berasal dari Sungai Saddang. Saya dan Aiyalee dipenuhi semangat ketika melihat aliran sungai yang mashyur itu. Sungai Saddang mengalir dari daerah Ulu Saddang, Mamasa (Sulawesi Barat) hingga membelah Tana Toraja di selatan. Sungai ini berperan sebagai sarana transportasi warga, sumber air dan makanan, pembangkit listrik serta keperluan sehari-hari lainnya. Sungai Saddang yang sejak ribuan tahun lalu mengaliri Tana Toraja bagaikan nadi yang menggenjot kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kami diajak untuk melihat-lihat keindahan Sungai Saddang dari atas sebuah bukit. Tidak hanya keindahan Sungai Saddang yang kami temukan sore itu. Kami pun menyaksikan kegagahan Gunung Bua dikejauhan dengan langit biru nan bersih serta hamparan sawah-sawah warga Sangalla sebagai latarnya. Terakhir, sebelum memutuskan untuk berisitrahat dan mempersiapkan diri pulang ke Makassar, kami dibawa Pak Ela ke sebuah desa dengan jejeran tongkonan tua yang letaknya berada di atas bukit. One of the best view ever! Dari sini kami dapat mengambil foto barisan tongkonan, langit Toraja nan bersih, Gunung Bua serta persawahan yang dialiri oleh air dari Sungai Saddang. What can I expect more than this?
Pak Ela yang ramah dan mobil sewaan kami. Bagi yang berniat ke Toraja,
silakan hubungi beliau di 081342005003
Menjelang pukul 17.00 kami kembali ke Rantepao. Setelah berterima kasih kepada Pak Ela, kami berjalan ke masjid di dekat pasar. Alhamdulillah, kali ini masjid itu terbuka dan menerima kami. Setelah tidur-tiduran sebentar dan menunaikan ibadah sholat maghrib, kami lalu berjalan ke Pasar Rantepao untuk mencari tempat makan malam. Mata kami tertuju kepada sebuah warung makan bernama “Rocket Fried Chicken”. Kami memutuskan untuk mencoba KFC-nya Rantepao itu dengan sedikit perasaan geli. Rasanya lumayan, harganya Rp 15.000,00 sudah termasuk minuman (bisa pilih es teh atau soda). Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol dan tertawa-tawa ceria hingga waktu menunjukkan pukul 20.30. Bus Litha tujuan ke Makassar tiba di pol Pasar Rantepao pukul 21.00. Jarak RFC ke pol Litha hanya sekitar 3 menit jalan kaki sehingga kami tidak terlalu terburu-buru.

Demikianlah petualangan singkat kami di Tana Toraja: hanya 15 jam! Agak sayang sebenarnya karena kami melewatkan “kampung di atas awan” tempat banyak batu megalith raksasa berdiri dengan perkasanya di Batutumonga. Namun kami tidak menyesali itu, karena berarti Toraja masih harus kami kunjungi lagi untuk dieksplorasi hingga ke ujung-ujungnya. Wisata ke Toraja sebenarnya berbeda dengan kunjungan ke tempat-tempat lainnya di Nusantara. Di sini kami melihat dan menziarahi kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang jauh atau tabu untuk dibicarakan. Kearifan lokal Toraja justru memaknai kematian sebagai sebuah keniscayaan sebagai mahluk ciptaan Tuhan, sehingga kejadiannya pun patut dirayakan. Terima kasih, Toraja. Negeri orang-orang mati yang masih hidup. Negeri yang bulat sempurna seperti Bulan dan Matahari (Tondok leppongan Bulan tana Matariq Allo).


“Salamaq, iamo di’e mappau-pau mappannassa uru-uruna diang tau di Toraya. Anna diang tau dini, mula-mulanna Ulu Saddang mo naengei pottana. Iamo naoroi tappa Tonipanurung di Langiq. Iamo mappebaine To Kombong di Bura.”
(Kalimat pembukaan Lontaraq Pattapingan yang menjelaskan awal mula leluhur manusia-manusia di Sulawesi Selatan dan Barat yang turun di Toraja)

No comments: