Nah lho, kok ada orientalisme segala? Begini ceritanya.
Orang Barat di Abad
Pertengahan -ketika mereka baru saja terbebas dari kegelapan selama seribu
tahun dan sedang marak-maraknya menjadi “humanis”- memandang Hindia (baca:
Nusantara, Kepulauan Indonesia sebelum menjadi NKRI) sebagai tempat yang menyenangkan,
sarangnya petualangan besar, sekaligus... menyeramkan. McGrane dalam Beyond Anthropology, Society and the Other berkata bahwa masyarakat yang hidup di era Renaissance melihat orang yang bukan Eropa dalam
konteks saleh dan dosa berdasarkan konsep keKristenan. Menurut mereka, masyarakat
dan kebudayaan di luar Eropa (yang belum menerima keimanan Kristiani)
berada di dalam kuasa setan. Akan tetapi, perspektif ini tidak bertahan lama. Booming
“Ketimuran” segera muncul di benua tersebut, tepatnya selama abad-abad eksplorasi.
Ketika orang-orang Eropa telah berani mengembangkan layar menyusuri lautan untuk mencari jalan langsung menuju Kepulauan Rempah-Rempah yang legendaris itu (jalan laut
menjadi pilihan mereka demi mendapatkan rempah-rempah setelah Perang Salib dimulai. Permusuhan dengan dunia Islam menjadikan Jalur
Sutra daratan bukan lagi pilihan utama dalam perdagangan global), maka ide-ide tentang
kawasan Timur yang eksotis dan misterius pun turut terbawa oleh angin laut ke
jalan-jalan sempit dan berlumpur Eropa.
Saking populernya
Hindia di dalam imajinasi Eropa, seorang pengarang Prancis bernama Honore de
Balzac –yang bahkan sekalipun dalam hidupnya belum pernah menginjakkan kaki di
atas kapal– membuat roman menarik mengenai
perjalanan khayalnya ke Tanah Jawa. Ia menulis:
Semua kenikmaan itu bertemu: perempuan Jawa, bunga-bunga, burung-burung, wewangian, matahari, udara, puisi yang memasukkan seluruh jiwa ke dalam tiap makna, membuatku berkata sejak kepulanganku dari Hindia. Berbahagialah mereka yang mati di Jawa...
Berlebihan? Tidak, jika Anda adalah seorang Prancis yang
hidup di tahun 1832. Saat itu “Demam Hindia” tengah melanda Benua Biru, pulau
Jawa menjadi ikon perpaduan semua kesenangan dan misteri dari Timur. Akan
tetapi, tidak selamanya “Demam Hindia” ini berdampak positif terhadap reputasi
Nusantara. Sebuah tempat asing yang jauh dengan iklim yang hangat, beragam
tumbuhan menyembul dari permukaan tanah serta air yang segar tentunya terlihat
menyenangkan jika Anda berasal dari Eropa yang beku dan kaku. Akan tetapi,
sebuah tempat asing yang sama, jauh dari rumah yang nyaman tentunya juga membangkitkan
rasa was-was, prasangka, dan paranoia. De Molins yang berlayar ke Hindia pada Januari
1858 menggambarkan perasaannya:
Kesan liar pada orang-orang tersebut muncul dari gerakan mereka yang seperti kucing, perilaku yang malu-malu, sorot yang terpancar dari mata yang sehitam batuara, perubahan raut muka, bahasa mereka yang tidak dapat kami cerna, semua membuat saya heran bercampur dengan sedikit rasa ngeri. Saya merasa seperti ditelantarkan di wilayah timur yang misterius ini, di batas akhir peradaban. Di sini tidak ada apa pun dari Eropa maupun dari Prancis... Di sana orang lebih dilindungi oleh norma hukum yang damai dan norma adat-istiadat, sedangkan di sini yang berkuasa adalah naluri alamiah, tipu-muslihat halus, rasa dendam, benci dan cemburu.
Wow, bayangkan apa yang dicitrakan oleh wartawan Prancis
ini tentang orang-orang Hindia dari kontak pertamanya dengan mereka. Tidak, ia
bahkan belum berinteraksi dengan pedagang-pedagang Melayu yang berjualan
sayuran di atas perahu ini, ia hanya melihat mereka dari kejauhan, dari atas
kapal Nicolas saat mereka hendak merapat di Batavia! Melalui pandangan
pertama tersebut, ia telah mampu membuat sebuah rangkuman mengenai sifat dan
pembawaan manusia Hindia yang kelak akan dibaca oleh ribuan orang Prancis di
majalah traveling Le Tour de Monde.
Bahan-bahan sejarah bernuansa orientalisme dan poskolonialisme ini jelas
berbahaya karena tidak benar-benar menggambarkan situasi masyarakat dan alam
Hindia yang sesungguhnya. Sayangnya, cerita-cerita tersebut terlanjur tersebar
ke berbagai penjuru Eropa dan Amerika, sehingga stereotype terhadap daerah
tropis yang dikepung oleh lautan pun menjelma dalam impian-impian terliar
mereka.
Gambaran tentang Jawa, koleksi Tropenmuseum |
Catching Fire
adalah salah satu contoh terbaik yang memamerkan imaji Barat terhadap Timur nan
misterius dan dangerous. Mengapa lokasi
permainan saling-bunuh antara para pemenang Hunger Games dilaksanakan di sebuah
hutan hujan tropis? Jawabannya karena imaji akan Timur yang berbahaya itu masih
terus terwariskan melalui DNA sastra dan pop-kultur Barat. Ada quote dari
karakter bernama Johanna yang kurang lebih menggambarkan ketakutan orang-orang
Barat terhadapnya misteri yang tersimpan di balik kerimbunan hutan hujan
tropis:
“Mengapa kita tetap bertahan di pantai? Karena berada di tepi pantai jauh lebih aman dari pada berada di tengah hutan.”
Pernyataan tersebut seakan-akan melegetimasi pandangan
nenek moyang kulit putihnya dulu yang pertama kali berlayar mengarungi lautan
dan terkejut menyaksikan hutan hujan tropis yang kelebatannya bahkan membuat
sinar matahari susah untuk tembus. Musibah demi musibah yang diderita oleh para
pemenang Hunger Games dari berbagai
generasi ini juga menampilkan secara tepat ketakutan masyarakat Eropa Abad
Pertengahan terhadap Timur. Bahaya-bahaya seperti:
kesulitan air tawar; kabut beracun yang menyebabkan penyakit kulit; serangan monyet raksasa pada malam hari; petir yang menyambar pepohonan besar berulang kali; gelombang laut yang mematikan; serta burung-burung hitam yang membawa suara-suara orang yang mereka kasihi jelas, merupakan perumpamaan atas: ketakutan orang Eropa awal terhadap sumber-sumber air di Hindia yang dianggap tidak bersih; penyakit kulit daerah tropis (gatal-gatal, kudis, kurap, panu); binatang khas setempat (imajinasinya selalu monyet karena di Eropa sana tidak ada monyet. Ingat nggak kalau dalam film King Kong kera raksasa itu juga asalnya dari Sumatera?); badai tropis yang mematikan (El Nino, La Nina, Yolanda, dll.); tsunami; dan suara burung-burung yang seperti suara manusia sebagai metafora gejala depresi sebagai impak dari keterasingan berada di tempat yang tidak menyenangkan.
kesulitan air tawar; kabut beracun yang menyebabkan penyakit kulit; serangan monyet raksasa pada malam hari; petir yang menyambar pepohonan besar berulang kali; gelombang laut yang mematikan; serta burung-burung hitam yang membawa suara-suara orang yang mereka kasihi jelas, merupakan perumpamaan atas: ketakutan orang Eropa awal terhadap sumber-sumber air di Hindia yang dianggap tidak bersih; penyakit kulit daerah tropis (gatal-gatal, kudis, kurap, panu); binatang khas setempat (imajinasinya selalu monyet karena di Eropa sana tidak ada monyet. Ingat nggak kalau dalam film King Kong kera raksasa itu juga asalnya dari Sumatera?); badai tropis yang mematikan (El Nino, La Nina, Yolanda, dll.); tsunami; dan suara burung-burung yang seperti suara manusia sebagai metafora gejala depresi sebagai impak dari keterasingan berada di tempat yang tidak menyenangkan.
Way to go, Hunger
Games. Pengarangnya cerdas karena dapat memadukan unsur-unsur yang telah
mengendap lama dalam tradisi mereka itu dengan amat halus. Saya penasaran,
kira-kira citra Hindia macam apalagi ya yang akan muncul di film-film Hollywood
pada masa yang akan datang? Kita sudah kenyang dengan eksotisme Bali melalui “Eat, Pray, Love” serta betapa jagonya
Densus 88 dalam menghabisi gembong narkoba yang banyak bersarang di Indonesia
lewat “The Raid”. Sejauh ini prestasi Indonesia di Hollywood baru nampak dari sisi eksotis dan barbariknya sahaja. Semoga apapun itu
nanti, pencitraannya tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur macam orientalisme dan
poskolonialisme ya. Film harus diakui adalah salah satu senjata paling efektif untuk merubah perspektif seseorang
terhadap sesuatu.