Monday, May 30, 2016

Tentang Selera

Menulis itu bagi saya merupakan kegiatan yang menyenangkan. Membuat tulisan itu seperti menciptakan sebuah makanan baru. Ada resep yang harus diikuti sebagai panduan, namun yang paling penting ialah citarasa berupa improvisasi terhadap bumbu-bumbu mauopun teknik memasaknya agar makanan yang kita buat dapat menyajikan keunikan rasanya sendiri.

Menulis, sebagaimana memasak, bisa menjadi tidak menyenangkan apabila kita dituntut untuk membuat makanan yang tidak sesuai dengan citarasa kita. Kita bisa saja membuat makanan tersebut, namun hati kita tak akan pernah puas karena rasanya ada yang mengganjal. Selera manusia memang berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya. Itulah mengapa di Barat ini, gastronomi mendapatkan tempat yang istimewa tidak hanya di dalam dunia kuliner namun juga keilmuan. Selera itu mahal oleh sebab makanan tak lagi hanya dilihat sebagai sekedar obyek untuk memenuhi kebutuhan primer manusia melainkan sebagai kebutuhan tersier.

Saat ini saya belajar European and International Human Rights Law di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Program ini baru berjalan dua tahun. Saya angkatan yang kedua. Di sini, tulis-menulis adalah hal yang biasa. Seluruh tugas saya berupa esai. Ujian saya pun sifatnya tertulis. Seharusnya dengan banyaknya tuntutan untuk menulis itu, kemampuan menulis saya pun mestinya semakin terlatih. Sayangnya, pada kenyataannya itu tidak terjadi. Adanya benturan idealisme antara apa yang dikehendaki oleh program ini dengan apa yang saya bawa dari negara dunia ketiga bernama Indonesia itu amatlah berbeda. Di sini, di ruang kelas yang kecil kami memperdebatkan dosa-dosa dari negara-negara di luar sana yang tidak mau tunduk pada rambu-rambu Hak Azasi Manusia. Di ruang kelas yang sama, saat berdebat itu, saya melihat kebutaan yang jelas dari teman-teman maupun teman-teman sekelas saya terhadap pengertian akan apa itu syariah, agama, budaya dan tradisi. Harap maklum, agama dan budaya merupakan dua musuh utama HAM yang terbit dari cara pandang Barat ini. Berusaha untuk menjelaskan mengenai mengenakan jilbab itu esensial bagi kaum Muslim atau mengapa hukum adat itu penting bagi golongan suku-suku pedalaman di Afrika Selatan sama susahnya dengan memaksa seorang koki internasional di sebuah hotel berbintang lima di Monaco untuk membuat nasi penyetan dengan rasa yang persis sama seperti Penyetan Ayam Pak Kobis di samping pos ronda UNY di Jogja.

Saya setuju dengan ide-ide HAM. Menurut saya HAM itu esensial. Akan tetapi mengakui keberadaan HAM bagi saya tidak sama dengan kemudian menutup mata dari eksistensi agama dan budaya dalam masyarakat setempat. Yang membuat saya sedih itu adalah kenyataan bahwa setiap kali kami berdebat di kelas, semua itu kemudian hanya akan berakhir di situ saja. Dosen saya yang seorang feminis garis keras hanya akan mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda untuk menghormati argumen saya di kelas saat saya menjelaskan panjang lebar tentang hukum Islam dan praktik local wisdom di Indonesia. Sekelarnya diskusi pun ia akan tetap bersikukuh memandang bahwa praktik hukum Islam itu merendahkan wanita dan praktik adat hanyalah cerminan dari keterbelakangan manusia di belahan bumi lainnya. Itulah kemudian yang membuat saya kesusahan untuk menulis bagi mereka. Karena saya tak dapat menciptakan narasi yang dapat memenuhi harapan mereka. Narasi yang saya ciptakan hanya akan memenuhi selera saya saja.

Kultur masyarakat Eropa yang sedikit-dikit membawa masalah ke pengadilan juga bertentangan dengan kenyataan sehari-hari pada akar rumput di negara dunia ketiga. Indonesia yang masih berbenah dengan sistem hukumnya jelas tak dapat menampung seluruh permasalahan sehari-hari di pengadilan. Kasus mengenai seorang pekerja Muslim asal Maroko yang menolak untuk menyajikan anggur kepada pelanggannya dapat menjadi isu hukum di Belanda. Di Indonesia, beda lagi perspektifnya. Ada masalah-masalah yang memang seharusnya tak perlu ditempuhkan jalur hukum karena hanya akan memakan waktu, biaya dan energi. "Kalah jadi abu, menang jadi arang" demikian pesan dosen saya di UGM dulu saat menjelaskan fungsi pengadilan sebagai ultimum remidium. Sayangnya, di Barat ini (termasuk melalui ajaran dari dosen saya di Leiden) kehadiran pengadilan HAM regional merupakan salah satu indikator terciptanya kepastian hukum dan penjamin keadilan. Itulah sebabnya berulang kali selalu tercetus di kelas saya selama setahun ini bahwa European human rights regime is the most advanced system in the world, dan regional Asia yang belum memiliki konvensi maupun komite HAM-nya sendiri dianggap sebagai yang paling terbelakang.

Menulis, sebagaimana memasak, tidak hanya membutuhkan ketrampilan namun juga inovasi. Yang saya rasakan selama berada di dalam pelatihan "memasak" ini justru sebaliknya: saya tak dapat berinovasi karena sudut pandang yang terlalu Eropa-sentris dalam memahami HAM. Ini sungguh amat menyedihkan. Dunia timur terasa begitu jauh dan asing dari bangku tempat saya duduk. Kalaupun kemudian dunia timur disuguhkan ke atas meja kuliah di hadapan kami, nasibnya hanya akan berakhir seperti kelinci laboratorium yang kemudian dibedah-bedah tanpa perasaan. Semuanya terasa begitu mekanik. Proses ini disinonimkan dengan kata "intelektual" karena munculnya dari sebuah lembaga akademik. Bagi saya ini sungguh memprihatinkan karena intelektualitas tersebut sendiri diwarnai dengan banyak subyektifitas yang lahir karena ketiadaan rasa maupun ketidakmampuan untuk memahami diversitas dunia.

Ah, sudah cukuplah tulisan yang tidak jelas ini. Semoga suatu saat nanti saya bisa merasakan manfaat dari konflik batin yang saya alami hari ini. Semoga.

Selamat hari senin,
Leiden
30 Mei 2016


No comments: