Saturday, May 28, 2016

Alice Through the Looking Glass: Perempuan dan Dunia di Age of Reason

Kemarin sore saya secara impulsif memutuskan untuk pergi ke bioskop di Den Haag demi menonton film Alice Through the Looking Glass. Film ini merupakan sekuel dari Alice in Wonderland dan diadaptasi dari buku anak-anak karangan Lewis Caroll. Saya yakin sebagian besar pembaca pasti kenal cerita Alice atau minimal pernah mendengar tentang buku ini. Kisah Alice in Wonderland sudah sedemikian tercangkoknya di karya literasi, musik, fashion, sinematika maupun okultisme sehingga nama Alice dan petualangannya itu sendiri telah menjadi semacam mitos di dunia fiksi.

Film Alice Through the Looking Glass dimulai dengan adegan kejar-kejaran antara bajak laut Cina dengan kapal "De Wonder" yang dikapiteni oleh Alice di Selat Malaka. Berlatar di tahun 1874 ceritanya Alice yang mewarisi kapal De Wonder dari ayahnya baru saja menyelesaikan ekspedisinya mengeksplorasi interior Cina untuk mendirikan hubungan perdagangan antara firma keluarga Ascot dengan dunia timur. Cerita terus bergulir dengan kembalinya Alice ke Inggris, kekecewaan yang ia terima karena mimpi besarnya untuk membina hubungan dagang antara Barat dan Timur harus kandas karena hutang-hutang keluarganya serta tanggapan miring tentang perempuan dan pekerjaan. Alice kembali ke Wonderland secara tiba-tiba melalui sebuah cermin dan dihadapkan pada sebuah misi baru: mengarungi waktu untuk merubah masa lalu demi menyelamatkan keluarga Mad Hatter dari kematian. Akan tetapi pada akhirnya ia mendapatkan sebuah pelajaran berharga setelah hampir kehilangan seluruh sahabatnya dan menggiring Wonderland kepada kehancuran: masa lalu takkan pernah bisa dirubah.

Dengan mengambil latar di Inggris pada era Victoria dan puncak Revolusi Industri, film ini sebenarnya menyimpan sebuah pesan yang menyegarkan. Pesan dari sebuah abad yang menentukan perkembangan zaman hingga hari ini. The Age of Reason alias Abad Rasionalitas, dengan nama itulah dekade 1800-an akhir dikenal. Di dalam pidatonya di Rijksmuseum pada bulan November 2015 silam, Ayu Utami secara panjang lebar menceritakan ulang gairah penemuan dan eksplorasi pengetahuan untuk memenuhi kehausan akan rasa penasaran Barat terhadap dunia Timur di abad ini (diwakili dengan pakaian Cina yang dikenakan oleh Alice di sepanjang film, konon ia pernah berhadapan langsung dengan kaisar Cina mengenakan baju tersebut). Pendirian Rijksmuseum, Taman Botani Bogor, Batavian Society of Arts, semuanya terjadi di dalam kurun waktu yang sama. Di Inggris sendiri ada gairah yang meluap-luap seiring ditemukannya mesin uap. Teknologi baru lahir, beragam penemuan perkakas untuk memudahkan kehidupan orang banyak juga muncul di zaman ini, termasuk listrik dan bola lampu. Pemikiran kritis terhadap dogma-dogma lama serta munculnya rasa kemanusiaan yang pada akhirnya berimbas pada sebuah peristiwa monumental dalam sejarah umat manusia pun berlangsung di tengah spirit Age of Reason: penghapusan perbudakan oleh Inggris dan Prancis yang kemudian diikuti oleh negara-negara kolonialis lainnya. Dekade 1800-an akhir adalah periode yang menyuburkan jiwa fantasi para petualang (pengarang besar Jules Verne pun lahir dan berkarya di era ini).

Alice tumbuh dan berkembang menyaksikan semua perubahan tersebut. Ia sudah bukan gadis cilik lagi, namun rasa penasarannya (Curious, so curious!) ingin menemukan hal-hal baru dan menyelamatkan teman-temannya belum hilang. Sayangnya semangat Alice yang begitu menggelora tersebut justru mendapatkan perlawanan dari golongan paling menentukan di era itu: kaum pria kelas atas yang menguasai politik dan perdagangan. Perempuan dilihat tidak layak untuk mengelola aset keluarga, apalagi pergi berlayar ke Timur. Perempuan harusnya duduk manis di rumah, kalaupun ingin bekerja maka menjadi clerk atau juru tulis merupakan pekerjaan yang paling ideal di era Victoria. Alice mewakili semangat pembaruan menentang ide tersebut dan tetap berjuang untuk mewujudkan cita-citanya sendiri.

Waktu menjadi tema sentra di film ini. Apa yang sudah terjadi takkan bisa diulang atau bahkan dirubah lagi. Akan tetapi waktu bisa menjadi pelajaran berharga untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Itulah pesan dari film ini. The Age of Reason tidak tercipta untuk merubah masa lalu, melainkan untuk merubah masa depan umat manusia. The Age of Reason yang dipenuhi oleh gairah inovasi itu menjadi era yang menstimulus manusia untuk berpikir tidak hanya tentang hari ini, akan tetapi juga tentang sebuah masa depan yang tidak jauh lagi. Perempuan yang jadi korban patriarki di masa lalu kini memiliki ruang yang lebih terbuka dan dinamis untuk dapat berkarya. Alice tidak membawa semangat untuk merubah apa yang telah terjadi, namun ia datang membawa harapan serta kesempatan demi masa depan yang lebih baik lagi.

Oh ya, satu lagi. Banyak orang yang mungkin akan kecewa dengan film ini karena benar-benar keluar dari pakem cerita aslinya di dalam buku. Well, what can you expect from movies based on books anyway. Tapi sebenarnya, masih berhubungan dengan topik Age of Reason di atas, saya menginterpretasi "through the looking glass" sebagai sebuah satir untuk zaman itu: berhenti melihat hanya refleksi atau bayangan anda sendiri, melainkan see through it. Inggris yang muncul sebagai superpower saat itu merasa bahwa mereka lah pusat dunia. Inggris selalu berkaca kepada diri mereka sendiri, tanpa memandang peradaban dari sisi dunia yang lain. Alice berhasil keluar dari narsisisme tersebut dan bergerak maju; ia menembus cermin dan melihat dunia lain di seberang sana. Ia mendobrak golongan elite mapan dengan pemikirannya yang telah maju melampaui zamannya sendiri, sebab ia telah melihat dunia.

Alice has seen the world, and the wonderland too :)

Leiden,
27 Mei 2016 

No comments: